••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: Pengakuan
Sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan gerbang besar rumah bergaya modern yang megah. Suasana asri terlihat dari taman depan yang tertata rapi dengan bunga-bunga bermekaran. Seorang wanita muda dengan penampilan elegan turun dari mobil dengan senyum mengembang di wajahnya. Dengan koper besar di tangan, langkahnya penuh semangat menuju pintu utama yang megah.
Begitu pintu terbuka, aroma harum rumah yang selalu dirindukannya langsung menyapa. Cantika, yang baru saja kembali dari luar negeri setelah beberapa tahun menetap di sana, tidak dapat menahan rasa rindunya. Ia langsung berlari ke arah kedua orang tuanya yang sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah penuh kebahagiaan.
“Hallo, Mah... Pah!” serunya sambil menghambur memeluk mereka bergantian. Pelukan hangat itu terasa begitu menenangkan setelah sekian lama jauh dari rumah.
“Oh Tuhan, putriku sudah kembali, kenapa tidak mengabari kami dulu, sayang?,” ujar Liu dengan mata berkaca-kaca.
“Kejutan untuk kalian, Mah!" Cantika tersenyum penuh arti.
“Benar-benar kejutan yang menyenangkan,” Ujar Liu sembari tertawa kecil, menanggapi ucapan sang putri.
“Eh, iya Mah, benarkah Kak Raden akan menikah beberapa hari lagi? Apa Kak Raya dan Kak Raden sudah setuju?," Ujar Cantika sembari melepaskan pelukannya dan menatap kedua orang tuanya dengan tatapan penasaran.
“Iya, sayang. Papamu berhasil membujuk Raya hingga dia mau menikah dengan Kakakmu. Dan yang lebih luar biasa lagi, Raden dengan senang hati menerima Raya sebagai calon istrinya," Jawab Liu yang tidak bisa menyembunyikan, rasa bahagia nya .
“Hah? Bagaimana bisa?” Cantika terkejut. “Apa Papa mengancam Kak Raden sampai dia mau menuruti perintah kalian untuk menikah dengan Kak Raya?, " Lanjut nya dengan wajah penuh pertanyaan.
Memang siapa yang tidak tahu sifat keras kepala kakaknya itu? Ryan Sudradjat, pria dingin yang selalu menghindari urusan pernikahan. Sudah banyak wanita yang diperkenalkan oleh Liu, namun tidak ada satu pun yang berhasil menarik hatinya. Bahkan, terakhir kali Ryan sampai pergi ke Belanda dan menetap beberapa bulan di sana hanya untuk menghindari wanita-wanita yang dikenalkan oleh Liu.
"Untuk apa Papa mengancamnya? Mungkin saja dia memang sudah ingin menikah. Lagi pula, dia sudah cukup umur untuk memiliki seorang anak," ujar Rudianto jujur, sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa yang kokoh di ruang keluarga.
"Iya, mungkin saja kan kalau Raden memang sudah siap menikah. Kebetulan wanita yang Mama kenalkan masuk dalam kriterianya," sahut Liu dengan nada penuh keyakinan.
Cantika hanya mengangguk ringan, meski dalam hatinya muncul keraguan yang tak bisa diabaikan. Ia tahu betul sifat kakaknya yang dingin dan keras kepala. Ryan bukanlah pria yang dengan mudah menerima kehadiran orang asing dalam hidupnya, apalagi jika melihat status Raya yang terkesan misterius. Sulit membayangkan bahwa kakaknya akan menurunkan standar dan menerima seseorang tanpa latar belakang yang jelas.
"Apa Kak Raya masih tinggal di rumah itu, Mah?" tanya Cantika dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.
"Iya, lalu di mana lagi? Kemarin kakakmu yang mengantarnya pulang ke sana," jawab Liu dengan tenang, sambil mengambil cangkir teh di hadapannya.
"Wah... sungguh luar biasa! Jadi setelah mereka bertunangan, mereka langsung nge-date gitu?" Cantika menutup mulutnya dengan tangan, seolah tak percaya dengan informasi tersebut.
"Iya, itu yang Raden ucapkan tadi malam. Dia bilang Raya sangat senang dengan semua ini," jawab Liu, wanita itu tidak pernah berhenti tersenyum saat membicarakan tentang hal ini .
"OMG... Seriously?" Cantika kembali menutup mulutnya karena kaget, matanya membulat penuh rasa tidak percaya. Liu hanya mengangguk dengan senyum lebar, merasa puas dengan perkembangan yang terjadi..
"Aku pulang," ujar Ryan yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
Semua kepala langsung menoleh ke arahnya. Sosok tinggi dengan wajah dingin dan tegas itu berdiri dengan elegan di bawah cahaya lampu gantung kristal. Ryan tampak berwibawa dalam setelan jas kerja berwarna abu-abu tua yang melekat sempurna di tubuhnya. Kemeja putihnya sedikit kusut, dan dasinya melonggar, menandakan hari yang panjang di kantor. Meski demikian, pancaran auranya yang kuat tetap tak terbantahkan.
"I miss you, brother!" ujar Cantika seraya memeluk sang kakak yang duduk di sampingnya. Ryan yang baru saja pulang dari kantor tampak masih mengenakan setelan formal dengan dasi yang sedikit longgar. Wajah dinginnya tetap terjaga meski ada secercah senyum tipis yang muncul. Tanpa berkata sepatah pun, dia membalas pelukan adiknya itu dengan satu tepukan ringan di punggung.
"Kapan kembali? Astaga, kenapa tidak mengabari aku? Padahal aku bisa jemput," ujar Ryan sembari perlahan melepaskan pelukannya.
"Sengaja... Aku ingin memberikan kejutan untuk kalian semua," jawab Cantika dengan senyum lebar.
"Akhirnya kamu sampai juga. Oh ya, kamu membawa hadiahnya?" tanya Liu dengan antusias, matanya berbinar. Pertanyaan itu berhasil mengalihkan perhatian Ryan dari adiknya.
"Aku tidak tahu apa dia akan menyukainya atau tidak. Tapi bukankah setidaknya aku sudah berusaha yang terbaik?" ujar Ryan sembari menunjukkan paper bag berwarna pastel dengan logo toko perhiasan ternama.
"Apa itu?" tanya Rudianto yang sedari tadi hanya diam sambil menikmati tehnya.
"Perhiasan. Tadi Alex yang membelinya. Raden tidak tahu harus membeli apa untuknya, jadi Raden menyuruh Alex saja yang memilih. Dia bilang kalau Raya pasti suka," ujar Ryan dengan nada santai namun tegas.
"Hmm... perhiasan bukan hal yang buruk untuk diberikan pada perempuan. Hampir 99% perempuan menyukai perhiasan," ujar Rudianto bijak sambil tersenyum kecil.
"Kakak, jadi kamu beneran mau nikah?" tanya Cantika penuh selidik, matanya menyipit seolah mencoba membaca ekspresi kakaknya.
"Ada apa dengan matamu itu?" ujar Ryan dengan wajah datarnya yang tak berubah sedikit pun.
"Aisshh... Ini aku sedang menunjukkan ekspresi wajah curiga tau!" ujar Cantika sambil melipat kedua tangannya di depan dada, berhasil membuat kedua orang tuanya tergelak.
"Oh..." jawab Ryan acuh tanpa minat untuk berdebat.
"Nah kan, mulai lagi sifat manusia es-nya. Aku curiga ada udang di balik batu," ujar Cantika dengan nada kesal yang dibuat-buat.
"Sudah lah Cantik, jangan mengganggu kakakmu itu. Selesai makan malam kita ke sana ya, sayang," ujar Liu penuh semangat sambil menatap suaminya seolah meminta persetujuan.
"Baiklah, terserah Mama saja, Mama memang selalu membela kak Raden. Apa Papa ikut juga?" tanya Ryan sambil melirik ayahnya.
"Papa tidak ikut. Nanti malam harus pergi ke rumah kakek kalian, katanya ada hal yang ingin dia katakan. Jadi kalian pergi saja bersama Mama," ujar Rudianto dengan nada tenang.
"Cantik ikut dengan Papa saja boleh? Aku rindu ingin bertemu dengan Opah," ujar Cantika manja pada sang ayah sambil menggenggam tangannya.
"Baiklah sayang... tidak apa-apa kan?" ujar Rudianto sembari mengecup kening sang putri yang duduk di sampingnya.
"Tidak masalah, lagipula aku hanya ingin menemani Raden memberikan hadiahnya," ujar Liu sembari tersenyum hangat.
"Baiklah..." jawab Rudianto sambil mengangguk.
.......
Di kediaman utama keluarga Louwis, keheningan menyelimuti seluruh rumah saat sore menjelang malam. Cahaya senja yang redup menembus celah tirai jendela, menciptakan nuansa hangat di ruangan besar dengan arsitektur klasik namun tetap modern.
Di kamar luas yang ditempati Raya, nuansa elegan terasa dari setiap sudutnya. Dinding kamar berwarna krem lembut berpadu dengan perabotan kayu jati yang elegan. Sebuah tempat tidur king-size dengan sprei putih bersih terletak di tengah ruangan, dihiasi bantal-bantal empuk dan selimut tebal. Di sisi kanan, terdapat meja rias yang tertata rapi, sementara rak buku kecil di dekat jendela memperlihatkan beberapa novel dan majalah yang tertumpuk.
Raya terlihat tertidur pulas di atas tempat tidur, wajahnya tenang seolah tanpa beban. Rambutnya yang panjang terurai di atas bantal, menciptakan kontras indah dengan sprei putih bersih. Nafasnya teratur, menunjukkan betapa lelah tubuhnya setelah menjaga Arka semalaman.
Sementara itu, langkah cepat terdengar di lorong lantai atas.
"Bibi, di mana Raya?" tanya Arka kepada salah satu ART yang tidak sengaja berpapasan dengannya.
"Sepertinya Nyonya masih ada di kamarnya, Tuan. Setelah makan siang tadi, Nyonya belum terlihat berkeliaran di seluruh rumah," ujar sang ART sembari menunduk sopan.
"Baiklah!" balas Arka singkat. Tanpa membuang waktu, Arka segera menaiki tangga menuju kamar Raya. Langkahnya mantap namun tergesa-gesa. Sesampainya di depan pintu kamar yang bercat putih dengan ornamen ukiran klasik, dia mengetuk beberapa kali.
Tok... tok... tok...
Namun tidak ada jawaban. Setelah menunggu beberapa detik, Arka menekan handle pintu dan mendapati pintu tidak terkunci. Dengan hati-hati, dia membuka pintu tersebut.
Begitu masuk, pandangannya langsung tertuju pada sosok Raya yang masih terlelap. Gadis itu terlihat begitu damai dalam tidurnya, seolah dunia di sekitarnya tidak berarti. Arka mendekat dengan langkah pelan, takut mengganggu ketenangan gadis itu. Dia kemudian duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan wajah Raya yang tampak begitu lembut dalam tidur nyenyaknya.
Perlahan, sebuah senyum tipis menghiasi wajah Arka. Entah mengapa, melihat Raya yang tertidur pulas memberinya rasa lega yang sulit dijelaskan.
"Kamu cantik sekali, Ray... Aku menyesal telah membuatmu terluka," bisik Arka lirih, suaranya sarat penyesalan yang mendalam. "Kau wanita baik dan cantik, namun sayangnya nasibmu begitu malang. Orang tuamu tidak pernah menghargai mu, namun kau tetap menyayangi mereka tanpa ragu." Arka menatap wajah Raya yang terlelap damai, rambutnya yang terurai lembut menghiasi bantal putih bersih. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya, perasaan yang selama ini dia abaikan mulai menggeliat dengan kuat.
"Maaf aku telat menyadari perasaanku... Kau akan menikah dengan pria itu, kan?" lanjutnya dengan suara yang semakin rendah. "Semoga kau bahagia. Aku harap aku bisa selalu bersamamu, meski kau sudah menjadi milik orang lain." Arka menghela napas panjang, rasa getir menyelimuti hatinya.
"Kalau boleh egois, aku ingin egois, Ray. Aku ingin mengambil mu dari calon suamimu itu. Tapi aku takut... takut merusak kebahagiaanmu lagi jika aku melakukan itu." Tatapannya melembut penuh cinta, seolah berharap waktu berhenti sejenak hanya untuk momen ini. Selama ini, yang dia kira kebencian ternyata hanyalah topeng dari rasa cinta yang tumbuh sejak pandangan pertama ketika dia melihat Raya dibully oleh teman-temannya.
"Aku mencintaimu, Raya... sangat mencintaimu," ucapnya dengan penuh rasa tulus. Perlahan, dia mendekat dan mengecup pelan kening Raya, berhati-hati agar tidak mengusik tidur nyenyak nya. Hatinya terasa berat saat harus bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah pelan, Arka keluar dari kamar itu, menutup pintunya kembali dengan lembut. Dia membiarkan Raya tetap dalam tidurnya yang damai.
.........