Evan Dinata Dan Anggita sudah menikah satu tahun. Sesuai kesepakatan mereka akan bercerai jika kakek Martin kakek dari Evan meninggal. Kakek Martin masih hidup, Evan sudah tidak sabar untuk menjemput kebahagiaan dengan wanita lain.
Tidak ingin anaknya menjadi penghambat kebahagiaan suaminya akhirnya Anggita
rela mengorbankan anak dalam kandungan demi kebahagiaan suaminya dengan wanita lain. Anggita, wanita cantik itu melakukan hal itu dengan terpaksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda manik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mari, Kita Bercerai.
"Anggita, kemarilah. Kita sarapan pagi bersama," ajak Adelia setelah melihat Anggita berjalan mendekati mereka yang sudah duduk mengelilingi meja makan.
Anggita tidak menjawab, dia hanya tersenyum melihat tiga manusia itu. Senyum terpaksa yang harus dipamerkan untuk Evan Dan Adelia yang menghancurkan hatinya. Evan sudah terlihat sehat. Rico juga ada di tempat itu masih dengan pakaian yang diberikan oleh Anggita kemarin sore.
Seperti biasa, Anggita mengambil air putih hangat untuk mengurangi rasa mual yang masih setia menemani tubuhnya di pagi hari.
"Duduk Anggita. Sayang, suruh istrimu untuk sarapan bersama dengan kita," kata Adelia kepada Evan. Pria itu tidak menurut apa yang diinginkan oleh Adelia, dia hanya menatap Anggita dengan tajam membuat Anggita semakin takut untuk bergabung bersama mereka.
Interaksi antara suami istri itu jelas terlihat oleh Rico. Melihat sikap Adelia kepada Evan Dan Evan tidak melarang Adelia. Timbul rasa kasihan di hatinya untuk istri atasannya itu. Tapi Rico tahu diri. Dia tidak ingin ikut campur urusan suami istri itu karena itu sangat bersifat pribadi.
Setelah menghabiskan satu gelas air putih hangat, Anggita melewati meja makan. Tidak ada niatnya untuk bergabung dengan tiga manusia itu.
"Duduk."
Anggita mendengar suara tegas dan dingin dari suaminya. Dia mengetahui jika perintah itu untuk dirinya. Tapi Anggita tidak perduli. Dia melangkah terus menaiki tangga. Daripada melihat interaksi suaminya dan Adelia lebih baik dirinya pergi lebih awal ke rumah kakek Martin.
Sesuai undangan kakek Martin, Hari ini Hari minggu. Seharusnya dirinya dan Evan harus ke rumah kakek Martin Hari ini. Evan sudah menolak undangan itu dengan tegas. Anggita akan pergi sendiri seperti sebelum sebelumnya jika kakek Martin mengundang mereka berdua.
Sesampai di kamar, Anggita membuka lemari pakaian yang berukuran jumbo itu. Selain ingin berganti pakaian. Dia berencana memindahkan pakaiannya ke kamar tamu. Sejak tadi malam dia memutuskan untuk pisah ranjang dari sang suami menunggu perceraian itu tiba. Hatinya sangat sakit sejak mengingat perkataan Adelia tentang Evan yang tidak menginginkan anak dari dirinya.
"Kamu mau kemana?" tanya Evan dingin yang sudah duduk di sofa di kamar itu. Anggita mengganti pakaian dan baru saja keluar dari kamar mandi.
"Ke rumah kakek Martin. Apa kamu lupa mas. Jika kakek mengundang Kita Hari ini," jawab Anggita tanpa menoleh. Dia berharap Evan mengubah keputusannya untuk memenuhi undangan kakek Martin.
"Lalu itu apa?" tanya Evan lagi sambil menunjuk tumpukan pakaian Anggita yang terletak di atas ranjang.
"Mohon ijin kamu mas. Menunggu perceraian Kita. Aku memutuskan untuk pisah ranjang dengan kamu."
"Tidak boleh. Sebelum ketok palu kamu harus tetap tidur di kamar ini..."
"Dan menikmati tubuh aku," potong Anggita cepat kemudian terkekeh.
"Mas, seharusnya jika kamu tidak menginginkan aku. Kamu juga seharusnya tidak menikmati tubuh aku. Kamu dengan sadar memberikan Surat perceraian dan membiarkan wanita lain menginap di rumah Dan bahkan tidur satu ranjang dengan kamu tadi malam. Ada kah alasan untuk aku untuk tidur di kamar ini?" kata Anggita tenang. Jika Evan seseorang yang peka, dia pasti bisa melihat luka di mata istrinya.
"Kamu yang membiarkan dia tidur di ranjang ini. Tadi malam aku sakit dan tertidur pulas. Dia merawat aku. Jadi itu bukan salah aku. Tapi salah kamu yang yang memberikan dia ijin untuk merawat aku. Aku juga mengetahui batasan antara diriku dan Adelia. Jika Aku sama dengan pria lain di luar sana. Kamu sudah pasti mempunyai madu saat ini. Tapi aku mengorbankan rasa cintaku dan menyakiti hati Adelia karena menikahi kamu. Jadi, menurut kamu. Apakah aku pihak yang bersalah di situasi pernikahan Kita. Kamu yang salah karena bersedia menikah dengan pria yang tidak mencintai kamu. Jadi, kamu harus menerima konsekuensinya sampai tiba saatnya kita benar benar bercerai."
Kata demi kata yang keluar dari mulut Evan bagaikan tetesan cuka di hati Anggita yang sakit. Anggita memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan kesedihannya. Dia tidak ingin Evan melihatnya rapuh. Walau Evan tidak memberikan dirinya seorang Madu. Keberadaan Adelia tetap saja menyakiti hatinya.
"Kalau begitu. Mari Kita bercerai sekarang. Mana Surat perjanjiannya. Aku akan tanda tangani sekarang."
Anggita akhirnya menyerah sebelum ajal kakek Martin. Dia tidak ingin terluka lebih lama lagi. Lagipula untuk menyembunyikan kehamilannya, maka jalan terbaik adalah bercerai secepatnya.
Evan terkejut dan mengangkat kepalanya menatap Anggita dengan tajam. Harga dirinya seakan terjun bebas mendengar perkataan Anggita sepertinya sangat bulat untuk bercerai.
Evan berdiri dan berjalan mendekati Anggita yang berdiri dekat jendela. Dia merapatkan tubuhnya ke Anggita hingga jarak mereka hanya beberapa centi saja. Kedua tangannya menumpu ke kusen jendela membuat Anggita seperti terkurung.
"Beraninya kamu mempermainkan aku wanita sialan," kata Evan marah. Dia marah karena sebelumnya Anggita menolak bercerai selama kakek Martin masih hidup. Tapi kini wanita itu meminta bercerai dari dirinya.
"Demi kebahagiaan kamu mas. Bukan kah kamu tersiksa dengan pernikahan ini. Jika bercerai dengan aku membuat kamu bahagia. Maka seharusnya Kita secepatnya bercerai," kata Anggita dengan mata yang berkaca kaca. Sekali saja dia berkedip bisa dipastikan jika air matanya akan terjun bebas.
"Wanita licik. Kamu meminta cerai dari aku bukan karena kebahagiaan aku. Tapi karena kamu sudah menemukan laki laki yang akan menjadi korban kamu berikutnya."
Evan tidak perduli dengan wajah sedih istrinya. Bahkan dia merapatkan giginya karena marah.
"Tidak mas. Itu tidak benar," kata Anggita sambil menggelengkan kepalanya. Perkataan Evan jelas menilai dirinya sebagai wanita penggila harta.
"Tidak benar?" tanya Evan sambil tertawa meremehkan perkataan Anggita.
"Tidak benar kata kamu. Tapi kamu sudah memberikan perhatian lebih untuk asisten aku. Kamu kira dia tertarik dengan wanita seperti kamu. Tidak. Jadi coba kamu renungkan. Wanita seperti apa dirimu itu. Suami sedang sakit tapi perhatian dengan pria lain."
"Mas, itu karena Pak Rico...."
"Diam. Aku tidak butuh penjelasan kamu. Dan satu hal yang harus kamu ingat. Sama seperti keinginan kamu sebelumnya. Tidak ada perceraian selama kakek Martin masih hidup. Nikmatilah hidup kamu selama menjadi istriku. Entah itu bahagia atau tidak. Tapi menurut aku tidak ada kebahagiaan bagi wanita jahat penghancur kebahagiaan wanita lain."
Setelah mengatakan hal itu, Evan bergerak menjauhi tubuh Anggita. Sebelum keluar dari kamar, Evan mencampakkan pakaian Anggita hingga berserakan di lantai.
Anggita akhirnya tidak bisa membendung air matanya. Dia menangis dengan menutup mulutnya dengan tangan. Di saat hatinya sangat sedih seperti ini, Anggita juga harus menyembunyikan tangisannya supaya tidak terdengar ke lantai bawah.
"Kita harus kuat nak," gumam Anggita sambil mengelus perutnya. Di saat tersakiti seperti ini hanya janin di dalam kandungan yang bisa menguatkan hatinya.
Setelah satu jam kemudian, Anggita keluar dari kamar. Wajahnya yang sembab karena menangis berhasil disembunyikan dengan riasan.
"Sayang, aku belum menemukan tempat tinggal di Kota ini. Bolehkah aku tinggal di sebelah rumah kamu?. Aku lihat rumah itu dikontrakkan. Tidak mungkin aku terus tinggal di rumah orang tua kamu. Apa kata orang nanti. Kita belum menikah. Kecuali kamu menikahi aku secepatnya. Aku bersedia tinggal di rumah orang tua kamu."
Suara manja Adelia yang jelas terdengar membuat Anggita menghentikan langkahnya di balik tembok yang menghubungkan ruang makan dengan ruang tamu.
Dadanya berdetak kencang mengetahui kenyataan jika Adelia tinggal di rumah mertuanya.
"Jangan menuntut pernikahan kepada aku selama aku masih terikat pernikahan dengan wanita lain Adel. Kamu tahu bahwa aku sangat mencintai kamu. Kamu adalah kebahagiaan aku. Itulah sebabnya aku akan menjadikan kamu wanita satu satunya di hatiku dan juga di status hidupku. Bersabarlah, Masa itu akan tiba."
"Terima kasih sayang. Buktikan jika aku hanya wanita satu satunya di hati kamu sayang. Dan aku hanya ingin menjadi wanita satu satunya pemberi keturunan bagi kamu."
"Apapun keinginan kamu Adel. Aku akan penuhi. Tapi Ada syaratnya."
"Syarat apa?.
"Kamu harus sabar menunggu aku."
"Pasti sayang. Satu tahun saja aku sanggup menunggu apalagi hanya satu bulan. Jadi bagaimana, Kita temui sekarang yang punya rumah sebelah ya. Atau bagaimana kalau aku tinggal disini saja. Toh, wanita itu sudah mengetahui tentang kita."
Anggita hanya bisa memegang dadanya mendengar pernyataan cinta dari suaminya untuk wanita lain. Dia masih tetap berdiri di tempat itu untuk mengetahui jawaban suaminya atas keinginan Adelia yang ingin tinggal satu atap bersama mereka. Jika Evan mengijinkan Adelia tinggal di rumah ini. Maka Anggita akan memilih dirinya yang keluar dari rumah ini.
"Baiklah, tinggallah di rumah ini. Kamu boleh menempati kamar tamu yang di lantai bawah."
"Terima kasih sayang."
Anggita keluar dari persembunyiannya setelah mendengar keputusan sepihak dari Evan. Bukan untuk protes. Tapi Anggita kembali menghentikan langkahnya mendengar Suara Adelia memanggil namanya.
"Anggita, aku akan tinggal di rumah ini. Tidak apa apa kan. Aku berjanji membantu kamu dalam apapun," kata Adelia sambil tersenyum. Senyum kemenangan yang sengaja dia suguhkan untuk Anggita.
"Silahkan mbak. Aku akan senang jika itu membuat calon suami kamu bahagia. Aku tinggal dulu ya. Aku tidak mau kakek Martin menunggu lama kedatangan aku," jawab Anggita juga tersenyum. Dia tidak menoleh sama sekali kepada Evan.
tapi di ending bikin Sad
senggol dong
tapi mengemis no.