NovelToon NovelToon
Dosa Dibalik Kebangkitan

Dosa Dibalik Kebangkitan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Kutukan / Fantasi Wanita / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:913
Nilai: 5
Nama Author: Wati Atmaja

Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Restoran Sarapan Tepi Dermaga Rivendale

Di sudut pasar Rivendale, tak jauh dari dermaga yang sibuk, berdiri sebuah restoran kecil yang terkenal dengan sajian Full English Breakfast-nya. Restoran ini bernama "The Morning Hearth", dan telah menjadi favorit warga lokal maupun para pedagang yang mampir ke kota. Tempatnya sederhana, dengan meja-meja kayu panjang dan kursi-kursi yang berjejer rapi. Aroma wangi bacon panggang, sosis, dan roti panggang yang baru saja keluar dari dapur sering kali tercium bahkan sebelum pelanggan melangkah masuk.

Pagi itu, suasana restoran sangat ramai. Para pelayan bergegas mengantarkan piring-piring besar berisi sarapan khas Inggris yang menggugah selera: bacon yang garing, sosis yang juicy, telur mata sapi yang matang sempurna, tomat panggang, jamur tumis, kacang panggang, dan sepotong black pudding. Di sampingnya, dua potong roti panggang dihidangkan bersama mentega yang mulai meleleh.

“Selamat pagi! Mau sarapan lengkap atau tambahan teh herbal lokal kami?” tanya seorang pelayan muda dengan senyum lebar kepada seorang pelanggan baru.

“Full English, tentu saja. Tempat ini terkenal, jadi saya harus mencobanya!” jawab seorang pedagang yang baru tiba dari Silverhorn.

Di dinding restoran, terdapat papan tulis besar yang mencantumkan menu dan harga dengan kapur putih. Selain sarapan utama, restoran ini juga menawarkan kopi hangat, teh herbal Rivendale, dan jus buah segar dari hasil panen lokal. Harga makanan di sini dikenal murah, tetapi rasa dan porsinya memuaskan.

Letaknya yang strategis di dekat dermaga membuat The Morning Hearth menjadi tempat persinggahan wajib bagi para pelaut, pedagang, dan pekerja pasar. Setiap pagi, antrean pelanggan mengular hingga ke luar pintu. Para pedagang di pasar sering merekomendasikan restoran ini kepada pengunjung yang datang ke Rivendale.

“Kalau Anda ingin mulai hari dengan semangat, datang saja ke sini. Sarapannya murah dan porsinya besar,” kata salah seorang pekerja dermaga kepada rekannya yang baru datang dari luar kota.

Restoran ini juga memiliki daya tarik khusus berupa jendela besar yang menghadap ke dermaga. Dari sana, pelanggan bisa menikmati pemandangan kapal-kapal yang datang dan pergi, ditemani gemericik air sungai. Di sudut restoran, ada musisi lokal yang sesekali memainkan biola atau menyanyikan lagu-lagu rakyat untuk menghibur para tamu.

Rea dan Kelan sering kali mampir ke sini saat mereka mengunjungi pasar atau dermaga untuk mengurus persediaan tanaman obat dan barang dagangan. Pagi itu, mereka duduk di salah satu meja di dekat jendela, menikmati pemandangan dan sarapan mereka.

“Kamu tahu,” kata Rea sambil memotong black pudding di piringnya, “aku tidak pernah menyangka sarapan sederhana seperti ini bisa membuatku merasa seperti bangsawan.”

Kelan tertawa kecil sambil menyuapkan tomat panggang ke mulutnya. “Mungkin kita harus mengundang Lord Adric dan Lady Eleanor ke sini. Mereka pasti suka.”

Di meja lain, seorang pelaut tua bercanda dengan rekan-rekannya, sambil mengangkat cangkir teh. “Sarapan di sini lebih enak daripada makan malam di rumah istriku!” gurauannya disambut tawa keras oleh semua orang di meja itu.

Semakin hari, nama The Morning Hearth makin dikenal di luar Rivendale. Beberapa pengunjung dari Silverhorn bahkan menyebut restoran ini sebagai “harta tersembunyi Rivendale.” Beberapa pedagang mengusulkan untuk membuat cabang restoran ini di kota-kota lain, tetapi pemiliknya, seorang wanita tua bernama Marietta, menolak dengan lembut.

“Tempat ini istimewa karena berada di Rivendale,” kata Marietta dengan senyum hangat. “Aku tidak ingin kehilangan sentuhan keluarga yang ada di sini.”

Restoran itu menjadi lebih dari sekadar tempat makan; ia menjadi simbol kebangkitan Rivendale, mengingatkan semua orang bahwa kota ini tidak hanya bertahan dari kehancuran, tetapi juga telah menjadi pusat kehidupan yang baru.

Pagi itu, sinar matahari musim semi yang hangat menyelimuti Rivendale. Rea dan Kaelan memutuskan untuk menikmati hari libur mereka setelah berminggu-minggu sibuk dengan tugas-tugas pembangunan dan pelatihan warga. Mereka memilih pergi ke The Morning Hearth, restoran kecil di dekat dermaga yang terkenal dengan Full English Breakfast-nya.

Ketika mereka tiba, restoran itu sudah dipenuhi oleh pekerja dermaga, pedagang, dan warga setempat. Aroma bacon yang digoreng, sosis panggang, dan roti panggang memenuhi udara, menggoda perut siapa pun yang lewat.

“Untung kita sampai lebih awal,” kata Rea sambil melangkah masuk. “Kalau tidak, kita pasti tidak dapat tempat duduk.”

Kaelan mengangguk sambil memandang sekeliling. “Rasanya seperti seluruh Rivendale ada di sini.”

Seorang pelayan muda menyambut mereka dengan senyum lebar. “Silakan duduk di dekat jendela, Tuan dan Nona. Pemandangannya indah pagi ini.”

Mereka memilih meja di dekat jendela besar yang menghadap ke dermaga. Dari sana, mereka bisa melihat kapal-kapal kecil berlabuh dan pedagang sibuk memindahkan barang-barang dagangan. Pelayan datang dengan menu, tetapi mereka tidak perlu waktu lama untuk memesan.

“Dua Full English Breakfast dan teh herbal Rivendale, tolong,” kata Kaelan dengan santai. Pelayan mencatat pesanan mereka dan pergi.

Rea memandang Kaelan dengan senyum kecil. “Kamu tidak pernah bosan dengan menu itu, ya?”

Kaelan mengangkat bahu. “Kenapa harus bosan? Ini sempurna. Bacon, sosis, telur, semuanya ada. Lagipula, ini hari libur. Kita berhak menikmati sesuatu yang enak.”

“Kalau begitu, aku setuju,” jawab Rea sambil tertawa kecil.

Ketika makanan mereka tiba, Kaelan langsung menyambar sepotong bacon. Rea, di sisi lain, mulai menyusun tomat panggang dan kacang ke piringnya dengan rapi.

“Bagaimana dengan ladang gandum di barat? Apakah semuanya sudah berjalan sesuai rencana?” tanya Rea sambil memotong black pudding di piringnya.

Kaelan mengangguk sambil mengunyah. “Ya, irigasi sudah selesai. Para petani tampaknya puas dengan aliran air yang stabil. Tapi kita perlu memastikan mereka tahu cara menjaga sistem itu. Kalau tidak, mereka mungkin akan menghadapi masalah lagi saat musim kering tiba.”

Rea menatap Kaelan dengan serius. “Kamu benar. Mungkin kita perlu mengadakan pelatihan. Aku bisa membantu menyusun jadwalnya.”

“Tentu saja,” jawab Kaelan, lalu dia menambahkan dengan nada menggoda, “Kamu hebat dalam menyusun rencana. Tapi aku ragu kamu bisa mengatur waktu untuk istirahatmu sendiri.”

Rea melotot kecil sambil menahan senyum. “Oh, jadi kamu sekarang mengajariku tentang istirahat? Padahal, aku sering melihatmu begadang memeriksa peta pembangunan.”

Kaelan tertawa, mencoba membela diri. “Itu berbeda! Aku punya alasan.”

“Alasan yang buruk,” jawab Rea sambil menyuapkan sesendok kacang panggang ke mulutnya.

Setelah mereka selesai makan, Kaelan bersandar di kursinya, memandang Rea yang masih sibuk dengan potongan terakhir roti panggangnya. “Aku suka suasana di sini,” katanya tiba-tiba.

Rea mendongak. “Di mana? Di restoran ini?”

Kaelan mengangguk. “Iya. Tapi bukan cuma itu. Aku suka melihatmu rileks seperti ini. Tidak sedang mengomel tentang pekerjaan atau mengejar waktu.”

Rea tertawa pelan, sedikit tersipu. “Aku juga suka momen ini. Kadang-kadang, kita terlalu sibuk sampai lupa menikmati hal-hal sederhana.”

Kaelan tersenyum lembut. “Mungkin kita harus lebih sering meluangkan waktu seperti ini. Meski hanya untuk makan di sini dan melihat kapal-kapal di dermaga.”

Rea mengangguk, matanya lembut menatap Kaelan. “Itu ide bagus. Tapi hanya kalau kamu berjanji untuk tidak membicarakan pekerjaan selama kita makan.”

“Baiklah, aku janji,” jawab Kaelan sambil tertawa kecil. “Tapi hanya kalau kamu juga janji tidak menyuruhku istirahat terus.”

Rea menjulurkan lidah, membuat mereka berdua tertawa.

1
seftiningseh@gmail.com
menurut aku episode satu di novel ini sangat bagus aku tarik baru baca sedikit menurut aku pribadi novel ini memiliki sedikit nuansa fantasi
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih
Wati Atmaja: terima kasih ya komentarnya.Aku makin semangat.
total 1 replies
Subaru Sumeragi
Begitu terobsesi sama cerita ini, sampai lahap ngelusin buku dari layar!
Wati Atmaja: makasih kaka. tambah semangat nulis cerita ya
total 1 replies
naruto🍓
Penulis berhasil menghadirkan dunia yang hidup dan nyata.
Wati Atmaja: terima kasih atas komentarnya /Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!