Aruna Elise Claire, aktris muda yang tengah naik daun, tiba-tiba dihantam skandal sebagai selingkuhan aktor lawan mainnya. Kariernya hancur, kontrak diputus, dan publik membencinya.
Putus asa, Aruna memanfaatkan situasi dan mengancam Ervan Zefrano—pria yang ia kira bisa dikendalikan. Ia menawarinya pernikahan kontrak dengan iming-iming uang dan janji merahasiakan sebuah video. Tanpa ia tahu, jika Ervan adalah seorang penerus keluarga Zefrano.
“Kamu mau uang, kan? Menikah saja denganku dan aku akan memberimu uang setiap bulannya. Juga, foto ini akan menjadi rahasia kita. Tugasmu, cukup menjadi suami rahasiaku.”
“Dia pikir aku butuh uang? Aku bahkan bisa membeli harga dirinya.”
Pernikahan mereka dimulai dengan ancaman, di tambah hadir seorang bocah menggemaskan yang menyatukan keduanya.
“Liaaan dititip cebental di cini. Om dititip juga?"
Akankah pernikahan penuh kepura-puraan ini berakhir dengan luka atau justru membawa keduanya menemukan makna cinta yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Yang Pernah Ada
Ervan memandangi langit-langit kamarnya yang redup dan hening. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar, seolah ikut menghitung setiap detik kenangan yang berputar dalam kepalanya. Ingatannya kembali pada luka lama, pada seseorang yang pernah menjadi dunia kecilnya dan cinta pertamanya.
Sudah belasan tahun berlalu, dan gadis itu tak pernah ia temui lagi. Entah di mana ia berada sekarang, entah dalam keadaan seperti apa. Perlahan, matanya terpejam. Membiarkan pikirannya hanyut pada kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.
"Ervan," panggil Elara lembut kepada anak lelakinya yang baru berusia empat belas tahun.
Ervan menoleh dengan senyum lebar, memeluk erat boneka beruang kecil yang baru saja dia beli sepulang sekolah.
"Mama sama Papa mau ke mana?" tanyanya polos, melihat kedua orang tuanya mengenakan pakaian serba hitam.
Elara dan Arion saling bertatapan sejenak sebelum keduanya menatap anak mereka dengan sorot mata penuh iba.
"Om Galang dan Tante Dahlia ... sudah meninggal, Nak."
Senyuman Ervan langsung lenyap. Boneka di pelukannya jatuh begitu saja ke lantai. Mata beningnya berkaca-kaca, bergetar menatap wajah kedua orang tuanya.
"Ke-kenapa? Semalam Om Galang baru telepon. Dia minta aku main sama Skyla hari ini karena dia harus ke China. Kenapa sekarang ...," suaranya parau, nyaris tak terdengar.
Elara perlahan meraih bahu putranya dan menatapnya dalam-dalam. "Pesawat yang Om Galang tumpangi jatuh, Sayang. Tak ada yang selamat. Jasad mereka akan dimakamkan hari ini."
Ervan mengguncang kepalanya dengan keras, menolak kenyataan yang baru saja disampaikan. "Tante Dahlia juga? Bagaimana dengan Skyla? Aku ingin ikut, Ma ... aku ingin ikut!"
Elara menoleh pada suaminya dengan raut cemas. Arion segera maju dan mengelus kepala Ervan dengan lembut.
"Tidak sekarang, Ervan. Kami akan langsung ke pemakaman, dan di sana pasti ramai. Keadaannya belum cocok untukmu," ujarnya menenangkan, meski hatinya sendiri hancur.
Mereka pun pergi, meninggalkan Ervan yang berdiri diam di ambang pintu, menatap kepergian orang tuanya dengan mata sembab dan boneka yang masih tergeletak di lantai.
Keesokan harinya, sesuai janji Arion dan Elara mengajak Ervan ke rumah keluarga Skyla. Ervan memeluk bonekanya dengan erat, berniat memberikannya pada gadis kecil itu, hadiah kecil yang mungkin bisa mengobati luka hatinya.
Cklek!
Pintu rumah terbuka. Namun bukan Skyla yang menyambut mereka, melainkan seorang wanita paruh baya dengan sorot mata tajam dan raut wajah penuh ketidaksukaan.
"Ngapain kalian ke sini?" suaranya dingin dan sinis, pandangannya tak lepas dari Elara.
"Kami ingin bertemu Skyla," jawab Ervan pelan, mewakili keluarganya.
Wanita itu mendengus. "Nggak ada! Skyla udah saya kembalikan ke panti asuhan. Anak itu ... benar-benar pembawa siaal!" pekiknya, sebelum membanting pintu dengan keras.
BRAK!
Ervan terdiam. Boneka dalam pelukannya terjatuh lagi. Elara gemetar mendengar kata siaal, kata yang paling ia benci, yang selalu menghantui masa lalunya. Arion merangkul istrinya dengan cepat, mencoba menenangkannya.
"Ervan, ayo pulang," ucapnya lembut. Ia tahu luka yang tergores di hati istrinya akan lebih dalam jika mereka tetap di sana.
Namun Ervan hanya terdiam. Pandangannya kosong menatap boneka yang kini terasa seperti satu-satunya penghubung dengan Skyla, gadis kecil yang pernah mengisi hari-harinya.
Air mata jatuh perlahan dari sudut matanya. Dalam sunyi, ia berjanji pada dirinya sendiri, suatu hari, ia akan menemukan Skyla kembali.
"Dimana pun kamu berada, aku harap ... kamu bahagia Sky." gumam Ervan dan tidur meringkuk di temani dengan sepinya malam.
.
.
.
.
Pagi itu, seperti janjinya, Ervan mengantar Aruna dan Alian. Keduanya sudah siap, meskipun karena sedikit terlambat, Alian harus makan sarapan di mobil, hanya sepotong roti dengan olesan selai kacang karena Aruna tak sempat memasak.
"Little Bun, kalau belum dijemput Om jangan pulang sendiri ya? Kalau ada yang kasih jajanan, jangan diambil, oke?"
Alian mengerutkan kening, bingung. "Katanya lejeki nda boleh ditolak. Tapi kenapa diculuh nolak? Yang benel yang mana, ciiiih?"
Aruna tertawa kecil, mencoba menjelaskan dengan lembut, "Maksud Aunty, dari orang asing. Kalau nggak kenal, jangan ambil apa pun ya. Nurut ya, Little Bun?"
"Iya nuluuuut, Onty."
Sesampainya di lokasi pemotretan, Ervan menghentikan mobil dan segera turun. Ia membuka kap mesin, merasa ada yang aneh pada suara mobil tadi.
"Kamu ikut turun kenapa?" tanya Aruna heran.
"Mau ngecek mesin," jawab Ervan tanpa menoleh. Ia membuka kap mobil lalu menutupnya kembali.
"Kamu nggak pernah servis mobil, ya?" tanya Ervan sambil menyipitkan mata karena silau matahari.
Aruna cengengesan. "Masih bisa jalan, ngapain diservis?"
Ervan menghela napas panjang, nyaris memutar bola mata, sebelum akhirnya berbalik dan hendak kembali masuk ke mobil. Tapi tiba-tiba, Aruna menarik lengannya, membuat Ervan refleks menatap wajah panik wanita itu.
"Ada apa?"
"ADA KAMERA! Ada kamera di situ!" bisik Aruna cepat sambil menunjuk ke arah beberapa orang yang bersembunyi, memegang kamera dan ponsel, siap mengambil gambar untuk disebar ke media.
"Terus aku harus apa?" tanya Ervan tenang, meski mulai jengah.
Aruna berpikir cepat, lalu dengan suara panik berkata, "C1um aku! Di kening aja, nggak perlu nempel, pokoknya biar mereka percaya kita beneran suami istri."
Melihat Ervan yang masih diam saja, Aruna langsung menarik tangan Ervan dan menempelkannya di pipinya.
"CEPETAN!" gerutunya panik.
Ervan hanya menghela napas, lalu perlahan mendekatkan wajahnya. Namun, alih-alih meng3cup kening, bibir Ervan justru mendarat pelan di pipi Aruna. Meski tertutupi masker, ia tetap bisa merasakan hangatnya sentuhan itu.
Aruna membelalak. Tubuhnya menegang, dan entah kenapa, perutnya terasa seperti dihuni ratusan kupu-kupu. Jantungnya berdetak cepat tak karuan. Apa yang baru saja terjadi?
"Sudah, kan? Aku pulang dulu," ucap Ervan santai, masuk kembali ke mobil dan melaju pergi, meninggalkan Aruna yang masih berdiri kaku seperti patung.
Ia menyentuh pipinya pelan. "Ervan ... menc1um pipiku?" bisiknya pada diri sendiri. "Kenapa jantungku berdebar kencang? Rasanya ... aneh. Tapi juga ... familiar." Ia menatap kepergian mobil itu, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ada perasaan yang hangat tumbuh di d4danya.
__________________________
Lunaaaas yah, selamat bobo. Aku buat ini sampe nguap terus, tebak aku nguap berapa kali😆
ehh itu berita begimana, Ervan masih belum tauu lagii