Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 — Bekal untuk Hati yang Terganggu
Alana ingin sekali mengabaikan kehadiran murid baru di sampingnya. Namun, murid itu terus mengganggunya, membuatnya kesulitan untuk fokus belajar ataupun mendengarkan guru yang sedang menjelaskan di depan kelas.
"Lo ngerti yang guru terangin di depan?"
"Punya pulpen lain, nggak? Pulpen gue ketinggalan di rumah."
"Di sini gerah, ya? Lo nggak ngerasa gerah? Gak ada AC, ya, di sini?"
"Bagi buku catatan lo dong. Gue kan murid baru, belum punya catatan."
"Gue pinjam buku catatan lo, ya? Gue belum sempat nyatat pelajaran tadi."
Kalimat-kalimat itu terus mengusik Alana sepanjang pelajaran. Setiap kali ia mencoba fokus, suara Jendral selalu memotong konsentrasinya. Sejak lelaki itu duduk di sampingnya, tidak ada sedetik pun Alana terbebas dari gangguan, bahkan hingga bel istirahat berbunyi.
"Lo mau ke kantin, kan? Ayo bareng, gue juga mau ke kantin," ajak Jendral, tepat setelah bel istirahat berbunyi dan guru serta murid-murid lain mulai beranjak keluar dari kelas.
Alana ingin mengabaikan Jendral, tapi sekali lagi, Jendral seolah ingin kehadirannya di sana diperhatikan oleh Alana. Ia akhirnya hanya menarik nafas, mencoba menahan emosi yang nyaris keluar karena harus berhadapan dengan lelaki seperti Jendral.
"Jangan cuek-cuek gitu sama gue. Gue di sini murid baru, belum punya teman, lo nggak kasihan?" ucap Jendral lagi, seolah mulutnya sudah disetel untuk terus mengoceh sebelum mendapatkan respon dari Alana.
Alana menahan diri agar tidak menendang Jendral keluar dari kelas. Ia memang bukan tipe orang yang mengandalkan kekuasaan demi kenyamanan diri. Tapi kali ini, ia benar-benar harus berusaha menutup telinga dan menahan diri, meski rasanya sangat terganggu dengan ocehan demi ocehan Jendral. Ia belum pernah bertemu lelaki seberisik Jendral sebelumnya.
"Jendral..." Suara itu menginterupsi. Sebuah tangan menarik pelan lengan baju Jendral.
Jendral refleks menoleh, menatap murid yang menarik lengan bajunya. "Apa?" tanyanya.
"Kamu lupa atau nggak denger apa yang aku omongin? Jangan ganggu Alana, Jendral!" ucap murid itu, menatap Jendral penuh peringatan.
Sangat wajar kalau Jendral tidak tahu bahwa Alana tidak boleh diganggu, karena dia memang murid baru. Tapi sebelum ini, ia sudah lebih dulu memberitahu Jendral tentang itu.
"Ck!" Jendral berdecak pelan. Ia tidak merasa melakukan kesalahan atau mengganggu siapa pun. Ia hanya ingin mengajak Alana ke kantin.
"Gue cuma mau ngajak Alana ke kantin, apa itu salah?" balasnya, sedikit tersinggung.
Murid berkacamata itu menggeleng pelan. "Kamu nggak salah mau ngajak ke kantin, tapi Alana nggak suka ke kantin," jelasnya pelan, seolah sudah tahu pasti bahwa Alana tidak akan suka diganggu oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun.
Jendral memicingkan mata, menatap murid berkacamata yang saat itu juga langsung menundukkan kepalanya, seolah menghindari tatapannya. "Kalau Alana nggak suka ke kantin, terus gimana kalau dia lapar?" tanyanya dengan nada sedikit sinis, seolah tidak mempercayai ucapan si murid berkacamata itu.
Baru saja murid berkacamata membuka mulut untuk menjawab, langkah kaki terdengar, diikuti dengan seorang lelaki yang memasuki kelas mereka. Penampilannya terlihat santai, dan ada tas berisi kotak nasi di tangan kanannya.
"Menu makan siang kali, onigiri dan tamagoyaki, kesukaan lo," ucap lelaki itu sambil tersenyum dan meletakkan tas di tangannya di atas meja Alana.
Sebelum Jendral bisa bereaksi, tangannya sudah lebih dulu ditarik keluar oleh seseorang, membuatnya terpaksa keluar kelas. Meskipun hatinya penasaran tentang siapa lelaki yang menghampiri Alana tadi, ia tidak bisa berkata apa-apa.
"Kenapa? Murid baru itu ganggu lo?" tanya lelaki yang menghampiri meja Alana dan memberi Alana makanan.
Lelaki itu, Naresh Arya Pratama, sahabat Alana. Lelaki yang sama yang mengkhawatirkan Alana saat Alana diganggu oleh Jendral di koridor. Ia tahu tatapan Alana pada murid baru bernama Jendral bukanlah tatapan kagum atau suka. Tatapan itu adalah tatapan saat Alana merasa terganggu dengan kehadiran seseorang. Ia mengenali setiap garis perubahan wajah Alana, bahkan ketika Alana mencoba menyembunyikannya.
"Enggak," jawab Alana berbohong. Meski kenyataannya, ia sangat terganggu oleh Jendral.
"Oke, kalau gitu. Ayo kita makan," ajak Naresh, tidak mendesak Alana untuk jujur padanya. Lagipula, Naresh sudah tahu perasaan Alana hanya dengan melihat tatapan matanya.
"Hem." Tanpa banyak bicara, Alana akhirnya menyantap bekal yang dibawakan Naresh untuknya. Kini, ia merasa lebih tenang karena kehadiran Naresh yang memang sangat menenangkan.
Di depan kelas, Jendral menyaksikan semuanya. Saat Alana mengucapkan terima kasih kepada Naresh karena telah membawakan bekal untuknya, dan saat Alana membuka kotak bekal yang dibawa Naresh, semua itu ia saksikan dengan matanya tanpa berkedip sedikit pun.
"Dia Naresh, sahabat Alana. Alana nggak pernah ke kantin karena Naresh selalu bawa bekal buat dia," ucap seseorang dari arah depan tubuh Jendral, murid berkacamata teman sekelasnya.
Murid berkacamata itu tetap setia menemani Jendral, meskipun sebenarnya urusan hati Jendral bukanlah urusannya.
"Kamu kayaknya penasaran sama dia, jadi aku kasih tahu," tambahnya, seolah tahu apa yang Jendral pikirkan dan ingin tanyakan saat ini.
"Huh?" Jendral menatap murid berkacamata itu tanpa mengatakan apa-apa, seolah mencari kebenaran atas apa yang baru saja dikatakan murid berkacamata di depannya.
Saat ia ingin menanyakan lebih jauh tentang Alana dan lelaki bernama Naresh, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Oh ya, gue belum tahu nama lo." Kata Jendral tanpa mengalihkan pandangannya dari murid berkacamata di depannya. Sesaat, ia melupakan Alana dan Naresh.
Murid berkacamata itu mengerjapkan matanya di balik kacamata tebalnya. Namanya tadi dipanggil saat absen di depan kelas, tapi sepertinya Jendral tidak terlalu memperhatikannya. Mungkin karena Jendral lebih fokus pada Alana.
"Nama aku Nisya," ucap murid berkacamata itu. Ada sedikit keraguan saat memperkenalkan dirinya pada Jendral, karena ini pertama kalinya ada orang yang mau menanyakan namanya.
Biasanya, orang-orang hanya akan memanggilnya dengan julukan seperti "si culun," "si kutu buku," atau apa pun yang mereka suka.
Tanpa disangka, Jendral mengulurkan tangannya di depan Nisya, seolah meminta Nisya untuk berkenalan secara resmi dengannya.
"Oke, Nisya. Gue Jendral," ujarnya dengan tangan yang sudah terulur di depan Nisya.
Nisya tampak ragu untuk menerima uluran tangan itu, namun tatapan Jendral seolah mengintimidasinya dan memintanya untuk segera menyambut tangan itu. Akhirnya, ia meraih tangan Jendral sebentar.
"Iya, aku tahu kamu Jendral," katanya sambil menundukkan wajahnya, tidak berani menatap Jendral.
Tidak jauh dari tempat mereka, Kaluna dan gengnya sedang berdiri memperhatikan ke arah mereka. Kaluna semakin kesal pada Nisya yang sudah merebut perhatian Jendral darinya.
Seharusnya, murid baru—termasuk Jendral—hanya menyukai Kaluna, bukan murid lain. Terlebih lagi, murid itu adalah Nisya, si culun yang selama ini tidak pernah dipedulikan kehadirannya di sekolah. Alana yang dianggap setara dengannya saja tidak boleh lebih unggul, tidak boleh disukai oleh murid baru, apalagi hanya seorang Nisya.
"Si culun itu bener-bener harus gue kasih pelajaran," gumam Kaluna sambil memperhatikan interaksi Jendral dan Nisya.