Malam itu, kabut tebal menyelimuti sebuah desa terpencil di lereng gunung.
Suara angin berdesir membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Di tengah sunyi, langkah empat orang terlihat menuju sebuah bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan.
Nur, seorang editor sekaligus kameraman, mengangkat kameranya, siap menangkap setiap detik keangkeran yang tersembunyi di balik bayang-bayang.
Di sampingnya, Pujo, pria dengan kemampuan supranatural, merasakan getaran aneh sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di tempat itu.
"Ini bukan tempat biasa," gumamnya dengan nada serius.
Ustad Eddy, seorang religius dan spiritualis, melangkah mantap dengan tasbih di tangannya, siap mengusir kegelapan dengan doa-doanya.
Sementara Tri, yang dikenal sebagai mediator, berdiri di antara mereka, mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan entitas dari dunia lain.
Mereka bukan sekadar pemburu tempat angker, tetapi penjelajah alam gaib yang menyuguhkan kisah-kisah misteri dan horor yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JEBAKAN DAN KEKUATAN DARI DALAM
Malam kian kelam, angin dingin menghempas dengan suara melolong, seperti jeritan mereka yang tersesat di dunia kegelapan. Nur, Pujo, Ustad Eddy, dan Tri masih berdiri dalam bayangan rumah tua itu, berhadapan dengan sosok raksasa yang mengancam. Makhluk yang baru saja muncul dari balik kegelapan itu, meski terlihat nyata, tampak bagai bayangan yang tidak sepenuhnya terikat pada dunia fisik.
Nur mengerutkan dahi, memperhatikan gerak makhluk itu dengan seksama. Setiap kali ia mendekat, ruangan tampak semakin gelap, seolah-olah menyerap cahaya di sekitarnya. “Kita harus keluar dari sini,” bisik Nur, tetapi langkah kakinya terasa tertahan. Ada sesuatu dalam ruangan itu yang mencegah mereka melarikan diri.
“Tidak ada yang akan keluar dari sini hidup-hidup,” suara dalam dan dingin dari makhluk itu menggema, terdengar seperti ribuan jeritan bersamaan.
Ustad Eddy mengangkat tasbihnya, membaca ayat-ayat suci dengan lantang, tetapi suara itu malah menertawakan usahanya. “Doa-doamu tidak akan berpengaruh di sini, orang suci. Tempat ini bukan lagi wilayah cahaya. Ini adalah wilayah kami!”
Pujo mengeratkan genggaman tangannya pada tongkat kayu yang telah dia bawa sejak awal. “Aku merasakan sesuatu yang lebih dalam. Ini bukan sekadar makhluk biasa. Dia diikat oleh kekuatan yang lebih besar dari pesugihan buto ijo.”
Makhluk itu mendekat dengan lambat namun pasti, cakar hitamnya menyeret di lantai, menciptakan suara berderit yang mengganggu. “Kalian telah menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya kalian sentuh. Rantai ini bukan sekadar pengikat, tapi sumber dari kekuatan terkutuk yang menguasai banyak jiwa.”
“Rantai itu…” Tri menggumam, matanya terbuka lebar. "Kita harus menghancurkan rantainya, bukan makhluknya."
"Rantai?" Nur memandang ke arah Tri, mencari kejelasan.
Tri menelan ludah, merasa bulu kuduknya berdiri. "Ya, aku ingat. Dalam manuskrip kuno, disebutkan bahwa makhluk-makhluk ini bukanlah entitas independen. Mereka diikat oleh rantai magis yang memberikan mereka kekuatan, tapi juga menjadi kelemahan mereka. Jika kita bisa menemukan sumber rantainya, kita bisa menghentikan ini."
Namun, makhluk itu seolah mendengar percakapan mereka dan langsung melancarkan serangan. Cakarnya melesat dengan cepat ke arah Pujo yang berdiri paling depan. Pujo berusaha menghindar, tapi makhluk itu lebih cepat. Dalam satu gerakan, Pujo terlempar ke dinding, mengeluarkan batuk darah. Namun, ia tetap bertahan, meski jelas bahwa kekuatan makhluk itu jauh di atas mereka.
“Aku baik-baik saja,” katanya, berdiri kembali meskipun tubuhnya gemetar. “Tapi kita harus segera menemukan rantai itu. Kalau tidak, kita tidak punya harapan.”
***
Waktu seakan berhenti saat mereka terus berusaha melawan makhluk tersebut. Meskipun Pujo dan Tri mencoba mengalihkan perhatiannya, Nur menyusuri dinding-dinding rumah tua itu, mencari petunjuk. Jarinya menyusuri simbol-simbol kuno yang terukir di dinding, mencari pola atau sesuatu yang bisa menunjukkan lokasi rantai magis tersebut.
Tiba-tiba, Nur menemukan sebuah simbol yang tampak berbeda. Tidak seperti simbol-simbol lainnya, yang penuh dengan lingkaran dan garis-garis rumit, simbol ini berbentuk sederhana—dua lingkaran yang saling terkait, seperti rantai. “Di sini,” bisik Nur.
Tanpa membuang waktu, ia segera memanggil Pujo dan Ustad Eddy. Mereka berkumpul di sekitar simbol itu. “Ini pasti pusatnya,” kata Nur sambil menunjukkan simbol tersebut. “Kita harus menghancurkannya.”
Ustad Eddy segera merapalkan doa-doa dengan khidmat, sementara Pujo menggunakan seluruh kekuatan supranaturalnya untuk memfokuskan energi pada simbol tersebut. Ruangan bergetar saat mereka berusaha mematahkan pengaruh kegelapan yang ada di tempat itu. Makhluk besar itu mengamuk, menyadari apa yang sedang terjadi. Ia menerjang dengan cakar-cakar raksasanya, mencoba menghalangi mereka.
Tetapi mereka tetap bertahan. Ketika Ustad Eddy mengakhiri doanya, sebuah cahaya muncul dari simbol itu. Cahaya tersebut semakin terang, menyilaukan, sampai akhirnya meledak dalam dentuman besar.
Makhluk itu terhuyung-huyung, merintih kesakitan. Suara jeritannya menggema di seluruh ruangan, memekakkan telinga. Cahaya dari simbol itu terus menyebar, seperti rantai emas yang tidak terlihat, melilit tubuh makhluk itu dan menariknya mundur ke dalam kegelapan.
“Kita hampir berhasil!” teriak Tri.
Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sebuah kekuatan besar dari kegelapan menyerang balik, memukul Nur hingga terlempar. Tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras, membuat darah merembes dari sudut bibirnya. “Nur!” Pujo berlari ke arahnya, memeriksa kondisinya.
“Kita harus mengakhiri ini sekarang,” kata Ustad Eddy dengan nada tegas. Ia mengangkat tangannya ke langit, berdoa dengan lebih khusyuk. Energi suci mulai memancar dari tubuhnya, semakin terang dan semakin kuat, menyelimuti ruangan.
Makhluk itu meronta-ronta, berusaha melawan, tapi rantai emas yang tak terlihat itu terus menariknya mundur. Sampai akhirnya, dengan jeritan panjang yang mengguncang tanah, makhluk itu menghilang, kembali ke tempat asalnya di alam kegelapan.
Ketegangan di udara perlahan menghilang. Mereka semua terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
“Kita… berhasil?” tanya Tri dengan suara yang masih tergetar.
Pujo mengangguk, meski wajahnya terlihat letih. “Untuk saat ini, ya. Tapi rantai gelap ini mungkin belum sepenuhnya terputus. Ada sesuatu yang lebih besar di luar sana.”
Ustad Eddy, meskipun letih, masih tetap tenang. “Tugas kita belum selesai. Kegelapan ini mungkin sementara menghilang, tapi kita belum tahu apa yang akan datang berikutnya.”
Nur, yang meski terluka, tersenyum lemah. “Kita sudah selangkah lebih dekat. Sekarang kita tahu ada lebih dari sekedar pesugihan biasa. Ini adalah kekuatan kuno yang telah ada jauh sebelum kita semua lahir.”
***
Keesokan harinya, setelah malam yang panjang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan penyelidikan. Meski sudah mengalahkan makhluk itu, perasaan waspada masih menggantung di udara.
Saat matahari mulai terbit, Pujo, yang selama ini selalu menjadi yang paling rasional di antara mereka, tampak termenung. "Aku khawatir. Mungkin kita hanya menunda apa yang akan terjadi. Kalau rantai itu adalah penghubung antar entitas, kita mungkin telah membuka sesuatu yang lebih besar dari yang kita duga."
Tri, yang biasanya lebih optimis, hanya bisa mengangguk. "Kita harus bersiap untuk yang terburuk. Entah apa lagi yang akan muncul setelah ini."
Nur, yang sudah lebih baik, menatap ke arah horizon. “Kita harus segera mencari lebih banyak petunjuk. Tidak ada waktu untuk menunggu.”
Dan dengan itu, mereka tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Kegelapan yang mereka hadapi bukanlah yang terakhir, dan mereka hanya bisa berharap bahwa kekuatan di balik rantai itu tidak terlalu kuat untuk dilawan.
Namun, jauh di dalam bayang-bayang, sesuatu telah bangkit. Kekuatan yang jauh lebih besar dari Buto Ijo dan makhluk-makhluk lainnya. Sebuah ancaman yang lebih tua, lebih dalam, dan lebih mematikan dari yang pernah mereka duga.