Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikap Yang Mengganggu
Pagi menjelma di Mansion Andreas Wilton dengan suasana yang lebih sunyi dari biasanya. Udara di luar masih lembab oleh embun yang belum sepenuhnya menguap, dan sinar matahari yang menembus melalui jendela-jendela tinggi tampak lemah, seolah enggan menembus kesunyian yang menggantung di dalam rumah besar itu.
Di ruang kerja pribadi yang terletak di lantai dua, Andreas Wilton duduk di balik meja kayu mahoni besar yang penuh tumpukan kertas dan map bersegel. Matanya menatap kosong ke arah jendela, namun pikirannya terarah sepenuhnya pada laporan yang sedang disampaikan oleh Richard, si kepala pelayan.
“Sejak semalam, kondisi Nona Mistiza menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan,” kata Richard dengan nada formal namun tenang. “Malam tadi ia memakan seluruh makan malamnya tanpa meninggalkan sisa sedikit pun. Pagi ini, ia juga menyantap sarapan secara penuh.”
“Beliau juga tidur tepat waktu, Tuan,” lanjut Richard. “Dan bangun pagi tanpa perlu dibangunkan oleh pelayan. Bahkan, ia mandi sendiri sebelum pelayan wanita datang menjemputnya. Kami tidak perlu mengingatkannya sama sekali.”
Hening sejenak.
“Menarik,” gumam Andreas sambil menyandarkan tubuh ke kursi kulitnya. Suara kursi bergemerit seiring pergerakannya.
Richard melanjutkan, “Setelah sarapan, Nona Mistiza meminta izin untuk keluar kamar. Sesuai dengan aturan kelima, karena Anda berada di mansion pagi ini, permintaan itu kami kabulkan. Ia sekarang sedang berada di halaman belakang, ditemani oleh dua pelayan wanita. Ia memilih untuk membantu menyiram tanaman, Tuan.”
Andreas diam beberapa detik, lalu menegakkan punggungnya. “Halaman belakang, katamu?”
“Ya, Tuan. Tepat di sisi utara. Beliau tampak tenang... meski masih menyimpan kehati-hatian.”
Andreas menarik napas panjang, lalu secara tiba-tiba ia bangkit dari kursi. “Aku ingin melihatnya sendiri.”
Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Richard hanya menunduk singkat, lalu menutup pintu perlahan di belakangnya.
Langkah Andreas menyusuri koridor-koridor panjang mansionnya dengan mantap dan penuh kendali. Begitu mencapai pintu kaca yang mengarah ke halaman belakang, Andreas berhenti sejenak. Tangannya menyentuh gagang pintu dingin dari besi tempa, lalu mendorongnya perlahan.
Udara luar menyambutnya dengan kelembutan khas musim semi yang belum genap hangat. Aroma tanah basah dan bunga yang baru disiram menyeruak pelan. Suara burung terdengar samar dari kejauhan, namun suasana tetap senyap.
Matanya langsung menangkap sosok Mistiza di ujung halaman.
Di antara semak mawar dan deretan tanaman bunga musim semi, Mistiza berdiri sambil memegang alat penyiram logam tua yang biasa digunakan para pelayan taman. Rambutnya yang tergerai sebagian tertiup angin lembut, dan wajahnya tampak pucat namun bersih. Matanya tertuju pada deretan tanaman yang disiramnya perlahan satu per satu. Di sisi kanan dan kirinya, dua pelayan wanita berdiri tak jauh, mengawasi dalam diam.
Meski tidak bisa dikatakan bahagia, ada semacam ketenangan dalam gerakan Mistiza—ketenangan palsu, mungkin, tapi cukup untuk membuat siapa pun berpikir bahwa ia sedang mencoba menerima kenyataan yang ada.
Namun hanya dirinya sendiri yang tahu bahwa ia tidak sedang menerima apa pun. Ia hanya sedang bertahan. Dan halaman ini, udara segar ini, adalah jeda kecil dari dunia sempit yang menekannya dari segala arah.
Andreas memperhatikan dari kejauhan selama beberapa menit. Ia menyilangkan tangan di depan dada, matanya tajam namun tak berkedip.
Tiba-tiba, seolah merasakan tatapan itu, Mistiza menghentikan gerakannya. Ia menoleh perlahan.
Pandangan mereka bertemu.
Tak ada kata-kata yang terucap untuk beberapa saat. Hanya sepasang mata yang saling mengamati—Andreas dengan tatapan dingin penuh kalkulasi, dan Mistiza dengan pandangan netral yang menyembunyikan segala kesedihan di balik dinding tak terlihat.
Andreas pun melangkah mendekat, langkah-langkahnya tenang namun berat. Tanpa memberi salam atau basa-basi, ia langsung berkata dengan nada merendahkan, “Ternyata kau cukup cocok menjadi seorang pelayan.”
Ucapannya tentu dimaksud untuk merendahkan Mistiza, tanpa memikirkan apakah wanita tersebut sakit hati atau tidak.
Mistiza diam. Ia tidak menatap Andreas langsung kali ini. Tangannya yang memegang alat penyiram menurun perlahan. Ia menunduk, seolah mendengarkan namun tidak mengindahkan.
Tidak ada jawaban. Tidak ada pembelaan. Bahkan tidak ada ekspresi yang bisa dibaca di wajahnya.
Andreas memandangi bunga mawar merah yang baru saja disiram Mistiza. Tangkainya tinggi, kelopaknya mekar sempurna dengan warna merah tua yang seolah menyerap sinar matahari yang samar. Perlahan, ia mencondongkan tubuh dan tanpa berkata-kata, memetiknya begitu saja.
Terkh!
Suara batang patah terdengar pelan, disertai suara halus daun yang bergesekan.
Mistiza menoleh, matanya mengikuti gerakan Andreas. Ia memperhatikan tangan pria itu menggenggam tangkai mawar tanpa sarung tangan pelindung. Duri-duri tajam menusuk kulitnya tanpa ampun.
Andreas mengangkat bunga itu ke depan wajahnya, mengamati kelopaknya sejenak, lalu melirik ke arah Mistiza.
“Mungkin tanaman ini akan mati karena kau yang menyiramnya.” lagi dan lagi Andreas berbicara sesuatu yang sangat jauh dari kata sopan, nada itu bukan sekadar cemoohan—ia sedang menguji, menusuk, memancing sesuatu dari Mistiza. Namun yang ia terima hanyalah kebisuan.
Mistiza tidak menjawab. Tapi pandangannya terpaku pada jemari Andreas yang kini berdarah. Garis merah mengalir dari pangkal ibu jarinya, menetes pelan di sela ruas jari, membasahi batang mawar yang masih ia pegang.
Andreas tampak tak peduli. Ia bahkan tidak bereaksi, seperti duri itu hanyalah bagian dari permainan kecilnya.
Entah keberanian darimana, Mistiza maju satu langkah ke depan. Tangannya masuk perlahan ke saku rok, lalu mengeluarkan selembar tisu putih yang sudah agak kusut.
Dengan gerakan hati-hati, ia menyodorkannya ke arah Andreas. Wajahnya tetap datar, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Andreas mengerutkan kening.
Pandangan matanya turun ke arah tisu yang terjulur pelan di hadapannya, lalu naik kembali ke wajah Mistiza. Ia menatap wanita itu lama, seolah mencoba membaca niat di balik tindakan sederhana itu.
Mistiza membuka mulut, namun suara yang keluar begitu pelan, nyaris seperti bisikan yang tertelan angin.
“Hapus darahnya...” cicit Mistiza.
Andreas tidak bergerak. Tidak mengambil tisu itu. Hanya diam.
Namun ada sejenak waktu yang menggantung di antara mereka—waktu yang terasa seperti jeda dari pertarungan batin yang tak pernah selesai. Mata Andreas tak lagi sekaku sebelumnya. Ada keraguan di sana. Mungkin bukan karena rasa sakit, tapi karena kejutan kecil yang lahir dari hal yang begitu sepele.
Ia tidak terbiasa dengan yang namanya perhatian.
Luka sekecil ini tak mungkin membuat Mistiza prihatin.
Mistiza terus menatap wajah Andreas, bukan untuk menantang, tapi untuk memberi isyarat supaya Andreas mengambil benda putih ini dari tangannya.
“Ambillah,” tambahnya pelan. “Atau darahmu akan menetes ke tanah”
Andreas akhirnya meraih tisu itu. Ia menyeka jemarinya sendiri dengan gerakan lambat. Darahnya menodai tisu putih itu, menciptakan pola merah seperti lukisan yang tak disengaja.
Mistiza mengalihkan pandangannya kembali ke bunga yang belum ia siram. Ia melangkah ke sana perlahan, kembali memegang alat penyiram logamnya, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Andreas tetap berdiri di tempatnya. Mawar di tangannya kini tanpa makna, darah di jarinya sudah mengering sebagian, dan untuk pertama kalinya sejak lama... ia mendapatkan lagi sebuah perhatian kecil.
Dan entah kenapa, itu mengganggunya.
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu