FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Sebuah kecelakaan menewaskan seluruh keluarga Arin. Dia hidup sebatang kara dengan harta berlimpah peninggalan orangtuanya. Tapi meski begitu dia hidup dalam kesepian. Beruntungnya ada keluarga sekretaris ayahnya yang selalu ada untuknya.
"Nikahi Aku, Kak!"
"Ambillah semua milikku, lalu nikahi aku! Aku ingin jadi istrimu bukan adikmu."
Bagaimana cara Arin mendapatkan hati Nathan, laki-laki yang tidak menyukai Arin karena menganggap gadis itu merepotkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Sampai keesokan harinya. Nathan dan Arin masih saling diam tanpa menyapa sepatah katapun meski tinggal dalam satu rumah. Febby yang menyadari hal itupun jadi berpikir kalau kemarin malam telah terjadi sesuatu pada mereka berdua. Febby curiga dengan gerak-gerik keduanya.
Di meja makan yang biasanya sepi sekarang makin sepi dan canggung. Febby menendang kaki suaminya yang asyik menikmati makanan tanpa merasa curiga sedikitpun pada anak-anak mereka.
"Aaww ... kenapa kau menendangku, sayang?" Mike yang tidak tau akan kode yang diberikan istrinya pun protes.
"Apa kau tidak merasa aneh dengan mereka," cicit Febby pelan.
"Aneh kenapa? Aku rasa biasanya saja," ujar Mike makin membuat Febby geram.
Febby pun sengaja menginjak kaki suaminya dengan keras. Agar pria itu sadar.
Mike meringis menahan sakit tapi tidak berani bersuara lagi, ia tau istrinya sudah marah. Kalau begitu dia hanya tinggal mengiyakan saja apa yang dikatakan istrinya. Cara ampuh untuk membuat wanita luluh.
"Kau tau sekarang Dad, ada yang aneh dengan mereka kan?" bisik Febby. Mike mengangguk saja.
"Biarkan saja Sayang, mereka sudah dewasa sudah bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri."
"Tidak bisa Dad, bagaimana kalau Nathan yang membuat Arin kesal. Putra kita itu kan sama sepertimu, tidak peka," cicit Febby.
Arin dan Nathan fokus pada makanannya, meski sebenarnya mereka sama sekali tidak selera makan karena memikirkan perdebatan mereka semalam. Arin hanya memakan sedikit, sisanya ia acak-acak asal.
"Aunty, uncle aku sudah selesai makan. Aku akan berangkat kuliah sekarang," pamit Arin. Dia ingin segera pergi dari sana. Masih sebal pada Nathan.
"Ehh tapi itu kamu baru makan sedikit Sayang. Atau mau aunty buatkan bekal?"
"Tidak perlu aunty, aku sudah kenyang. Aku pergi, assalamu'alaikum." Arin menyalami mereka tapi seolah menganggap Nathan tidak ada di sana.
"Apa kalian bertengkar, pasti kau yang membuat masalah lebih dulu kan. Cepat jujur sama mommy apa yang terjadi pada kalian semalam. Jangan kira mommy tidak tau kalau kalian sedang ada masalah," cecar Febby pada putra setelah Arin pergi.
Nathan langsung mengelap mulutnya setelah meletakkan sendok dan garpu yang ia pegang. "Aku juga sudah kenyang, aku akan berangkat sekarang." Nathan bangun dari duduknya begitu saja tanpa menjawab pertanyaan mommynya. "Assalamu'alaikum Mom, Dad," pamitnya kemudian.
"Hai, mommy belum selesai bicara. Dasar anak nakal!" teriak Febby pada anaknya sudah berjalan keluar. "Dad, kenapa kau diam saja. Itu anak-anak kita berantem." Sentak Febby pada suaminya yang masih saja sibuk makan.
Padahal sejak tadi Mike bahkan belum sempat memasukkan makanan ke dalam mulutnya karena sang istri terus mengadu. Mike biasanya tidak sesabar itu kalau pada orang lain, beda kalau dengan Febby. "Lalu aku harus bagaimana sayang, mereka sudah besar jadi tidak mungkin berantem pukul-pukulan," ujar Mike. Benar kan mereka bukan anak kecil lagi jadi tidak mungkin saling jambak atau cakar.
"Ihh Daddy ini ngeselin!! Cepat ayo ikut aku ke depan."
"Tapi sayang, aku belum sarapan," gaduh Mike, dia masih lapar dan masih ingin makan padahal ada rapat pagi di kantor.
"Sudah nanti saja urusan makan, kita lihat mereka dulu."
Mike ikut saja saat pergelangan tangannya ditarik sang istri ke depan.
Di depan rumah.
Arin sedang kebingungan karena ke empat ban mobilnya tiba-tiba bocor, padahal katanya tadi malam saat sopir membawa pulang tidak ada masalah. Bagaimana bisa keempatnya kempes semua dalam waktu yang sama. Kalau begini dia tidak bisa membawa mobilnya ke kampus.
"Ya sudah Pak, aku berangkat pakai mobil yang lain saja," ujar Arin yang sedang berdiri di samping mobilnya.
"Tapi mobil yang lain sedang dalam perbaikan juga non. Harus di cek rutin hari ini," Ujar pak supir.
"Kan mobil banyak pak, apa tidak ada satupun yang bisa aku pakai?" tanya Arin heran.
"Ada mobil tuan dan tuan muda," kata pak supir.
"Tidak mungkin aku bawa mobil mereka, ya sudah aku naik taksi saja kalau begitu." Baru saja Arin jalan sedikit tiba-tiba mobil Nathan lewat di depannya dengan membunyikan klakson.
Nathan membuka kaca mobilnya. "Naiklah, aku antar ke kampus."
Arin tak menggubris perkataan Nathan, pria itu mau memberikan tumpangan tapi wajahnya seperti itu. Arin juga tidak mau satu mobil dengan Nathan.
"Aku bisa naik taksi," kata Arin lalu berjalan lagi.
"Dasar keras kepala!" kesal Nathan tapi dia tidak bisa meninggalkan Arin begitu saja. Menurutnya taksi juga tidak aman bagi anak gadis seperti Arin. Terlalu banyak kejahatan di ibu kota.
Nathan melajukan mobilnya pelan mensejajarkan dengan Arin. "Naiklah! Arin ...."
"Tidak mau, kakak pergi saja ke kantor."
"Jadi kau mau masuk ke mobil sendiri atau aku bantu," ancam Nathan. Dia sudah habis kesabaran.
Arin tidak peduli, dia jalan terus menuju pintu gerbang. Dimana dia bisa mendapatkan taksi di luar gerbang. Siapa yang mau satu mobil dengan orang yang suka memaksa dan semaunya sendiri. Arin juga punya batas kesabaran. Dia tidak seperti ibunya yang mau saja ditindas.
"Ehh ... apa-apaan ini!" pekik Arin saat tiba-tiba tubuhnya melayang.
"Diamlah kalau tidak mau jatuh." Nathan memang semaunya sendiri, seperti sekarang dia memaksa Arin untuk naik mobilnya.
"Turunkan aku kak, aku mau naik taksi saja." Arin memberontak tidak mau naik mobil. Memangnya dia gadis apaan bisa di paksa-paksa.
Tapi kekuatan Nathan sama sekali tidak bisa Arin lawan. Pria itu bisa membawa Arin yang banyak bergerak ke dekat mobil. "Tundukkan kepalamu, jangan sampai terbentur," perintahnya saat akan memasukkan Arin ke mobil.
Bibir Arin cemberut tapi menuruti apa yang Nathan suruh dari pada kepalanya benjol karena terpentok. Kan sayang kalau sampai benjol.
"Nah ... kenapa tidak dari tadi saja menurut seperti ini. Atau kau memang ingin aku gendong," ujar Nathan membuat Arin mendelik ke arahnya. Percaya diri sekali pria itu.
"Siapa yang mau di gendong, sudah aku bilang aku mau naik taksi. Aku tidak mau dibilang merepotkan kakak lagi, jadi mulai sekarang tidak usah mengurusiku lagi." Arin mengalihkan pandangannya karena jarak mereka terlalu dekat. Jantungnya jadi berdebar dan pipinya memerah seperti tomat.
"Maaf, jangan ngambek lagi. Nanti cantiknya hilang." Nathan mengusap puncak kepala Arin. Jika sedang ngambek begitu jadi lucu, bibirnya yang mengerucut seperti minta untuk dicium. Ohh kenapa Nathan bisa berpikiran seperti itu bukankah dia menganggap Arin seperti adiknya, bagaimana seorang kakak bisa mencium adiknya sendiri.
Sekarang bukan hanya Arin yang berdebar tapi Nathan juga. Baru pernah ia berdebar dan jadi gugup di dekat Arin dan gadis mana pun.