Nova Spire, seorang ahli medis dan racun jenius, tewas tragis dalam ledakan laboratorium saat mencoba menciptakan obat penyembuh paling ampuh di dunia. Tapi kematian bukan akhir baginya—melainkan awal dari kehidupan baru.
Ia terbangun dalam tubuh Kaira Frost, seorang gadis buta berusia 18 tahun yang baru saja meregang nyawa karena dibully di sekolahnya. Kaira bukan siapa-siapa, hanya istri muda dari seorang CEO dingin yang menikahinya demi tanggung jawab karena membuat Kaira buta.
Namun kini, Kaira bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak seenaknya. Dengan kecerdasan dan ilmu Nova yang mematikan, ia akan membuka mata, menguak kebusukan, dan menuntut balas. Dunia bisnis, sekolah elit, hingga keluarga suaminya yang penuh tipu daya—semua akan merasakan racun manis dari Kaira yang baru.
Karena ketika racun berubah menjadi senjata … tak ada yang bisa menebak siapa korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diserang
Sore itu, di sebuah mansion tersembunyi yang kini menjadi markas Kaira bersama Delon dan Deilin, suasana terasa tenang namun penuh keseriusan. Di ruang utama yang luas dan modern, ketiganya duduk membicarakan sesuatu yang penting.
“Jadi, kapan kau siap untuk operasi matamu?” tanya Delon serius, sambil menatap Kaira yang duduk tenang di sofa.
Kaira mengangkat cangkir tehnya dan menjawab ringan, “Tunggu saja sampai aku keluar dari mansion keluarga Frost. Aku masih punya urusan yang harus diselesaikan di sana.”
Deilin menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menyahut, “Semoga tidak terlalu lama. Aku penasaran seperti apa ekspresi orang-orang ketika melihat kau melihat mereka untuk pertama kalinya.”
Sebelum Kaira sempat membalas, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Delon dan Deilin langsung berdiri waspada.
Seorang pria tinggi dengan wajah tenang dan langkah mantap masuk tanpa permisi. Wajahnya dikenal, dan baunya pun tak asing.
“Sky?” gumam Delon kaget.
“Apa-apaan ini?! Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Dan kau Nova, bahkan tidak terkejut sama sekali?” tanya Deilin dengan nada curiga.
Kaira tetap tenang. Ia bahkan tak menoleh. Hanya tersenyum tipis.
“Aku sudah tahu sejak awal saat dia datang,” ucap Kaira pelan. “Aku mengenal bau parfumnya.”
Sky berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapan Kaira. Tatapannya lembut namun penuh tekad.
“Aku yang akan membantumu untuk operasi, Nova,” ucap Sky. “Aku punya banyak koneksi dengan ahli medis terbaik. Mereka bisa kau pilih sendiri.”
Delon melangkah maju, matanya tajam. “Bagaimana kau tahu tempat ini?”
Sky menoleh padanya, lalu tersenyum ringan, namun nadanya tak main-main. “Semua hal yang berkaitan dengan Nova ... aku pasti tahu. Termasuk tempat persembunyiannya, rencana-rencananya, bahkan jam tidurnya.”
Deilin memutar matanya, “Astaga, stalker kelas kakap.”
Sky tidak menanggapi ejekan itu. Ia hanya menatap Kaira penuh harap. “Izinkan aku membantu, kali ini saja. Bukan sebagai Sky Dalton, tapi sebagai seseorang yang menyesal pernah melepasmu.”
Kaira terdiam. Ia meneguk teh pelan-pelan, lalu menatap Sky dengan dingin. “Kau harus tahu, Sky. Aku bukan Nova yang dulu.”
Sky tersenyum tipis. “Dan aku bukan Sky yang dulu. Itu sebabnya ... aku ingin memperbaiki segalanya.”
Keheningan pun menyelimuti ruangan itu. Tiga orang menyaksikan dua hati yang dipenuhi masa lalu, luka, dan kemungkinan baru yang masih samar.
****
Setelah perbincangan panjang yang cukup melelahkan, Kaira bangkit dari duduknya dan merapikan tas kecil yang selalu ia bawa.
“Aku ingin pulang. Sudah malam,” ucapnya datar, namun tegas.
Delon langsung berdiri, “Aku antar.”
Namun, Sky langsung menyela, “Biar aku saja yang mengantar.”
Delon menatap Sky dengan tatapan tak suka. “Aku yang lebih tahu jalan dan ... keamanannya.”
Namun sebelum perdebatan memanas, Kaira mengangkat tangannya, menyela dengan nada santai tapi tak bisa dibantah.
“Cukup. Aku akan pulang bersama Sky malam ini.”
Delon menghela napas berat, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah ... Hati-hati.”
Sky hanya tersenyum tipis, lalu melangkah mengikuti Kaira yang sudah lebih dulu menuju pintu depan mansion.
Setibanya di luar, Kaira menatap kosong Sky langsung membuat pria tampan itu peka.
"Ada apa?" tanya Sky.
“Aku bosan naik mobil,” gumamnya.
Sky mengangguk mengerti, lalu tersenyum seperti sudah menebak.
“Tunggu sebentar, aku akan menyuruh anak buahku mengambil motor.”
Tanpa menunggu jawaban Kaira, Sky mengeluarkan ponselnya dan memberi perintah singkat. Tak sampai lima menit kemudian, suara raungan mesin terdengar mendekat.
Sebuah motor sport hitam berkilau meluncur ke halaman, dikendarai oleh anak buah Sky. Ia menyerahkan helm kepada Sky, lalu pergi begitu saja.
Sky mengenakan helmnya, lalu menyodorkan satu lagi kepada Kaira. “Naiklah. Aku jamin ini tidak akan membosankan.”
Kaira mengambil helm itu dan tersenyum samar. “Jangan membuatku menyesal.”
Sky menaiki motor lebih dulu, lalu membantu Kaira duduk di belakang. Ketika mesin kembali meraung dan motor melaju ke jalan utama, angin malam menyapu wajah mereka, menyisakan keheningan yang ganjil ... namun anehnya, tak terasa canggung.
****
Kaira duduk di belakang Sky, membiarkan angin malam menyapu rambut dan wajahnya. Meski matanya tak bisa melihat, ia bisa merasakan segala hal dengan lebih tajam—udara, aroma malam, detak jantung Sky yang stabil.
“Udara malam seperti ini … menenangkan,” gumam Kaira pelan.
Sky mengangguk pelan, “Tapi tetap harus waspada. Dunia kita tidak pernah benar-benar tenang.”
Kaira tersenyum kecil. “Kau terdengar seperti agen rahasia saja.”
“Bukan agen, tapi mafia,” balas Sky, separuh bercanda.
Namun, belum sempat Kaira menjawab, tiba-tiba suara letusan senjata terdengar keras di kejauhan—kemudian semakin dekat. Kaira menegakkan tubuhnya dengan sigap.
Dor!
Dor!
“Musuhmu memang tidak pernah menyerah, ya?” ujarnya santai, seakan suara peluru bukan hal asing baginya.
Sky menyeringai kecil dan satu tangan mengambil pistol dari saku jaketnya, lalu menyerahkannya ke Kaira tanpa menoleh.
“Ambil. Lima mobil, dua motor. Mereka mengejar kita.”
Kaira menerima pistol itu tanpa ragu. Tangannya mantap, gerakannya cepat.
“Berikan arah padaku,” ucapnya tegas.
Sky melihat ke kaca spion lalu melaju lebih cepat, suara mesin motor menderu kencang. “Arah jam tujuh, jarak lima meter."
Dor!
Ckitt!
Kaira mengangkat pistol, menyesuaikan arah dari petunjuk Sky. Satu tembakan dilepaskan. Denting kaca pecah terdengar di kejauhan.
“Bagus,” puji Sky. “Sekarang jam tiga. Lebih dekat. Hati-hati.”
Dor!
Dor!
Boom!
Kaira menembak lagi. Kali ini suara gesekan ban terdengar—mobil lawan tergelincir. Dan meledak.
“Kau mulai menikmatinya, ya?” ujar Sky sambil mengendalikan motor dengan lincah, membelok tajam di tikungan curam.
“Tidak juga. Aku hanya tidak ingin mati karena musuhmu yang bodoh,” balas Kaira tenang, namun senyum tipis terbit di wajahnya.
Sky tertawa ringan. “Jam dua belas! Mereka mau menabrak kita dari belakang!”
Dor!
Dor!
Kaira membalikkan badan sedikit, mengarahkan pistol ke belakang dan menembak dua kali. Suara ledakan kecil terdengar, lalu motor lawan oleng.
“Tinggal dua mobil lagi,” ujar Sky.
“Arahkan saja. Aku siap.”
Motor sport melaju cepat di tengah malam, angin menghantam tubuh mereka dengan keras. Di belakang, dua mobil masih membuntuti mereka, dan kini dari arah depan, dua mobil lain muncul, memotong jalan.
Sky mengumpat pelan, “Sial. Mereka mengepung.”
Tanpa aba-aba, Kaira tiba-tiba menggeser tubuhnya, berdiri sejenak di atas footstep motor, lalu duduk tepat di depan Sky, membelakanginya sambil menyeimbangkan diri. Gerakan cepat itu membuat Sky tercengang—terlebih karena posisi mereka kini sangat dekat. Napasnya seolah tertahan.
“Ka–Kaira … kamu—” Sky berusaha bicara, namun wajahnya sudah memerah hebat.
“Aku butuh posisi tembak yang lebih stabil,” potong Kaira datar. Ia tidak menyadari posisi intim itu membuat Sky gugup setengah mati.
Kaira lalu meraba punggung Sky dengan tenang, tangannya mengambil pistol cadangan yang diselipkan di balik jaket kulit Sky.
“Aku ambil ini,” ucapnya sambil mengokang senjata.
Sky hanya mengangguk kaku. “Silakan … ambil semua kalau perlu, kalau perlu tubuhku juga,” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Dari posisi barunya, Kaira dapat merasakan dengan jelas arah depan dan samping. “Kiri depan, dua orang bersenjata keluar dari mobil. Fokus melaju lurus, beri aku tiga detik.”
Sky menghela napas dalam. “Tiga detik untukmu.”
Dor!
Dor!
Motor langsung melaju ke arah tengah antara dua mobil depan. Kaira dengan tepat menembak ke arah ban mobil kanan—ledakan kecil terjadi. Mobil itu oleng ke kiri, menghantam mobil satunya lagi.
“Bagus,” gumam Sky, kini mulai menikmati kerja sama berbahaya ini.
Broom!
“Masih dua di belakang,” kata Kaira tenang. “Berbelok ke kanan. Sudut sempit akan menguntungkan kita.”
Ckitt!
Boom!
Duar!
Sky mengikuti arahan. Motor meliuk tajam, masuk ke gang samping yang cukup sempit bagi kendaraan besar. Terdengar suara rem mendecit dan tabrakan kecil dari belakang hingga terdengar ledakan.
Setelah beberapa menit keheningan, Sky akhirnya berkata, “Kau luar biasa.”
Kaira tidak menanggapi pujian itu. Ia hanya menyelipkan kembali pistolnya ke balik punggung Sky, lalu duduk kembali ke posisi semula di belakang pria itu.
“Kita belum selesai. Tapi setidaknya malam ini, kita menang.”
Sky mengangguk. “Dan aku makin yakin, Nova, kau memang diciptakan bukan untuk jadi korban. Tapi pemburu.”
mnusia ky mreka,jgn d bkin end dlu....
hrs mrasakn kkjaman yg sma ky yg prnh dia lkukn dlu,mnimal hdp ga pnya apa2 plus dpt hinaan jg dr orng lain....
dimana2 demi harta hadehhh