NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tidak ada tempat yang aman

Aku bangun dari tidurku yang tidak terlalu panjang, mungkin kalau bukan karena teh buatan Baskara semalam, pagi ini aku masih dalam kecemasan. Matahari sudah mulai menyinari kamar, memberikan kehangatan yang lembut. Aku menguap lebar, meregangkan otot-otot yang kaku setelah malam yang panjang.

Setelah bermalas-malasan sejenak, aku beranjak bangkit keluar kamar. Tidak disangka, aku disambut oleh pemandangan Anindya yang duduk di ruang tamu, terlihat dari pagar depan kamarku di lantai dua. Wajahnya terlihat lebih tenang daripada semalam, meskipun masih ada bayangan kekhawatiran di matanya.

Aku turun ke bawah dan mendekatinya. "Pagi Anin," sapaku dengan suara serak. “pagi-pagi amat."

Anindya mengangguk, tersenyum tipis. "Aku tidak bisa tidur lagi. Aku pikir, lebih baik menunggu di sini daripada berbaring dengan pikiran yang berkecamuk. Tiba-tiba saja Aku bersemangat, siap membantu pekerjaanmu, semakin cepat lebih baik, lama-lama di Jogja juga pasti membosankan, iya, kan?"

Aku duduk di sebelahnya, merasakan kehadirannya memberikan sedikit ketenangan. Melihat wajahnya yang mulai membaik membuatku bernapas lega. "Syukurlah, bagaimana perasaanmu? Baik?"

Anindya menarik napas dalam-dalam. "Sedikit lebih baik. Malam tadi terasa seperti mimpi buruk, tapi sekarang aku mencoba untuk fokus pada apa yang harus kita lakukan selanjutnya, aku siap di potret pagi ini, asalkan kamu fotografernya, bukan teman-temanmu."

"Hari ini aku malas, nggak selera. Lebih baik dipending daripada hasilnya rusak," kataku sambil duduk di sofa ruang tamu. Posisi duduk kami saling berhadapan, aku bisa melihat ekspresi Anindya yang menatapku dengan penuh perhatian. Walaupun mulutnya berkata siap, matanya yang sendu memancarkan ketidak siap-an nya. Andai dia tahu, aku tidak sejahat itu yang akan melakukan apapun demi mendapat uang.

Anindya meringis, mencoba tersenyum meski terlihat sedikit kecewa. "Salah berarti aku bersemangat ke sini," katanya dengan nada bercanda.

Aku tersenyum tipis, mencoba mengangkat suasana. "Semangat buat dipotret tanpa gaun?"

Anindya terlihat kaget dengan ucapanku, dan dia langsung menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Oh, tidak, tidak seperti itu," jawabnya sambil menutupi wajah, dia pasti lupa jika ingin membantu pekerjaanku dia harus dipotret tanpa busana sesuai pesanan Roats.

"Bagaimana kalau makan gudeg di rumah makan depan teater? Aku yang traktir," tawarnya, mencoba mengalihkan suasana dan memberikan sedikit keceriaan pada hari yang penuh ketegangan ini.

Aku tersenyum, tampak memikirkan ide itu. "Aku belum pernah makan gudeg, tapi itu bukan ide yang bagus."

Pikiranku berputar cepat. Aku mulai berpikir, apakah ini langkah yang bijak? Jika Roats tahu bahwa aku dan Anindya sering keluar bersama, apakah dia tidak akan curiga? Aku takut dia mencurigaiku akan membantu Anindya secara diam-diam, dan itu pasti membahayakan Anindya begitu juga aku dan yang lain.

Kekhawatiran itu membuatku ragu sejenak. Aku menatap Anindya yang tampak antusias dengan ide makan bersama. Aku tidak ingin mengecewakannya, namun keselamatan kami adalah prioritas utama. Aku mencoba menyeimbangkan rasa takut dengan kebutuhan untuk tetap kuat dan berani.

"Anindya," kataku pelan, berusaha menyusun kata-kata. "Kita harus hati-hati. Kalau Roats tahu kita sering keluar bersama, dia mungkin akan curiga. Dia pasti berpikir kamu mencoba memintaku membawamu kabur, atau bisa jadi dia berpikir kamu berusaha merusak rencananya.”

Anindya memahami maksudku dan mengangguk pelan. "Kamu benar. Kita harus hati-hati.”

"Aku punya ide," kataku, bangkit dari sofa dan menuju kamar.

Anindya menatapku dengan bingung, tapi kemudian mengikuti langkahku. Aku membuka lemari dan mengeluarkan beberapa kaos oversized dan celana panjang favoritku. "Coba pakai ini," kataku sambil menyerahkan pakaian itu padanya.

Anindya melihat pakaian yang kuberikan, lalu tersenyum tipis. "Oke, aku akan coba," katanya, mengambil pakaian dan masuk ke kamar mandi untuk berganti. Aku yakin sebenarnya dia tidak terbiasa menggunakan pakaianku dengan penampilannya yang selalu bersianar anggun dengan gaun-gaun feminim, tidak sepertiku yang memang dasarnya terlahir jadi gadis jadi-jadian yang lebih suka memakai pakaian santai dan lebih ke perkasa style.

Sementara menunggu, aku merasa sedikit lega karena setidaknya kami mengambil langkah ekstra untuk berhati-hati. Beberapa menit kemudian, Anindya keluar dari kamar mandi dengan kaos oversized berwarna gelap dan celana panjang yang sedikit kebesaran, memberikan tampilan yang sangat berbeda dari biasanya.

"Bagaimana?" tanya Anindya, berputar sedikit untuk menunjukkan penampilannya yang baru.

Aku tersenyum lebar, merasa puas dengan hasilnya lantas mengajukan jari jempolku untuk memujinya.

Anindya tertawa kecil, melihat dirinya di cermin. "Ini pasti akan membantu.”

Dengan penampilan barunya, Anindya tampak lebih percaya diri. Mengingat awak Roats yang banyak dan mata-mata ada di mana-mana, setidaknya penyamaran ini berhasil menutupi sisi Anindya.

“Tunggu di sini,” kataku pada Anindya.

Aku berjalan cepat mencari Ebra di ruang galeri, tapi malah ketemu Evan yang sibuk melukis. Lukisan yang dikerjakannya tampak penuh warna dan emosi, tetapi pikiranku terlalu terfokus pada tujuanku.

"Ebra mana?" tanyaku tanpa basa-basi.

Evan tidak menganggapi, terlalu tenggelam dalam karya seninya.

Tiba-tiba Ebra muncul dari balik pintu. "Kenapa?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Aku boleh pinjam sepeda yang tadi malam nggak?" tanyaku cepat.

Ebra terheran, matanya menatap mataku dengan sengit, seolah tahu apa yang akan kulakukan sekarang. "Kurangi interaksi di luar bareng Anindya. Kamu tahu sendiri kalau itu bahaya," ujarnya dengan tegas.

Aku terdiam sebentar, memikirkan alasannya. Tapi kemudian, dengan nada memohon, aku berkata, "Kali ini saja, janji bisa jaga diri, cuman nyari makan."

Ebra menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang dalam. Namun akhirnya, dengan pasrah, ia memberikan kontak sepedanya padaku, memperingatiku dengan tatapan yang serius untuk lebih berhati-hati.

"Terima kasih, Ebra," kataku pelan, sambil menerima kontak sepeda itu. Aku tahu, ini adalah kesempatan terakhirku untuk membuktikan bahwa aku bisa menjaga diri dan menghindari bahaya yang selalu mengintai di luar sana.

Aku akhirnya bersiap-siap lalu membawa Anindya turun. Kami berjalan dengan hati-hati menuruni tangga, tetapi tiba-tiba Baskara menghalangi jalanku. Wajahnya datar dan nada suaranya dingin saat berkata, "Pinjam handphone."

Tanpa berpikir panjang, aku menyodorkan handphoneku padanya. Baskara menerima handphone itu dan dengan cekatan mulai mengatur sesuatu. Aku melihat dia mengatur kontak daruratku, menambahkan beberapa nomor yang mungkin aku butuhkan jika terjadi sesuatu.

Selesai, dia mengembalikan handphone itu padaku sambil menatapku serius. "Jangan lupa jaga diri. Kalau ada apa-apa, segera hubungi," katanya.

Aku mengangguk pelan. Aku tahu entah Ebra, Baskara, ataupun Evan pasti khawatir dengan tingkahku yang kadang mendadak mengejutkan. Mereka pasti merasa aku adalah tanggung jawab terbesar untuk saat ini. Ayah pun juga sudah mempercayaiku pada mereka.

Aku dan Anindya melanjutkan perjalanan, meninggalkan Baskara yang masih berdiri di tangga, matanya memperhatikan kami hingga hilang dari pandangannya.

***

Di rumah makan gudeg, kami langsung memesan beberapa menu. Rumah makan itu masih sepi karena mungkin ini masih sangat pagi. Aroma khas gudeg yang menggugah selera memenuhi ruangan, membuat perut kami yang belum terisi berkeroncong.

Aku dan Anindya memilih meja di pojok yang agak tersembunyi, berharap bisa menikmati makan tanpa terlalu banyak perhatian. Kami duduk berhadapan, menunggu pesanan kami sambil mengobrol ringan.

“Beruntung kamu punya teman-teman seperhatian mereka, selalu mengutamakan kamu harus aman dan bai-baik saja,” kata Anindya sambil tersenyum. “Seneng banget mesti.”

Aku tersenyum. “Iya, saat ini selain ibu dan ayah di rumah, aku hanya punya mereka. Bertemu mereka saja aku bersyukur, jauh lama sedikit rasanya sudah kayak setahun gak ketemu.”

Anindya tertawa tipis membayangkan semenyenangkan itu aku dan teman-teman. “Lucu, ya, kalian. Satu tujuan, sama-sama seniman, jadi bisa diandalkan satu sama lain. Sudah bareng berapa tahun?”

“Kita ketemu di ospek hari pertama kuliah, satu kelas juga kan ambil jurusan kesenian. Tiba-tiba aja gitu bisa berteman lama sampai akhirnya membuka bisnin atelier bersama, hasilnya juga lumayan. Mungkin tanpa atelier persahabatan kita juga gak ada apa-apanya. Atelier kami bukan sembarang gedung yang hanya ditempati intuk melukis dan berseni. Atelier itu gedung penuh keluh kesah. Keluhan Ebra si yatim piatu yang selalu murung mendengar tingkah adik bungsunya yang gak ada hentinya buat masalah di sekolah. Keluahan Baskara yang selalu mengeluh hasil gambarannya tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Bahkan keluhan Evan si pembukam yang selalu mempermasalahkan rakitannya. Di sana kita sering beradu nasib, satu masalah siapapun akan jadi masalah bersama yang pastinya harus di selasaikan bareng-bareng. Gak ada yang perlu disembunyikan di Atelier, dinding dan penghuninya selalu meneriam apapun keluhan. Bukan hanya itu, Atelier adalah rumah kedua yang penuh kebahagian tak tertandingi,” aku bercerita sangat panjang sehingga Anindya jadi terpaku untuk mendengarnya.

“Beruntung banget, banget, banget, yang kayak begitu malah yang aku butuhkan sekarang, di tengah keluargaku yang mulai berkurang bentuk perhatiannya,” balas Anindya.

Lagi-lagi aku tersenyum, “tetap saja harus bersyukur.”

Tak lama kemudian, pelayan datang membawa pesanan kami. Nasi gudeg dengan ayam opor, telur pindang, krecek, dan tempe bacem tersaji di depan kami. Aroma makanan yang menggugah selera membuat kami semakin lapar.

Kami mulai makan, menikmati setiap suapan yang terasa begitu nikmat. Suasana rumah makan yang tenang membantu kami merasa lebih rileks. Sesekali, aku memperhatikan sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mencurigakan.

Di sela-sela makan, aku memberanikan diri menanyakan pertanyaan yang terus berlalu-lalang di otakku sejak semalam. Aku meletakkan sendokku, menatap Anindya dengan serius.

"Anindya," panggilku pelan, berusaha mengatur nada suaraku agar terdengar tenang. "Aku ingin bertanya sesuatu yang sudah mengganggu pikiranku sejak semalam. Tentang Eja."

Anindya mengangkat wajahnya dari piring, terlihat sedikit terkejut saat mendengar aku menyebut nama Eja, namun bersiap mendengarkan.

“Eja? Maksud kamu Reza?”

Ah, benar. Dia mengenal Eja. Itu berarti dugaanku benar, dia Anindya yang diberitakan di laman web. Aku mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan bertanya. “Kamu kenal ?”

Anindya tesenyum tipis, menghentikan pergerakan makannya. “kamu pasti habis baca berita di laman web, ya?”

Aku hanya mengangguk. Entah kenapa tiba-tiba atsmosfer seluruh tubuhku berubah.

“Dia memang pacarku, tapi dulu. Aku memutuskan pergi menjauhinya setelah bertemu Roats. Bahaya untuk dia jika terus bersamaku saat itu, mungkin sampai seterusnya. tapi kalau ditanya perasaanku sekarang, masih sama, gak bakal berubah, reza yang akan aku cari sampai kapanpun. ” jelas Anindya termenung.

Aku menelan saliva dengan kasar. “Dunia begitu sempit, ternyata.” Aku mengatakan itu penuh penekanan. Mendengar pengakuan Anindya barusan sedikit menusuk, hanya sedikit. Entah kenapa, Aku tidak tahu.

“Iya, kenapa?” Anindya bingung mentapku yang juga ikut mengehentikan pergerakan makan.

“Tidak hanya gumaman biasa. Ya, kemarin aku memang sempat cari datamu di laman web, berita itu satu-satunya berita terakhir,” ujarku. Aku belum ingin menceritakan Eja pada Anindya. Mungkin lain kali. Aku juga tau ini bukan waktu yang tepat.

***

Sebelum melanjutkan makan, aku pamit kepada Anindya untuk ke toilet sebentar. Tiba-tiba saja perutku terasa mual. Mungkin karena pikiranku berkecambuk kemana-mana. Namun, tidak lama setelah berada di toilet, saat keluar, Anindya sudah tidak lagi ada di kursinya.

Aku menyusuri seluruh sudut tempat makan, merasa ada yang janggal. Entah kenapa, suasana terasa lebih sepi daripada tadi. Bahkan, tidak ada satu pun pelayan di tempat makan ini. Aneh, pikirku.

Aku memutuskan untuk memeriksa kembali kamar mandi, barang kali Anindya ada di situ, tapi nihil. Dia tidak ada di sana. Setelah kembali ke meja dan melihat bahwa dia pergi tanpa membawa tas dan handphonenya, kecurigaanku semakin besar. Pasti terjadi sesuatu saat aku di toilet tadi.

Pikiranku mendadak dan tidak bisa jernih. Dengan tangan gemetar, aku segera menelpon Baskara. "Baskara, ini aku. Anindya hilang! Aku tinggal sebentar ke toilet, dan sekarang dia nggak ada. Semua pelayan juga hilang. Aku nggak tahu harus gimana!" suaraku bergetar, penuh kekhawatiran.

Di seberang sana, Baskara mendengar dengan seksama, "Tenang, aku akan segera ke sana. Jangan baranjak jauh-jauh kemanapun sampai aku datang, coba cari lagi dia disekitar sana saja.”

Aku mengangguk walau tahu Baskara tidak bisa melihatnya. "Oke, cepat ya!”

Aku menutup telepon, berharap Baskara segera datang dan kami bisa menemukan Anindya sebelum terlambat. Perasaan panik dan cemas menyelimuti, tetapi aku berusaha tetap tenang dan fokus mencari cara untuk menemukan Anindya.

***

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!