Memiliki Suami tampan,baik, penyanyang, pengertian, bahkan mertua yang baik adalah sebuah keberuntungan. Tapi bagaimana jika semua itu adalah hanya kamuflase?
Riska Sri Rahayu istri dari Danang Hermansyah. Mereka sudah menikah selama 4 tahun lebih namun mereka belum memiliki buah hati. Riska sempat hamil namun keguguran. Saking baiknya suami dan mertua nya tidak pernah mengungkit soal anak. Dan terlihat sangat menyanyangi Riska, Riska tidak pernah menaruh curiga pada suaminya itu.
Namun suatu hari Riska terkejut ketika mendengar langsung dari sang mertua jika suami nya sudah menikah lagi. Bahkan saat ini adik madu nya itu tengah berbadan dua.
Riska harus menerima kenyataan pahit manakala yang menjadi adik madu nya adalah sepupu nya sendiri.
Sanggupkah Riska bertahan dan bagaimana Riska membalaskan sakit hati nya kepada para pengkhianat yang tega menusuk nya dari belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Mencari Bukti
Setelah masuk kamar, kamar yang dulu menjadi saksi bisa kisah cinta kami itu kini menjadi tujuan utamanya. Mataku memindai seluruh isi kamar bisa jadi sedikit menemukan barang bukti. Lalu mataku menatap lemari. Lekas, kubuka lemari kayu itu, tempat menyimpan barang-barang Mas Danang.
Mataku terus memindai isi lemari. Namun tidak aku temukan sesuatu. "Kamu pintar sekali, Mas. Tapi pasti akan ku temukan bukti itu. Awas saja jika kamu memang benar sudah menikah lagi! aku tak akan tinggal diam."
Kemudian mataku menatap laci di bagian bawah lemari. Semoga, di tempat ini ada petunjuk.
Laci ini penuh dengan barang-barang bekas milik Mas Danang. Aku sempat menegur nya supaya membuang saja barang-barang bekas itu, namun Mas Danang melarang. Di sana ada beberapa topi, ikat pinggang, dua buah dompet yang telah usang, jam tangan yang tidak lagi terpaksa dan tiga buah dompet dan tas selempang yang sudah tidak di gunakan lagi.
Satu persatu kubuka isi dompet tersebut. Tapi, masih nihil. Tidak ada apa-apapun yang bisa memberikan petunjuk tentang siapa istri baru Mas Danang. Lalu aku beralih memeriksa tas selempang pertama. Masih tak ada apapun kosong. Tidak putus asa, aku pun membuka tas kedua, saat kurasa seperti ada beberapa barang-barang di dalamnya. Ada foto kopi KTP. Milik siapa?.
Ya Tuhan... inikah petunjuk yang engkau berikan? dadaku kembali bergemuruh. Kali ini lebih berisik dari sebelumnya, setelah mengetahui siapa pemilik fotokopi KTP tersebut. Siska Aulia. Nama pemilik tanda pengenal tersebut. Kapan Mas Danang bertemu dengan sepupuku? Ada urusan apa lelaki itu menyimpan data pribadi adik sepupuku? kenapa harus dia yang kamu jadikan maduku, Mas? Berbagai spekulasi bermunculan di dalam sini.
Benarkah sepupu ku yang menjadi maduku? Tega kamu Siska! padahal, orang tuaku lah yang membiayai hidup hingga kamu bisa mencari uang sendiri. Tapi, begini balasannya? Di mana letak hati nurani mu saat menikah dengan suami sepupu mu sendiri? Apa yang ada di pikiran mu hingga sanggup menyakiti wanita yang begitu menyanyangimu, Siska? Setan mana yang berhasil menggelapkan mata hati mu, Siska? Tubuhku luruh ke lantai seiring dengan hancurnya perasaanku.
Hatiku hancur berkeping-keping mengetahui kenyataan ini. Air mataku pun bak aliran sungai yang sangat deras. Aku di sakiti oleh orang yang paling ku sayangi sekaligus.
Apa salahku hingga kalian tega berbuat seperti ini padaku? Apa doaku pada kalian semua hingga sampai hati menusukku dari belakang seperti ini.
Ku tatap jarum jam dinding. Sudah satu jam lamanya aku menangis.
Baiklah, kalau ini cara kalian membalas kebaikanku. Maka jangan salahkan aku kalau suatu saat terjadi sesuatu dengan kalian semua!
Segera kuhapus air mata. Aku pastikan tidak akan ada lagi air mata setelah ini. Sudah cukup kalian menghancurkan aku lagi. Bodoh kalau aku terus menangis, sementara mereka merasa bahagia. Tidak akan aku biarkan kalian bahagia setelah pengkhianatan ini.
***
Menjelang Maghrib Mas Danang kembali menghubungiku. Ini sudah kelima kalinya. Namun, aku masih enggan untuk berbicara padanya. Mengabaikan kembali sepertinya lebih baik untuk kesehatan mental ku saat ini.
Lebih baik aku segera ambil air wudu dan menunaikan kewajiban tiga rakaat.
Di atas sajadah aku menumpahkan segala keresahan dan kegundahan di dalam hati. Ku adukan segala lara di hidup ini pada Sang penguasa kehidupan. Ya Allah tuntun hambamu ini untuk bisa melewati semuanya
Di atas ranjang aku mencoba menenangkan diri dengan membaca Al-quran, lalu berusaha mentadaburi.
"Nak Riska," Suara Ibu mertua itu terdengar sangat khawatir. Aku yakin Bu Zainab ke sini karena panggilan anaknya yang berulang kali aku abaikan.
Seandainya aku tidak mendengar langsung dari mulut Ibu mertua, sudah pasti sampai saat ini aku masih beranggapan menjadi satu-satunya istri Mas Danang. Dan aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di muka bumi ini sebab memiliki suami dan mertua yang sangat pengertian. Sayangnya itu semua hanya kamuflase.
Ketukan di pintu semakin terdengar nyaring dan sering. Aku pun segera mengatur penampilan agar terlihat seperti orang yang sedang bangun tidur.
"Waalaikumsalam, Bu," kubuka pintu depan dengan lesu. Sebisa mungkin aku akting seperti seseorang yang sedang sakit. Tidak sepenuhnya aku bohong dalam hal ini. Bukankah aku memang sedang sakit hati begitu dalam?.
"Nak, kamu sakit?." Ibu menatapku dengan Iba. Ya Allah.... pandai sekali manusia di depanku ini berlakon.
"Sedikit pusing, Bu." kuraih punggung tangan Ibu. Meskipun sakit hati, sopan santun tetap harus di kedepankan bukan?.
Kutatap punggung Ibu yang masuk ke dalam rumah. Lalu Mertua ku duduk di sofa ruang taku yang baru aku beli beberapa minggu lalu.
"Kamu baru bangun tidur, Nak?." Aku mengangguk seraya membetulkan letak sweater hitam yang kukenakan.
"Pantas telepon dari Danang kamu abaikan. Kamu sudah minum obat?." Aku menggelengkan kepala.
"Sudah makan?." Aku kembali menggeleng.
"Gimana mau sembuh kalau kayak gini. Ayo makan dulu, lalu minum obat. Kamu di sini harus sehat. Suamimu di sana biar tenang dalam bekerja." ucapan mertua ku terdengar manis sekali. Melihat perlakuannta padaku, tidak akan ada orang percaya kalau Bu Zainab tega menyakitimu.
"Ayo cepat makan terus minum obat!. sebenarnya Ibu mau ngomong sesuatu yang penting. Tapi, kalau kamu sakit begini. Ibu jadi tidak tega mau menyampaikan nya."
Aki penasaran apa yang ingin ibu sampaikan. Apa soal Mas Danang yang menikah lagi? atau mau bilang aku harus mundur dari pernikahan ini?
"Ibu, kalau mau ngomong, ngomong aja. Aku tidak apa-apa kok." Aku rasa lebih cepat Ibu jujur agar aku bisa mengambil langkah. Tapi, apa mungkin Ibu mau jujur padaku mengenai hal ini? Rasanya mustahil.
"Kamu minum obatlah dulu," Ibu memijat pundakku pelan setelah aku duduk di sisinya.
"Ibu sudah makan? aku tadi masak sop kambing. Tadinya mau aku antar, tapi mendadak sakit jadi urung. Nanti Ibu bawa ya. Aku masak itu memang buat ibu." sesakit hati apapun aku tetap harus membagi menu itu dengan ibu. Dimakan sendiri terlalu banyak. Aku tidak mungkin makan sop kambing seorang diri.
"Benarkah? kamu memang tahu cara menyenangkan hati mertua. Ibu jadi makin sayang sama kamu, Ris," senyum Ibu lebar, wajahnya terlihat sumringah.
Dulu aku bahagia melihat wajahnya yang sumringah seperti itu. Sayangnya, saat ibu aku tidak lagi bisa merasakan itu seperti dulu lagi. Sakit hari menutup rasa empati ku padanya.
"Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa memberikan keturunan pada Mas Danang, Bu?." dengan segera aku menyahut demikian ingin tahu apa reaksinya.
.
.
.
Bersambung....
tinggalkan aja suamimu riska......