Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 14
Suasana di kamar tempat Stevani dirawat terasa begitu senyap. Stevani pikir, Abram akan memeluk erat dan menunjukkan kebahagiaan saat mendengar dirinya hamil. Namun, ternyata semua tidak seperti yang dibayangkan.
Lelaki itu justru terpaku di tempatnya dan terus menatap pintu ruangan yang sudah tertutup rapat. Ada rasa curiga yang dirasakan Stevani apalagi saat ia melihat rahang Abram yang terlihat mengetat. Seperti orang yang sedang dipenuhi emosi.
"Mas, kamu tidak senang mendengar aku hamil?" tanya Stevani, membuyarkan lamunan Abram.
Lelaki itu menoleh, menatap sang kekasih yang masih tampak pucat. Bahkan sejak tadi terus saja memegangi perutnya. Langkah Abram pun perlahan mendekat lalu ia duduk di tepi brankar dan mencium puncak kepala sang kekasih penuh sayang. Stevani yang barusan terlihat sedih pun kini mulai mengembangkan senyumnya.
"Tentu saja aku sangat senang. Akhirnya aku akan memiliki buah hati dari kamu. Tapi—"
Abram menjeda ucapannya. Wajahnya tampak menunjukkan sebuah keraguan hingga membuat senyum Stevani perlahan memudar. Entah mengapa, wanita itu merasakan ada yang berbeda dari sang kekasih.
"Tapi apa, Mas?"
"Kita pikirkan nanti, Stev. Aku pergi dulu. Ada hal yang harus aku urus." Abram mencium puncak kepala Stevani dan bergegas pergi begitu saja. Tidak peduli pada teriakan Stevani yang memanggil namanya.
"Argh!! Sialan! Aku yakin Mas Abram pasti mengejar wanita kampungan itu. Lihat saja, setelah aku keluar dari sini, aku akan membuat perhitungan kepada wanita itu. Sabar, Sayang. Mama tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi kita." Stevani mengusap lembut perutnya. Lalu dengan terpaksa ia memejamkan mata dan berusaha agar bisa terlelap karena kepalanya masih terasa sedikit pusing.
***
"Memangnya kamu di sini sedang menunggu siapa, Gis?" tanya Dirga. Saat ini mereka sedang duduk di kantin rumah sakit. Suasana di sana tidak terlalu ramai karena malam yang sudah larut. Hanya beberapa penunggu pasien dan perawat yang terlihat berlalu lalang.
"Dia teman kuliahku, Dir." Gisela menjawab cepat sembari memalingkan wajah karena tidak ingin bertatapan dengan Dirga. Ia tidak ingin lelaki itu tahu kalau mulutnya sedang berbohong saat ini.
"Oh, bukankah lelaki tadi suaminya?" tanyanya lagi penasaran. Gisela mengangguk lemah. Namun, dalam hatinya merasakan kegelisahan. Ia hanya berharap agar Dirga tidak lagi banyak bertanya karena makin banyak pertanyaan yang dilontarkan Dirga maka akan makin banyak pula kebohongan yang harus Gisela ciptakan.
"Sepertinya aku sudah kenyang." Gisela menangkup sendok dan duduk bersandar karena kekenyangan. Dirga yang melihat itu pun tak kuasa menahan senyum. Namun, senyum tersebut memudar seketika saat teringat ucapan Gisela tempo hari.
"Em, Gis. Kamu bilang sudah menikah. Lalu di mana suami kamu? Kenapa kamu malam-malam pergi tanpa suami?" tanya Dirga curiga. Wajah Gisela yang barusan tenang pun mendadak gugup bahkan sedikit memucat. Lidahnya serasa kelu saat itu juga.
"A-aku ...." Gisela terdiam dan tidak tahu lagi harus menjawab apa. Tatapan Dirga yang begitu menuntut mampu membuat Gisela menunduk dalam dan merasa takut pada sorot mata lelaki itu.
"Katakan sejujurnya padaku, Gis? Apa penikahanmu baik-baik saja? Apa kamu tidak memiliki masalah dengan suami kamu?"
"Hubungan kita baik-baik saja." Gisela menyela dengan cepat dan masih terus menunduk. Namun, kepalanya sedikit terangkat saat Dirga sudah menangkup dagu wanita itu. Ia masih berusaha menghindari tatapan mata mantan kekasihnya itu. Akan tetapi, justru hal itulah yang membuat Dirga makin menaruh curiga.
"Lepaskan aku, Dir." Gisela berusaha menyingkirkan tangan Dirga, tetapi tidak bisa.
"Kamu yakin tidak berbohong atas ucapanmu?" Dirga masih terus meminta jawaban.
"I-iya."
"Tatap mataku kalau kamu tidak berbohong, Gis," perintahnya. Namun, Gisela hanya bergeming. Jika sampai ia menatap mata lelaki itu maka yang ada dirinya bisa ketahuan kalau sedang berbohong.
"Baiklah. Tidak perlu kamu jawab karena aku sudah bisa menyimpulkan sendiri." Dirga pun menurunkan tangannya dan menatap Gisela penuh kekecewaan. Sungguh, ia merasa jika Gisela yang sekarang sangat berbeda jauh dengan yang dulu masih sangat polos dan lugu. Tidak pernah berbohong tentunya.