"Buka hatimu untukku kak Praja," mohon Ardina Rezky Sofyan pada sang suami dengan penuh harap. Air matanya pun sejak tadi sudah menganak sungai di pipinya.
Pernikahan sudah berlangsung lama tapi sang suami belum juga memberinya kebahagiaan seperti yang ia inginkan.
"Namamu belum bisa menggantikan Prilya di hatiku. Jadi belajarlah untuk menikmati ini atau kamu pergi saja dari hidupku!" Balas Praja Wijaya tanpa perasaan sedikitpun. Ardina Rezky Sofyan menghapus airmatanya dengan hati perih.
Cukup sudah ia menghiba dan memohon bagaikan pengemis. Ia sudah tidak sabar lagi karena ia juga ingin bahagia.
Dan ketika ia menyerah dan tak mau berjuang lagi, akankah mata angin bisa berubah arah?
Ikuti perjalanan cinta Ardina Rezky Sofyan dan Praja Wijaya di sini ya😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bhebz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Buaya Kardut
"Senang bekerja sama dengan anda pak Praja," ucap Maher Abdullah seraya menjabat tangan Praja Wijaya.
"Ah iya pak. Saya juga sangat senang. Semoga hubungan baik ini bisa selalu terjaga ya pak."
Praja Wijaya membalas jabatan tangan pria paruh baya itu dengan tatapan tak lepas dari wajah Ardina.
"Tentu saja. Dan ya, saya berharap anda juga bisa berkunjung ke Jakarta untuk menghadiri pesta pernikahan kami."
"A-apa? Pernikahan siapa?"
"Saya dan sekertaris andalan Ardina Rezky Sofyan."
Rahang Praja Wijaya langsung mengeras begitupun jabatan tangan mereka yang ternyata belum terlepas.
"Anda baik-baik saja Pak Praja?" Maher merasakan tangannya sangat sakit.
"Tidak. Saya tidak baik-baik saja pak Maher. Saya rasanya ingin meminum air segar saat ini."
"Saya akan ambilkan pak," ujar Selfina dan langsung berlari masuk ke rumah makan itu. Sementara itu mata Ardina dalam beberapa detik sempat berada dalam satu titik dengan Praja. Dada mereka berdebar sangat kencang.
"Maaf pak Maher. Bisakah saya meminta waktu sekretaris anda beberapa menit?"
Maher Abdullah menatap wajah tampan Praja Wijaya dengan mata memicing.
"Apakah ada hal penting?" tanya pria itu curiga.
Sejak mereka bertemu pria itu selalu saja mencuri-curi pandang pada Ardina, sekretaris kesayangannya.
"Ya. Ada hal yang ingin saya bicarakan secara pribadi pak," tegas Praja Wijaya.
"Saya akan mengizinkan kalau Ardina sendiri mau berbicara dengan anda. Bagaimana Din?"
Ardina tersentak kaget. Ia kembali menatap Praja Wijaya dengan senyum tipis dibibirnya. Ia benar-benar berusaha untuk santai.
"Maafkan saya pak Praja, tapi saya rasa, kita tidak ada urusan pribadi yang harus kita bicarakan."
Duarr
Bersamaan dengan itu gemuruh di langit pun terdengar. Mendung yang sejak tadi bergelayut di langit mulai menurunkan titik-titik air.
Angin dingin yang berhembus mulai terasa menusuk tulang. Begitu pun pada hati seorang Praja Wijaya. Hatinya terasa ditusuk oleh benda tak kasat mata. Sakit.
Ia langsung melotot tak percaya. Perempuan cantik itu menolaknya. Istrinya yang katanya sangat mencintainya menolaknya di depan semua orang. Dan bahkan seolah-olah tidak mengenalnya.
Ia kecewa.
"Din?"
"Kita tak ada urusan pak. Semua urusan pekerjaan sudah beres dan ditandatangani. Jadi selebihnya saya kira sudah sangat cukup."
Ardina benar-benar sangat berbeda. Ia sangat tenang dan bisa menjaga emosinya. Maher Abdullah tersenyum. Ia tidak perlu khawatir sekarang. Ardina sama sekali tidak berniat untuk berhubungan dengan pria muda dan sangat tampan itu.
"Nah, kalau begitu kami permisi Pak Praja. Sekretaris kesayanganku ini sepertinya sudah lelah dan ingin beristirahat sebelum kami kembali ke Jakarta. Sampai berjumpa kembali saat proyek kita sudah mulai dikerjakan."
Praja Wijaya tidak menjawab. Ia merasa mual mendengar seorang menyatakan hal seperti tentang istrinya. Dan sekarang ia terdiam dan kehabisan kata-kata untuk melepaskan emosi di dadanya.
"Mari Pak," ujar pria itu dan langsung pergi dari hadapan Praja dan Selfina. Pria itu diikuti oleh Ardina dengan anggukan hormat disertai senyum tipis dibibirnya
"Din?!"
Langkah Ardina berhenti sejenak lalu ia melanjutkannya ke arah mobil Maher Abdullah diparkir.
Perempuan cantik itu bahkan tidak menoleh sama sekali padanya.
Ada apa dengan Ardina?
Apakah ia sudah melupakan semua perasaannya padaku?
Ini tidak boleh dibiarkan terjadi. Aku tidak akan rela dunia akhirat.
"Bagaimana pak? Apakah kita pulang sekarang?" Selfina mengagetkan pimpinannya itu yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Tidak eh iya. Kamu yang pulang karena aku masih ada urusan yang sangat penting."
Selfina menganga.
"Maksud bapak?"
"Kamu pulang dengan taksi dan aku yang pakai mobilnya. Mana kuncinya." Praja menengadahkan tangannya meminta kunci mobilnya pada sang sekretaris.
"Tapi pak?"
Gadis itu masih melongo tak percaya.
"Kamu bisa mengerti maksud aku 'kan?" Praja menatap perempuan itu dengan tatapan marah.
"Eh iya pak. Ini kuncinya." Perempuan itu pun memberikan kunci mobil kepada Praja Wijaya. Ia menyaksikan kepergian pria itu meninggalkannya sendiri di tempat itu.
Sekarang ia jadi tampak sangat bodoh.
"Jadi? Aku harus pulang sendiri maksudnya? Apakah begini pekerjaan seorang sekretaris?"
Ia menghentakkan kakinya dengan sangat kesal. Tak menyangka kalau nasibnya aka sebegini buruk.
Menarik nafas panjang untuk meredakan rasa sesak di dadanya, Ia pun membuka aplikasi taksi online di handphonenya.
Duaaarr
Petir datang menyambar kembali disertai angin dan hujan yang cukup kencang. Selfina terlonjak kaget. Ia langsung berlari ke dalam rumah makan itu.
"Oh sial" umpatnya dengan perasaan geram.
"Bagaimana aku bisa pulang jika diluar hujan seperti ini?"
"Ada yang bisa dibantu mbak?"
Seorang pelayan mendatanginya.
"Gak kok. Di luar hujan. Jadi gak apa-apa 'kan kalo saya menunggu di sini?" Selfina menjawab dengan senyum diwajahnya.
"Ah iya mbak. Duduk saja dulu. Kalau masih mau pesan minuman juga boleh."
"Tidak terimakasih. Aku sudah kebanyakan minum dan takutnya malah butuh toilet, hehehe." Selfina terkekeh garing. Sedangkan pelayan tadi langsung pergi dan meninggalkannya.
Ia pun duduk dan memandang ke arah luar. Menyaksikan cuaca yang semakin buruk saja.
Hujan semakin deras begitupun dengan angin yang berhembus kencang.
Dan sekarang ia tidak yakin apakah akan bisa pulang dengan cepat.
"Hujan-hujan begini enaknya minum yang hangat mbak."
Seorang pria dengan sebuah sweater abu-abu menarik kursi di hadapannya.
"Ah iya. Itu betul sekali."
"Mau pesan minuman apa? Coklat panas? Kopi atau teh hangat?" tawar pria itu dengan ramah.
"Gak kok. Terimakasih banyak. Aku sudah banyak minum hari ini." Selfina mengangkat botol kemasan yang ia beli tadi untuk Praja Wijaya.
"Oh gitu ya?" Pria itu nampak berpikir. Ia jadi tidak punya hal yang bisa dibicarakan dengan gadis cantik yang sangat menarik perhatiannya itu.
"Bagaimana kalau kita ML?" tanya pria itu dengan wajah santai.
"Making Love?" Selfina langsung melotot tak percaya dengan perkataan pria itu.
"Oh kamu mau yang itu?"
"Jangan sembarangan ya!" Perempuan itu langsung menggebrak meja dihadapannya dengan tatapan tajam.
"Lho?"
🌹
Praja Wijaya masih mengikuti kemana mobil Maher Abdullah membawa Ardina, sang istri. Hujan yang begitu derasnya membuatnya cukup kesulitan juga.
Mobil itu memasuki kawasan tempat penginapan yang terkenal elit di kota itu. Setara dengan hotel bintang tiga kalau di Jakarta.
Praja Wijaya membawa mobilnya ikut masuk ke pekarangan bangunan berlantai 5 itu. Ia menunggu sampai Ardina dan Maher Abdullah turun dari mobil itu.
Tangannya tiba-tiba mengepal sempurna ketika pria itu menarik tubuh Ardina merapat karena payung yang mereka gunakan tidak begitu besar.
"Sialan itu si buaya kardut!"
🌹🌹🌹
*Bersambung.
Hai readers tersayangnya othor mohon dukungannya untuk karya receh ini ya gaess dengan cara klik like dan ketik komentar agar author semangat updatenya oke?
Nikmati alurnya dan happy reading 😊