Chen Huang, seorang remaja berusia 15 tahun, menjalani hidup sederhana sebagai buruh tani bersama kedua orang tuanya di Desa Bunga Matahari. Meski hidup dalam kemiskinan dan penuh keterbatasan, ia tak pernah kehilangan semangat untuk mengubah nasib. Setiap hari, ia bekerja keras di ladang, menanam dan memanen, sambil menyisihkan sebagian kecil hasil upahnya untuk sebuah tujuan besar: pergi ke Kota Chengdu dan masuk ke Akademi Xin. Namun, perjalanan Chen Huang tidaklah mudah. Di tengah perjuangan melawan kelelahan dan ejekan orang-orang yang meremehkannya, ia harus membuktikan bahwa mimpi besar tak hanya milik mereka yang berkecukupan. Akankah Chen Huang berhasil keluar dari jerat kemiskinan dan menggapai impiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 1— Chen Huang
Langit pagi di Desa Bunga Matahari selalu dipenuhi warna keemasan. Embun pagi masih menempel di kelopak bunga matahari yang membentang sejauh mata memandang. Namun, bagi Chen Huang, keindahan itu adalah pengingat bahwa hari kerja keras telah dimulai.
Dengan cangkul di bahu, Chen Huang berjalan di belakang ayahnya. Tubuhnya kurus, tangannya kasar, namun langkahnya mantap. Di ladang, dia bekerja hingga matahari tepat di atas kepala, mencangkul tanah kering, memetik hasil panen, dan mengangkat karung-karung berisi jagung ke pundaknya. Setiap butir keringat yang jatuh adalah harga kecil yang harus dia bayar untuk impiannya.
“Huang'er, jangan lupa makan siang. Jangan memaksakan dirimu terlalu keras,” ujar ibunya yang datang membawa bekal sederhana: nasi, sedikit sayur, dan sepotong kecil tahu.
Chen Huang tersenyum sambil menyeka keringat. “Ibu, kalau aku tidak bekerja keras sekarang, bagaimana kita bisa memperbaiki hidup kita? Ini jalan satu-satunya.”
Senyum ibunya pudar sesaat. Dia tahu putranya benar, tapi melihat Chen Huang tumbuh begitu cepat di usia yang masih muda membuat hatinya perih.
Saat malam tiba, Desa Bunga Matahari berubah sunyi. Di rumah-rumah sederhana, lampu minyak menjadi satu-satunya sumber cahaya. Di rumah kecil milik keluarga Chen Huang, suara halus pena di atas kertas menggantikan keheningan.
Chen Huang duduk di meja kayu kecil, membaca buku tua yang lusuh. Perpustakaan desa hanya memiliki sedikit koleksi buku beladiri, tetapi itu cukup untuknya. Buku itu penuh dengan gambar-gambar ilustrasi gerakan dan kata-kata bijak tentang filosofi kehidupan.
“Keberanian tanpa kebijaksanaan adalah pedang tumpul.”
Chen Huang membaca kalimat itu berulang-ulang, seolah mencoba menggali maknanya lebih dalam. Setelah selesai membaca, dia berdiri di halaman rumahnya, mencoba menirukan gerakan sederhana dari buku. Angin malam yang dingin menerpa kulitnya, namun Chen Huang tetap fokus.
Dia memutar tubuh, mengayunkan tinju, dan melangkah maju. Gerakannya kikuk, namun setiap malam, dia mengulanginya tanpa henti. Sesekali, dia berhenti untuk menatap langit yang dipenuhi bintang.
“Gunung Tianlong,” gumamnya sambil memandang bayangan puncak gunung di kejauhan. “Aku akan berdiri di sana suatu hari nanti.”
...
Namun, kehidupan Chen Huang di desa tidak hanya penuh kerja keras. Seringkali, teman-teman seusianya mengejek dan mempermalukannya. Wu Rong, anak kaya yang sombong, adalah yang paling sering mengganggu Chen Huang.
Suatu hari, saat Chen Huang membawa sekantong hasil panen ke pasar, Wu Rong dan gengnya sengaja menjegalnya. Karung berat yang dibawa Chen Huang jatuh ke tanah, menghamburkan isi sayurannya.
“Hah! Anak buruh tani sepertimu bermimpi masuk Akademi Xin? Jangan bercanda!” Wu Rong tertawa keras, diikuti teman-temannya.
Chen Huang bangkit dengan tenang, memunguti sayurannya yang berserakan sambil berkata dengan suara datar, “Kita lihat saja nanti, Wu Rong. Jangan terlalu cepat meremehkan orang lain.”
Tawa Wu Rong terhenti, merasa tersindir. Namun, ia tidak berkata apa-apa lagi dan pergi meninggalkan Chen Huang.
...
Malam hari pun tiba, dan kini di halaman rumahnya, Chen Huang berdiri tegak, tubuhnya diterangi remang cahaya bulan. Dengan napas yang teratur, ia mengayunkan tangan sesuai dengan gerakan dasar yang ada di buku beladiri tua yang ia pelajari.
“Langkah maju, tekuk lutut, ayunkan tangan seperti ini…” gumamnya pelan, mengikuti ilustrasi yang telah ia hafal.
Keringat mengalir di pelipisnya, meskipun udara malam cukup dingin. Setiap gerakan terasa kaku, namun ia terus mengulanginya. Tangannya mulai terasa sakit, tetapi Chen Huang tahu, rasa sakit adalah bagian dari proses.
Chen Huang tinggal di Benua Dong, sebuah benua yang terkenal dengan para praktisi beladirinya yang luar biasa. Di antara semua benua di dunia, Dong adalah yang terbesar ketiga, dengan lanskap yang sangat beragam. Dari pegunungan yang menjulang tinggi, hutan yang dipenuhi kabut spiritual, hingga kota-kota besar yang dipadati sekte dan klan, setiap sudut benua ini menyimpan kekuatan yang sulit dibayangkan oleh orang biasa.
Benua Dong adalah rumah bagi puluhan klan besar dan ratusan sekte yang tersebar dari wilayah barat hingga timur. Setiap klan memiliki warisan teknik dan rahasia keluarga, sementara sekte-sekte, baik kecil maupun besar, berlomba-lomba menarik para murid berbakat untuk memperkuat nama mereka.
Di dunia ini, kekuatan seorang praktisi beladiri diukur melalui tingkatan ranah:
Ranah Penguatan Tulang: Dasar dari semua kekuatan. Di ranah ini, tubuh diperkuat dari dalam, tulang menjadi lebih keras dan fleksibel.
Ranah Penguatan Tubuh: Setelah tulang diperkuat, tubuh secara keseluruhan mulai ditempa hingga menjadi jauh lebih kuat daripada manusia biasa.
Ranah Pengumpulan Energi: Mulai mengumpulkan energi spiritual dari alam. Para praktisi di tahap ini sudah bisa menggunakan teknik sederhana.
Ranah Pemurnian Energi: Memurnikan energi spiritual yang telah dikumpulkan, memungkinkan mereka terbang menggunakan senjata yang dialiri energi tersebut.
5.Ranah Penguasa Energi: Para praktisi di tahap ini memiliki kendali penuh atas energi spiritual mereka.
Ranah Master: Dikenal sebagai pilar dunia beladiri.
Ranah Grandmaster: Sosok yang memiliki pengaruh besar, seringkali menjadi pemimpin sekte atau klan besar.
Ranah Kaisar: Individu legendaris yang kekuatannya mampu menghapus sebuah benua.
Ranah Keabadian: Tingkatan tertinggi, tempat para praktisi melampaui batas kemanusiaan dan mendekati esensi keabadian.
Setiap ranah dibagi menjadi tiga tahap: Awal, Menengah, dan Puncak.
Chen Huang menutup bukunya dan menghela napas panjang. “Ranah Penguatan Tulang saja belum aku capai. Jalan masih panjang,” gumamnya sambil menatap langit berbintang.
Namun, di balik keluhan kecil itu, ada api yang berkobar di matanya. Setiap malam ia berlatih adalah satu langkah kecil menuju mimpinya. Dia tidak peduli seberapa sulit jalannya, karena dia tahu, hanya dengan tekad dan usaha, dia bisa menantang dunia beladiri yang penuh dengan raksasa ini.