Bayangan indahnya hidup setelah sah menjadi seorang istri, tidak dirasakan oleh Mutia Rahma Ayunda, ternyata ia hanya dijadikan alat untuk mencapai ambisi suaminya , Rangga Dipa .
Setelah menikah, Rangga yang berasal dari keluarga kaya,berusaha mewujudkan semua mimpinya untuk memiliki fasilitas mewah dengan mengandalkan istrinya. Rangga hanya menafkahi Mutia dengan seenaknya, sebagian besar uangnya ia pegang sendiri dan hanya ia gunakan untuk kepentingannya saja, Rangga tidak peduli dengan kebutuhan istrinya. Sampai mereka dikaruniai anakpun, sikap Rangga tidak berubah, apalagi ia masih belum bisa move on dari mantan pacarnya, Rangga jadi lebih mengutamakan mantan pacarnya dari pada istrinya.
Kehidupan Mutia sering kali diwarnai derai air mata. Mampukah Mutia bertahan, dan akankah Rangga berubah?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cicih Sutiasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cobaan Pertama
Malam itu Pak Yuda dan keluarga menginap di rumah Pak Dwi, sementara keluarga Pak Dwi sekalian menginap di Hotel yang akan dijadikan tempat resepsi.
Katanya, pagi-pagi sekali mereka akan dijemput oleh pihak Hotel.
Di jalan , mobil Rangga yang tadinya akan menuju Hotel, tiba-tiba belok ke arah lain. Kini Rangga menuju sebuah cafe, di sana teman-temannya sudah menunggu, katanya mereka ingin mengadakan pesta perpisahan sebelum pernikahannya berlangsung.
Yang namanya pesta ala mereka, tentu saja tidak lepas dari minuman-minuman yang beralkohol.
Awalnya Rangga menolak, namun Edwar memaksanya, katanya setelah beristri nanti, belum tentu mereka bisa ngumpul-ngumpul seperti ini lagi.
Edwar sengaja ingin membuat Rangga mabuk, agar dia terlihat kacau di hari pernikahannya besok. Rupanya Edwar masih kesal dengan ucapan Pak Dwi yang menyebut mereka racun waktu itu.
Dan kini, Edwar membuktikannya, ia sudah berhasil membuat Rangga hilang kesadaran. Setelah itu, mereka meninggalkan Rangga di cafe.
'Rasain kamu Rangga, sudah tahu kita-kita ini racun kan, masih saja ngikut apa kata kita, ha....ha...ha....', batin Edwar bicara, ia merasa puas sudah mengerjai Rangga.
Tubuh Rangga yang sudah tidak sadarkan diri, mereka biarkan di sofa, sementara mereka melanjutkan kembali pestanya.
Pak Dwi sudah beberapa kali menghubungi Rangga yang lama tiba di Hotel, namun tidak ada jawaban.
"Kemana ini anak, disaat penting begini saja masih di anggap main-main.
"Mana Kak Rangga Pi, belum datang?", Bu Anggi menghampiri suaminya yang sedang menatap ke arah luar.
"Belum Mi..., ini sudah beberapa kali di telepon juga tidak di angkat", Pak Dwi terlihat khawatir.
"Aduh..., Mami takut Rangga menemui teman-temannya lagi",
"Ah..., tidak mungkin..., kemarin sudah Papi ultimatum, mereka tidak akan berani mengajak-ajak Rangga lagi",
"Ya..., semoga saja begitu, mungkin Rangga terjebak macet, ini kan week end",
"Terus..., ini urusan dengan WO bagaimana?", tatap Bu Anggi.
"Kita handle saja semuanya", ucap Pak Dwi, ia kembali ke dalam ruangan untuk merampungkan semua persiapan untuk besok.
Sesekali Pak Dwi mengeluarkan ponselnya untuk cek siapa tahu ada kabar dari Rangga, namun lagi-lagi Pak Dwi harus kecewa, tidak ada satu kabarpun dari Rangga.
Hati Pak Dwi mulai khawatir, ia takut ada hal tidak beres menimpa anaknya, apalagi ia baru mendapat kabar dari Rani, katanya Rangga sudah pergi sejak tadi.
Rasa sayangnya kepada Rangga mengalahkan semuanya, bagaimanapun adanya seorang anak, mau nakal dan bandel sekalipun, tidak akan mengurangi kasih sayang orang tua kepada anaknya.
"Mi..., semua sudah beres, Mami dan Rani istirahat saja, besok pagi-pagi sekali keluarga Pak Yuda akan tiba di sini, Papi mau mencari Rangga dulu", ucap Pak Dwi, menatap istrinya itu.
"Sudah malam Pi, mau mencari kemana?, nanti Mami yang tambah bingung kalau Papi ikutan menghilang", ucap Bu Anggi tampak sangat khawatir.
"Terus..., masa Papi harus diam saja?, Papi akan coba telepon teman-temannya, siapa tahu Rangga ada bersama mereka",
"Ya sudah..., hati-hati...", akhirnya dengan berat hati Bu Anggi melepas suaminya pergi.
"Kasihan Papi Bu", ucap Rani lagi.
"Semoga semuanya baik-baik saja, Papi pulang dengan selamat bersama kakakmu", Bu Anggi tersenyum.
"Iya..., besok kan hari istimewa untuk Kakak", Rani pun tampak khawatir.
Di jalan, Pak Dwi pun tampak bingung, kemana ia harus mencari Rangga. Ia juga tidak mempunyai satu pun nomer telepon milik teman Rangga.
"Aduh...Rangga..., dimana kamu", gumam Pak Dwi, ia melajukan mobilnya pelan. Ia teliti setiap keramaian yang dilewatinya, ia begitu berharap Rangga ada diantara mereka.
Namun sayang, sudah berkeliling hampir dua jam pun, tidak terlihat keberadaan Rangga di sana.
"Bagaimana ini, ini sudah hampir tengah malam, Rangga...Rangga...", gumam Pak Dwi.
Ia memarkir mobilnya di pinggir jalan di dekat sebuah cafe yang terlihat sepi, dan sudah hampir mau tutup.
Pak Dwi hendak memejamkan mata, namun ia melihat sekelompok anak muda keluar dari cafe itu.
"Itu..., itu..., itu bukannya Edwar?", Pak Dwi menajamkan penglihatannya, ia masih sangat hafal dengan Edwar, ia sempat melarang anak itu saat akan mengajak Rangga pergi.
"Apa Rangga ada bersama mereka?", gumam Pak Dwi. Namun hingga semua rombongan anak muda itu keluar dari cafe, Pak Dwi tidak melihat ada Rangga bersama mereka.
"Tidak ada juga...", gumam Pak Rangga lemas.
Rombongan teman-teman Rangga semua sudah berada di atas sepeda motornya masing-masing. Pak Dwi pun inisiatif mengikuti mereka perlahan, ia sangat berharap bisa mendapatkan petunjuk soal Rangga.
Pak Dwi harus bisa menjaga jarak aman dengan mereka, kalau tidak, mereka bisa curiga kalau sedang diikuti.
Untuk saja di depan sana ada pertigaan yang dilengkapi lampu merah, jadi Pak Dwi bisa kembali dekat dengan mereka.
Salah seorang dari mereka sempat ada yang menatap curiga dengan mobil yang sedang dikendarai Pak Dwi.
"Ha...ha...ha...., aku senang sekali hari ini, dia akan sangat memalukan besok", sebuah suara bisa ditangkap oleh telinga Pak Dwi.
"Anak itu lagi", gumam Pak Dwi begitu ia mengenali Edwar yang barusan berbicara.
"Kamu itu tega sekali, dia kan mau married besok, bagaimana keluarganya, pasti akan sangat malu jika mempelainya tidak lengkap, mempelai laki-lakinya menghilang", ucap Edwar lagi.
"Sekarang dia sedang fly, tidak akan sadar sampai besok pagi, biar tahu rasa mereka", terdengar lagi suara Edwar yang diikuti tawa bahagianya.
"Apa dia sedang bicara soal Rangga?", gumam Pak Dwi , ia menajamkan pendengarannya .
"Ah..., apa Rangga ada di cafe yang tadi?", Pak Dwi terperanjat, kenapa baru sekarang ia ngeuh.
"Aku harus segera kembali ke cafe itu, Rangga ada di sana", gumam Pak Dwi.
Setelah melewati lampu merah, Pak Dwi langsung putar arah, ia bermaksud kembali ke cafe yang tadi dilihatnya Edwar di sana.
Ternyata cafenya sudah tutup, tak ada seorang pun yang ia temui di sana.
"Aduh..., bagaimana caranya masuk ke sana", Pak Dwi tampak berjalan mondar-mandir di depan pintu cafe.
"Ada yang bisa saya bantu Pak?", seorang security menghampirinya.
"Pak..., anak saya ada di dalam, tolonglah, bisa bantu untuk masuk ke dalam?", tatap Pak Dwi, ia setengah memohon.
"Semua sudah pulang Pak, tidak ada satu orang pengunjung pun di sana",
"Tolonglah Pak , coba cek sekali lagi, besok anak saya akan menikah, bisa kacau jika dia tidak ada",
"Tapi ini diluar prosedur tugas saya Pak, saya bisa kena sangsi dari atasan jika melanggarnya",
"Tolonglah Pak, biar saya nanti yang bertanggung jawab jika terjadi sesuatu", yakinkan Pak Dwi.
Security itu tampak berpikir, lalu ia membawa Pak Dwi ke depan pintu cafe.
"Tuh...Pak, di dalam sudah sepi , tidak ada lagi orang di sana", ucapnya.
"Tapi..., saya yakin dia ada di dalam sana", ucap Pak Dwi lagi.
"Pak, maaf..., saya tidak bisa membantu, kalau anak Bapak ada di dalam, dia sudah meminta tolong untuk keluar",
"Ya sudah kalau begitu...", ucap Pak Dwi tampak kecewa.
Pak Dwi pun akhirnya balik kanan, namun...,
"Uhuk...uhuk...", terdengar suara orang batuk dari dalam.
"Rangga..., Rangga...?",