Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebimbangan Raka dan Ambisi Mika
Mika bersandar di sofa, menatap layar ponselnya. Jari-jarinya menggulir story Instagram Nisa, memperlihatkan momen arisan bersama Dara dan Farah. Di video singkat itu, ketiganya tampak tertawa, bersenda gurau seolah tidak pernah menyakiti siapa pun.
Mika mendengus kesal.
“Dasar penipu! Ngomong soal mental health di sosial media, tapi kelakuan masih kayak iblis," gumamnya sambil mengingat sindiran Nisa di gym.
Di story tersebut, Nisa menulis: "Arisan fun bareng besties 💕 Teman lama tetap solid!"
Tangan Mika menggenggam erat ponsel, menahan amarah. Rasanya ia ingin membongkar semua kebohongan mereka, membuat dunia tahu siapa Dara, Nisa, dan Farah yang sebenarnya. Namun, ia menahan diri.
"Belum saatnya," pikir Mika. Ia harus sabar. Balas dendam yang efektif tidak dilakukan dengan emosi meluap-luap—tapi dengan langkah cermat dan rencana matang.
Mika membuka file di laptopnya. Di sana, tersimpan beberapa informasi lama—foto-foto dan bukti pesan-pesan jahat yang dulu dikirim oleh geng Dara kepadanya. Semua itu ia kumpulkan bertahun-tahun, menanti saat yang tepat untuk digunakan.
Mata Mika menyipit saat melihat salah satu foto yang menyakitkan: Dara dan Nisa tertawa lepas saat memergokinya menangis di toilet sekolah dulu. Ingatan itu masih terasa segar, luka yang hampir menenggelamkannya di masa lalu. Tapi sekarang, dia bukan lagi Mika yang lemah.
"Kali ini giliran kalian merasakan apa yang aku alami," gumam Mika dingin. Ia mulai mengetik di laptop, merencanakan langkah-langkah berikutnya.
***
Saat masih tenggelam dalam pikirannya, ponsel Mika bergetar di sampingnya. Sebuah notifikasi muncul: pesan dari Antony.
Antony:
"Hei, Mika. Aku nggak bisa berhenti mikirin waktu kita tadi. Kapan bisa ketemu lagi?"
Mika tersenyum puas. Antony perlahan mulai masuk ke dalam jaringannya.
Mika membalas dengan nada menggoda:
"Aku pikir kamu cuma mau ketemu sekali. Ternyata ketagihan?"
Beberapa detik kemudian, pesan balasan masuk:
"Mungkin aku memang ketagihan."
Mika tertawa kecil. Antony, pria yang dulu tak pernah meliriknya, sekarang ada di genggamannya.
Mika memikirkan langkah berikutnya. Mendekati Antony hanyalah permulaan. Ia harus menggali lebih dalam—menemukan titik lemah Dara dan gengnya untuk memukul mereka di saat yang paling tepat.
Ia tak akan sekadar membuat Antony jatuh dalam pesonanya, tapi juga memanfaatkan hubungannya untuk menyabotase rumah tangga mereka. Dara harus merasakan sakit yang sama, jika tidak lebih buruk, daripada apa yang dulu Mika alami.
"Kalian pikir kalian bisa terus di atas? Tunggu saja." Mika bergumam sambil menatap pantulan wajahnya di cermin.
***
Di restoran mewah tmilik Raka bekerja, suasana dapur sudah mulai sepi. Ia duduk di sudut ruangan istirahat, menatap layar ponselnya dengan perasaan gelisah. Pesan direct message-nya kepada Mika masih belum dibalas.
“Kenapa dia nggak balas? Apa dia sibuk?” Raka menggigit bibirnya, bingung. Beberapa kali ia membuka DM Instagram, memastikan pesannya sudah terkirim, tetapi tidak ada tanda-tanda Mika membaca atau merespons.
Raka:
"Mika, kamu sibuk ya? Aku cuma mau ngobrol."
Pesan terkirim lagi, tapi tetap tidak ada respons.
Sambil menatap ponselnya, pikiran Raka melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika ia dan Mika masih akrab di sekolah. Mika selalu tersenyum saat mereka bercanda di perpustakaan, dan Raka selalu merasa ada koneksi spesial antara mereka meski ia tak pernah berani mengakuinya.
Tapi ketika geng Dara mulai mem-bully Mika, Raka merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untuk membelanya.
“Aku terlalu pengecut waktu itu,” gumamnya pelan.
Raka tahu, Mika telah berubah—lebih kuat, lebih cantik, dan lebih sukses. Namun, rasa bersalah dan penyesalan masa lalu membuat Raka ingin memperbaiki semuanya. Dia tidak ingin Mika merasa sendirian lagi.
***
Mika sedang duduk di depan laptop, fokus merapikan strategi bisnisnya. Kalender di mejanya penuh dengan catatan pertemuan, rencana endorsement, dan agenda rapat dengan klien.
Ponselnya bergetar sebentar—DM dari Raka. Mika melihatnya sekilas, tapi ia tidak berniat membalas. Bagian dari rencananya adalah tidak boleh teralihkan. Fokus Mika hanya pada satu target: Dara dan Antony.
Di tempat kerjanya, Raka masih menatap DM yang tidak dibalas oleh Mika. Ia menghela napas panjang, merasa semakin gelisah. Ada sesuatu tentang Mika yang membuatnya merasa perlu bertemu dan bicara.
"Apa aku sudah terlambat?" pikir Raka.
Namun, meski Mika kini lebih sibuk dan tak terjangkau, Raka bertekad untuk tetap mendekatinya. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu—membiarkan Mika sendirian lagi.
***
Nisa dan Farah, masih tertawa kecil setelah sesi gosip panjang mereka, melangkah keluar rumah Dara. Langit sudah mulai gelap, dan udara sore terasa sejuk. Saat mereka membuka pintu, keduanya langsung terkejut—Antony muncul dari arah berlawanan, baru saja turun dari mobilnya.
Antony mengenakan kemeja rapi dengan jas yang menggantung di lengannya. Aroma cologne mahal menyebar saat ia berjalan mendekat, membuat Nisa dan Farah saling bertukar pandang dengan senyum tipis.
“Eh, suami kesayangan Dara pulang,” ujar Nisa dengan nada menggoda, mencoba mencairkan suasana.
“Baru pulang ya, Tony?” sambung Farah sambil melirik jam tangannya. "Kerja lembur atau ada urusan lain, nih?" Ucapannya bernada setengah bercanda, tapi penuh rasa ingin tahu.
Antony tersenyum tipis namun tidak langsung menjawab. Ia sudah terbiasa dengan pertanyaan basa-basi seperti ini, tapi kali ini ia harus berhati-hati. Dara yang cerdas mungkin masih bisa menerima alasan rapat kerja, tapi ia tahu teman-teman istrinya lebih jeli dalam membaca situasi.
“Ya, tadi ada meeting yang kelamaan,” ujar Antony santai sambil membuka kancing kerah kemejanya. "Kalian udah mau pulang?"
Nisa mengangkat bahu. “Iya, kasihan suamimu tuh, pasti udah capek. Besok-besok Dara biarin dia istirahat aja, jangan dipaksa nemenin arisan, ya,” ucap Nisa sambil terkikik kecil.
Antony hanya tersenyum ramah, tapi di dalam hatinya ia sedikit lega karena Nisa dan Farah tidak curiga lebih jauh.
Setelah Nisa dan Farah pergi, Antony masuk ke dalam rumah. Dara sudah menunggunya di ruang tamu dengan tangan bersedekap, pandangan penuh selidik.
“Kamu pulang malam banget, Tony,” ujar Dara tanpa basa-basi. "Nggak ada kabar sama sekali, udah janji mau makan malam bareng Alea juga."
Antony menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Maaf, Ra, aku benar-benar sibuk. Aku lupa sama janji tadi.”
Dara mendengus pelan. "Lupa?" Ia melipat tangannya lebih erat, ekspresinya dingin. “Kamu sering lupa belakangan ini. Apa beneran kerja, Tony?”
Antony menghela napas berat, kali ini memilih untuk berkata jujur. "Iya, aku tahu kamu kesal, tapi aku serius, Ra. Urusan bisnis lagi rumit banget di kantor."
Dara memiringkan kepala sedikit, matanya masih menyipit, penuh rasa curiga. “Serumit itu sampai kamu lupa janji sama anak kita?” Nada suaranya tajam, tapi di baliknya ada rasa kecewa yang tidak bisa ia sembunyikan.
Antony berjalan mendekat, meraih kedua tangan Dara, dan menatapnya dalam. "Aku nggak bohong, Sayang. Meeting panjang, banyak keputusan penting yang harus aku buat."
Dara menarik tangannya pelan, berusaha tetap menjaga jarak, tapi sentuhan lembut Antony dan kesungguhan di matanya sedikit meluluhkan pertahanannya.
"Aku capek, Tony," ujar Dara pelan. "Capek harus terus ngertiin kamu dan jadwal kamu. Kadang aku merasa kayak aku ini cuma pilihan terakhir."