Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiket
“JAGA BICARAMU, TASYA DARMANSYAH!” bentak Devin dengan suara yang menggema di ruang makan. Wajahnya merah padam, menandakan kemarahan yang begitu membara.
“Kek!/Mas!” seru Kian dan Grace serentak, terkejut dengan ledakan emosi Devin.
Mata Tasya sudah mulai berkaca-kaca, terlihat sembab. Tanpa menunggu lebih lama, ia turun dari kursinya dan berlari menuju kamarnya di lantai atas, meninggalkan suasana makan malam yang semakin tegang.
Devin menatap kosong ke arah kepergian cucunya, namun emosinya masih menguasai dirinya. “Kenapa?! Mulut dia udah kelewatan!” ucapnya dengan nada tegas, berusaha membenarkan kemarahannya.
“Kek, dia masih anak-anak. Tasya belum ngerti mana yang salah, mana yang bener.” Kian berdiri, lalu ia berjalan menyusul Tasya.
Grace yang duduk di sampingnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan situasi. “Kamu tau, Mas,” ucap Grace, suaranya lebih lembut namun tegas, “kalau kamu nggak suka sama Tasya, bicarakan dengan baik-baik. Anak kecil bisa keras kepala, tapi mereka butuh dipahami, bukan dibentak.”
Devin tak menjawab, hanya terdiam. Kata-kata Grace mulai menembus lapisan emosinya yang membara. Ia teringat pada masa lalu, pada perseteruannya dengan anaknya sendiri, Ronald. “Kamu nggak inget? Karena sifat emosian kamu waktu itu, Ronald sampai benci sama kamu,” lanjut Grace, suaranya mulai melembut.
Keheningan memenuhi ruang makan. Devin melirik Keira yang duduk diam di ujung meja. Wajah Keira tampak tertekan, mungkin merasa bersalah menjadi sumber masalah antara Tasya dan kakeknya. Ada penyesalan di mata Devin, namun ia masih terlalu gengsi untuk mengungkapkannya.
Berikut adalah penyempurnaan bagian dari bab 13 ini:
Devin terdiam sejenak, pandangannya kosong, seolah pikirannya melayang di antara rasa bersalah dan harga diri yang masih menahannya. Ia meraih ponselnya dan mulai mengetik pesan singkat sebelum akhirnya mengunci layar. Setelah menyelesaikan urusannya, Devin berdiri dan memimpin makan malam dengan keheningan yang tegang menggantung di udara.
.....................
Makan malam telah usai. Devin berdiri dari meja dan, tanpa mengucap sepatah kata, melangkah menaiki tangga dengan langkah berat. Tujuannya jelas—kamar Tasya. Begitu ia sampai di depan pintu, Devin menghela napas panjang sebelum memutarnya perlahan.
Pintu terbuka, dan di dalam kamar, ia melihat Tasya sedang tengkurap, wajahnya tersembunyi dalam bantal, sesekali bahunya bergetar karena isak yang tertahan. Kian duduk di samping adiknya, tangannya mengusap punggung Tasya pelan, mencoba menenangkan.
“Kek? Ngapain di sini?” tanya Kian, suaranya pelan namun masih terdengar rasa kecewa. Tasya perlahan menoleh, matanya sembab. Begitu pandangannya bertemu dengan Devin, tubuhnya menegang. Ia ingat jelas bentakan sang kakek yang masih terngiang, menimbulkan rasa takut yang seolah kembali menghantamnya.
Devin menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Ikut gue, Ian," ucapnya datar, suaranya terdengar dingin, namun jelas ada perasaan bersalah yang menyelinap di balik sikap tegasnya.
Kian menatap kakeknya sejenak, lalu mengangguk. Ia tak berkata apa-apa, mengikuti Devin keluar dari kamar Tasya. Langkah mereka membisu, seolah setiap suara teredam oleh ketegangan yang masih menguap di udara.
Mereka berjalan menuju ruang kerja Devin. Begitu sampai, Devin duduk di kursinya tanpa berkata-kata, sementara Kian berdiri, mengamati ruangan itu. Ia baru pertama kali menyadari betapa ruang kerja kakeknya begitu klasik dan penuh dengan aura masa lalu. Di sekelilingnya, rak-rak buku kayu tua menjulang memenuhi sebagian besar dinding.
"Gue baru tau kakek punya ruangan kayak gini," gumam Kian dalam hatinya, sedikit kagum. Namun rasa hormat itu bercampur dengan rasa kecewa yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya.
Devin menyerahkan ponselnya kepada Kian tanpa berkata apa-apa. Dengan alis terangkat, Kian menerima ponsel itu, lalu memandang layar dengan bingung. Terlihat dua pemesanan tiket pesawat ke Jepang tertera di sana.
"Hah? Maksudnya apa, Kek?" tanyanya, kebingungan. "Ngasih aku tiket kayak gini?"
Devin menatap cucunya dengan pandangan tegas. "Tiket liburan sekaligus honeymoon lu sama Keira," jawabnya dengan nada yang datar, namun mengandung harapan tersembunyi.
"Honeymoon? Kenapa cuma aku sama Keira? Kenapa kita nggak bareng-bareng aja?" Kian mencoba menawar, masih belum bisa menerima begitu saja.
Devin menghela napas panjang. "Kalo kita bareng-bareng, Tasya pasti bakal makin nggak suka, dan gua nggak mau kejadian tadi terulang. Gua nggak mau denger dia ngatain Keira lagi." Nada suaranya jelas menunjukkan bahwa Devin berusaha melindungi Keira dari potensi konflik yang lebih besar.
"Tapi, Kek—"
"Udah, nggak usah tapi-tapian. Ini udah keputusan gua," potong Devin tanpa memberi ruang untuk debat. "Dua hari lagi kalian berangkat. Udah, siap-siap aja."
Kian menghela napas panjang, merasa tak berdaya melawan keputusan yang sudah dibuat. "Iya, iya...," gumamnya dengan nada menyerah.
Devin memberikan isyarat tangan, menyuruh Kian keluar dari ruangannya. "Balik sana ke kamar lu. Siapin semuanya."
Kian berjalan keluar dari ruang kerja, masih memikirkan segala hal yang baru saja terjadi. Ketika sampai di depan pintu kamarnya, ia dengan cepat membuka pintu dan masuk. Begitu berada di dalam, ia langsung mengunci pintu dari dalam, memastikan dirinya sendiri tidak terganggu.
"Arghhh!" teriaknya, frustrasi, sambil melempar ponselnya ke atas kasur. Teriakannya teredam oleh dinding kamar yang kedap suara, memungkinkan Kian meluapkan amarahnya tanpa takut terdengar oleh siapapun di luar.
Kenapa semuanya jadi serumit ini? pikirnya.
......................
Keira dan Grace masih sibuk dengan cucian piring di dapur. Namun, pikiran Keira tak bisa fokus, terus melayang pada perkataan Tasya yang tadi begitu menusuk hatinya.
"Nek, aku keluar sebentar, boleh ya?" ucap Keira setelah selesai membersihkan piringnya.
"Ngapain, Keira?" tanya Grace lembut, namun penuh perhatian.
"Nggak ada apa-apa, Nek. Cuma pengen nenangin diri aja," jawab Keira, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih terasa berat.
Grace menatapnya dengan tatapan hangat. "Kamu masih kepikiran omongan Tasya, ya? Jangan diambil hati, Nak. Dia masih kecil, nggak ngerti apa yang dia bilang."
Keira tersenyum kecil, berusaha untuk tidak menunjukkan beban yang dirasakannya. "Nggak kok, Nek. Aku nggak mikirin itu lagi." Setelah itu, Keira berjalan keluar rumah.
Di halaman rumah yang sejuk, Keira duduk di sebuah kursi kayu yang nyaman, menatap bulan purnama yang menggantung di langit malam. Suasana malam begitu tenang, namun pikiran Keira tetap bergejolak.
"Ma, Pa, Keira kangen kalian," ucapnya pelan, seolah berbicara pada angin. Mungkin bagi orang lain, itu tampak aneh atau bahkan dianggap gila, tapi bagi Keira, bicara pada orang tuanya yang sudah tiada adalah satu-satunya cara untuk merasa dekat dengan mereka. Ia merasa lebih tenang, seolah mereka masih ada di sampingnya.
Namun, lamunannya terganggu oleh suara deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Sebuah Nissan GTR hitam terparkir di halaman. Dari dalam mobil itu keluar seorang pria yang terlihat asing bagi Keira.
"Weh, lu Keira, ya?" seru pria itu sambil tersenyum lebar.
Keira mengernyit bingung. Pria itu bertubuh besar, kulitnya putih, dengan mata yang besar dan tercetak rasa percaya diri di wajah tampannya. "Kamu siapa?" tanya Keira, merasa sedikit waspada.
"Wah, parah sih Kian. Gua nggak dikenalin ke istrinya sendiri," pria itu tertawa kecil.
"Kamu kenal Kian?" tanya Keira, semakin penasaran.
"Iyalah!" Pria itu mengulurkan tangannya. "Kenalin, gua Dava. Sahabat Kian yang udah kenal hampir 15 tahun."