Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14 : Maksud Ibu Aminah
“Kamu pulang lebih cepat dari yang Ibu kira, Wi,” ucap ibu Aminah yang kebetulan membukakan pintu. Ia tersenyum hangat kemudian meminta Dewi untuk tidak menangisi Prasetyo lagi.
“Ini awal kebahagiaan kamu dengan anak-anak kamu!” tegas ibu Aminah masih bertutur santun.
Sambil mengelap air matanya menggunakan ujung jilbab kanannya, Dewi berkata, “Ternyata selama dua tahun terakhir, ... selama itu juga, ... Mas Pras selingkuh dengan ibu Retno, Bu!” Ia berangsur menatap kedua mata majikannya. Dewi memang refleks menceritakan semuanya. Sebab bersama ibu Aminah, ia seolah memiliki sandaran sekaligus tempat untuk berkeluh kesah. Dewi telanjur menganggap wanita baya di hadapannya sebagai ibunya sendiri.
“Dan semalam mereka menikah, ... tanpa seizinku! Mungkin setelah dari sini mereka digerebek. Kurang lebih begitu kejadiannya.”
“Ibu Surmi dengan sangat bangga menceritakannya. Bahwa anaknya telah menikahi wanita kaya dan baginya sangat terhormat!” Dewi tidak bisa mengakhiri air matanya. Ia tersedu-sedu sambil terus menunduk. Sementara kedua tangannya sengaja ia gunakan untuk menekap wajah. Berharap, ulahnya itu mampu membuat air matanya berhenti mengalir. Toh, tidak ada gunanya juga menangisi manusia seperti Prasetyo sekeluarga.
Ibu Aminah sengaja mendekap hangat punggung Dewi menggunakan kedua tangannya. “Yang sabar, ... manusia yang derajatnya mau naik memang seperti ini. Kamu harus melalui cobaan lebih dulu. Jika memang kamu sanggup melewati ini, berarti kamu pantas naik level. Namun jika kamu tidak mampu, ... mau bagaimana lagi? Akan tetapi saya berharap, kamu mampu menjadi wanita lebih kuat lagi. Agar kamu juga bisa membuktikan kepada mereka yang telah menyakitimu. Bahwa kamu, ... kamu terlalu berharga untuk mereka sakiti!” lembutnya mencoba memberi Dewi pelajaran berarti.
Diberi nasihat seperti barusan, Dewi makin tersedu-sedu. Andai, orang tuanya masih peduli. Setidaknya ia tak akan hilang arah. Setidaknya, Dewi masih memiliki tempat untuk bertukar pikiran. Bukan seperti sekarang, sekadar bertukar kabar saja, Dewi tidak punya. Sebab kedua orang tuanya memilih menutup mata jika harus berurusan dengan semua yang berhubungan dengan Dewi. Seolah, Dewi memang bukan siapa-siapa mereka.
“Sekarang juga kamu ke KUA, selagi belum tutup. Pokoknya langsung urus mumpung Pras dan istri barunya juga baru menikah! Biar bisa cepat diproses!” ucap ibu Aminah.
“Utari masih tidur, sementara Alif masih menonton televisi,” ucap ibu Aminah lagi yang kemudian pergi meninggalkan Dewi. Wanita itu berdalih akan mengabari sang suami untuk siap-siap mengantar Dewi ke KUA. Kebetulan, KUA Dewi dan Prasetyo menikah memang ada di kecamatan tak jauh dari rumahnya.
Ketika Dewi menemui Alif, ibu Aminah agak memaksa sang suami untuk masuk ke dalam kamar. Alif masih anteng menonton televisi hitam putih di hadapannya. Bocah itu menonton televisi sambil memakan camilan di kursi kecil dan memang khusus untuk anak kecil. Saking inginnya memiliki momongan, kepada Alif pun, ibu Aminah dan pak Mahmud menyiapkan semuanya. Pakaian, tempat duduk, selimut, makanan, bahkan sepeda. Benar-benar semuanya.
“Mama mau pergi bentar lagi, ya. Mas Alif sama ibu di rumah. Jangan rewel, ya?” lembut Dewi wanti-wanti.
“Iya, Ma ...,” balas Alif tak kalah lembut.
Jujur, sebenarnya melihat Alif langsung membuat Dewi teringat Prasetyo. Sebab keduanya memiliki garis wajah yang sangat mirip. Alif mewarisi ketampanan dari sang papa. Namun Dewi sangat berharap, putranya tidak mewarisi watak sang papa.
“Sayang, ....” Ibu Aminah menceritakan perihal apa yang Dewi ceritakan tentang Prasetyo. Ia menceritakan semuanya.
Sepanjang sang istri bercerita, pak Mahmud jadi sibuk geleng-geleng sambil istighfar.
“Makanya, langsung diurus saja, biar cepat diproses! Takutnya kan istri baru si Pras orang kaya. Takutnya mereka sengaja bikin Dewi makin susah. Termasuk, Dewi yang dipersulit buat cerai! Ih amit-amit!” ucap ibu Aminah.
“Iya, ... ini mau langsung diurus,” yakin pak Mahmud masih menyikapi sang istri dengan sangat lembut.
“Terus,” lirih ibu Aminah mendadak serius.
Pak Mahmud yang baru mengambil dompet lipatnya dari dalam laci lemari hias di sebelahnya, berangsur menoleh.
“Bapak kan tahu, ... usiaku sudah enggak lama lagi,” ucap ibu Aminah. Bukan hanya wajahnya yang menjadi sendu. Sebab sang suami juga jauh lebih parah. Meski perlahan, wajah pak Mahmud menjadi marah.
“Jangan bicara seperti itu!” tegur pak Mahmud.
“Menikahlah dengan Dewi! Dia masih sangat muda! Usianya baru akan genap dua puluh lima. Sementara selain dia sudah memiliki dua anak yang sehat-sehat, daru Dewi, Bapak juga bisa memiliki keturunan pasti!” sergah ibu Aminah.
“Dia lebih pantas jadi anakku, Bu!” lirih pak Mahmud tapi dengan nada marah. Ia bahkan menatap marah sang istri. “Aku hanya mencintaimu, Bu! Diberi seperti sekarang ini saha, sudah lebih dari cukup. Urusan Dewi, biarkan dia menikah dengan laki-laki yang jauh lebih muda dariku. Dewi pantas dapat yang lebih baik!”
Ibu Aminah menggeleng lemah. “Bukan begitu, Pak. Bersama Dewi, kalian pasti akan sama-sama bahagia. Dewi wanita yang baik. Cukup sayangi dia dan kedua anaknya, Dewi pasti akan mencintai Bapak sampai akhir usia!” mohonnya.
Dewi baru saja meninggalkan kamar dirinya dan anak-anaknya tinggal. Kamar yang keberadaannya ada di depan dapur. Tas lusuh warna cokelat kusam masih menghiasi pundak kanannya. Untuk pertama kalinya, Dewi melihat pak Mahmud melangkah cepat meninggalkan ibu Aminah. Padahal, ibu Aminah terus memanggil memohon-mohon. Namun pria berusia lima puluh tahuan itu tampak tidak peduli.
“Itu mereka kenapa? Tumben? Masa iya berantem?” pikir Dewi pura-pura tidak melihat. Dewi sengaja kembali ke dalam kamar dan berlaga bahwa dirinya baru keluar dari kamar.
“Wi ...?” lembut ibu Aminah mencari-cari.
Ibu Amina mengarahkan Dewi untuk segera berangkat dengan pak Mahmud. Namun, tampang pak Mahmud kali ini terlihat sangat jutek. Sebelumnya, Dewi belum pernah melihat pak Mahmud seperti itu.
knp g langsung nikah aja pak bozzzzzzz....
gasss thorrr
Skrang ribet ruwet ngk semudah dlu