Bismillahirrohmanirohim.
Blur
Ulya sedang seorang gadis muslimah yang sedang menunggu dokter memeriksa ibunya dengan rawat wajah khawatir. Tapi disaat dia sedang terus berdoa untuk keselamatan sang ibu tiba-tiba dia melihat seorang bocah sekitar berumur 4 tahun jatuh tak jauh dari tempatnya berada.
Ulya segera membantu anak itu, siapa sangka setelah bertemu Ulya, bocah itu tidak ingin berpisah dengan Ulya. Anak kecil itu ingin mengikuti Ulya.
"Jadilah pengasuh Aditya, saya akan menyanggupi semua syarat yang kamu mau. Baru pertama saya melihat Aditya bisa dekat dengan orang asing apalagi perempuan. Saya sangat meminta tolong sekali, Ulya agar kamu meneriam tawaran saya." Raditya Kasa Hans.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilmara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14.
Bismillahirrohmanirrohim.
Jangan bosen-bosen ya, seperti biasa sebelum lanjut author mau ingetin, jangan lupa like, komen, rate bintang 5 dan favorit!
...Bagi kebanyakan orang atau hampir seluruh manusia dimuka bumi ini. Keluarga adalah rumah untuk mereka, kita. Keluarga merupakan tempat mendapatkan segalanya, ada cinta di dalamnya, kebahagain, dukungan dan kekuatan tanpa adanya syarat. Keluarga tempat kita berlindung dan selalu ada untuk kita. Tapi pernahkan kita berpikir ada orang-orang diluar sana, mengira keluarga adalah hal yang paling mereka benci, keluarga menghancurkan hidup mereka. Apakah benar begitu?...
...Lalu pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, apa arti keluarga dalam hidup kita?...
Kediaman keluarga Kasa.
Di kamar tempat Ulya beristirahat, gadis itu masih perang bersama batinnya sendiri.
Ingin rasanya Ulya mencegah Hans untuk tidak membawa Aditya keluar dari kamar itu. Sayangnya Ulya tak bisa berbuat apa-apa, kata-katanya tertahan di tenggorokan.
'Aku mohon pak Hans, Aditya jangan tinggalkan aku sendiri di kamar ini bersama nyonya besar. Aku tidak punya keberanian walaupun hanya sekedar menatap beliau.' Ucap hati Ulya yang tertahan tidak sampai untuk diucapkan.
"Ulya." Rasanya Ulya ingin menghilang saat itu juga kala mendengar nyonya Milda menyebut namanya.
"Iya nyonya." Jawab Ulya menatap sejenak lawan biaranya, buru-buru dia kembali menunduk.
Melihat gerak-gerik Ulya, Milda menjadi merasa bersalah sendiri. Memang beliau sadar sedari awal dirinya lah yang sudah salah, menganggap Ulya sama seperti gadis-gadis tak memiliki sopan yang pernah beliau temui sebelumnya.
"Saya minta maaf nyonya sudah sangat menyusahkan." Kata Ulya karena merasa nyonya Milda hanya diam saja sambil menatap lekat dirinya.
Dia sangat menyesal sudah menyusahkan orang-orang di kediaman Kasa, terutama Hans.
Wanita paruh baya itu menghembuskan nafas pelan. "Kenapa minta maaf Ulya? Saya yang bersalah disini."
Nyonya besar keluarga Kasa itu benar-benar sangat merasa bersalah pada pengasuh kesayangan cucunya. Apalagi Ulya sama sekali tidak menyalahkan dirinya atas apa yang sudah menimap gadis itu.
Mendengar perkataan nyonya Milda, Ulya sontak mengangkat kepalanya berusaha menatap wanita paruh baya yang duduk tepat di depannya ini, betapa kagetnya Ulya saat nyonya Milda tersenyum tulus pada dirinya, seminggu ini Ulya tahu betul kalau nyonya Milda sangat tidak menyukai dia bukan.
'Aku sungguh sangat menyesal, Astagfirullah. Ampuni lah semua dosaku terhadap gadis ini.' sesal wanita paruh baya yang masih terlihat ayu di umurnya yang sudah semakin bertambah lanjut.
"Ulya, maaf atas semua kelakuan tidak baik saya pada dirimu selama 1 minggu kamu berada di kediaman Kasa. Saya sungguh-sungguh minta maaf."
Ha! Cengoh Ulya.
Jujur dia merasa tercengang atas perkataan yang baru saja terlontar dari mulut nyonya besar keluarga Kasa. Ulya segera sadar akan kekonyolan yang dia lakukan.
"Tidak nyonya, memang saya yang salah dan anda berhak marah."
"Mulai sekarang jangan panggil saya nyonya, Ulya. Sejujurnya saya sangat risih dipanggilan nyonya."
"Maaf nyonya, saya salah."
'Astagfirullah gadis ini, apakah aku sudah sangat keterlaluan satu minggu ini. Dia bahkan terlihat takut padaku.' Milda semakin menyesali perbuatannya.
"Jadi apakah kamu mau memaafkan saya?"
"Tentu nyo-"
"Jangan panggil saya nyonya, panggil ibu atau mama, boleh juga grandma saja."
'Apakah tidak salah?' dua orang perempuan berbeda usia itu malah berperang dengan batin mereka sendiri.
"Saya sudah pasti memaafkan grandma."
Tanpa Ulya duga Milda langsung memeluk tubuhnya sambil mulut Milda mengucapkan terima kasih, walaupun bingung Ulya tetap membalas pelukan nyonya Milda.
"Terima kasih, Ulya sudah mau memaafkan saya."
"Sama-sama nyonya."
Ceklek!
Saat kedua perempuan itu akan melepaskan pelukan mereka pintu kamar Ulya kembali terbuka memperlihatkan Aditya yang berada di dalam gendongan Hans, ayah dan anak itu menatap bingung Ulya dan nenek Milda. Lalu Hans tersadar akan kelakuan mamanya itu menggeleng pelan.
"Grandma cama mbak Lia, kenapa dad?"
"Daddy juga tidak tahu." Hans berjalan mendekati Ulya dan mamanya, Hans masih setia menggendong Aditya.
"Hans kamu belum berangkat kerja?"
"Belum Ma, Aditya nggak mau dilepas kalau nggak sama mbak Lia-nya."
Baru saja Hans selesai bicara Aditya sudah merengek minta turun dari gendongan Hans.
"Daddy, Aditya mau turun, mau cama mbak Lia." Anak itu bahkan memberontak dalam gendongan Hans.
"Cucu grnadma, tapi hati-hati sayang kaki mbak Lia masih sakit."
"Ciap grandma." Aditya mengangkat satu tanganya di hadapan sang nenek bergaya hormat, tingkah Aditya itu membuat 3 orang dewasa tersebut sontak tertawa.
"Kamu ini ada-ada saja ya tingkahnya."
Karena gemas Milda mencubit pelan wajah imut cucunya itu.
"Ma, aku berangkat dulu. Aditya, salim sama daddy dulu."
Aditya langsung menghadap daddnya itu, dengan cekat dia mencium punggung tangan Hans secara takzim, lalu berganti Hans mencium kedua pipi juga kening Aditya.
"Daddnya mbak Lia nggak calim cama daddy?"
Eh! Jelas Ulya kaget atas perkataan tak terduga yang keluar dari mulut Aditya. Milda malah tersenyum cucunya itu memang diluar dugaan.
Hans reflek menatap Ulya mendegar perkataan anaknya. Tapi gadis itu malah cepat menatap Aditya setelah kaget.
"Mbak Lia nggak boleh salim sama daddy, sayang?"
"Kenapa grandma? Kok daddy calim cama Aditya cama grandma juga, tapi cama mbak Lia nggak boleh?"
"Anak ini." Hans tak dapat berkata-kata, sedangkan Ulya masih diam tak tahu harus bagaimana.
Semakin dibiarkan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan maka Aditya akan terus bertanya padahal dia masih sangat kecil tapi ingin tahu sekali banyak hal.
"Calim dulu cama daddy, mbak Lia."
"Aditya, daddnya Aditya kan mau berkangat kerja dulu." Ucap Ulya berharap Hans seger pergi nanti dia yang akan menjelaskan pada Aditya.
"Benar daddy harus berangkat, Assalamualaikum."
Buru-buru Hans mengucapkan salam dan segera keluar dari kamar itu saat tahu maksud dari perkataan Ulya.
"Wa'alaikumsalam." Jawab ketiganya kompak.
"Ulya biar saya tinggal dulu, nanti kalau ada apa-apa panggil saja, mbok Irta."
"Baik grandma." Sahut Ulya, mungkin saja Milda menyuruh Ulya memanggil dirinya grandma untuk membahasakan Aditya.
"Aditya mau cama mbak Lia aja grandma."
"Baiklah."
Sepertinya Aditya sudah melupakan pertanyaannya tadi tentang masalah bersalaman.
Akhirnya Ulya menemani Aditya bermain di dalam kamar itu saja, saat akan salat dia memutuskan untuk bertayamum, karena Ulya masih belum boleh banyak bergerak.
Waktu bergulir tak terasa sore hari telah tiba. Pak Leka yang baru saja pulang dari bekerja merasa bingung tumben sekali tidak ada suara berisik Aditya.
"Cucu, aku kemana ma?" tanya Leka pada sang istri.
"Di kamar Ulya. Kaki gadis itu terkena banyak pecahan beling pa." Leka mengangkat satu aslinya mendengar ucapan sang istri.
"Maksudnya?"
Milda akhirnya menceritakan semua apa yang terjadi tadi pagi setelah suaminya itu pergi berangkat kerja ke kantor rumah sakit milik keluarga Kasa.
"Mama, mama ada-ada saja. Tapi tidak ada yang seriuskan?"
"Dokter Rumi sudah memeriksanya, dia akan terus memantau keadaan Ulya."
Leka tidak bertanya lagi, beliau sudah paham akan penjelasan sang istri.
"Semoga tidak ada yang serius, kita doakan semoga Ulya cepat sembuh."
"Aamiin." Jawab Milda cepat.