(Gak jamin kalau kamu bakalan nangis bombay)
Audrey, seorang wanita pekerja keras yang mengabdikan hidupnya untuk karier. Dia tidak tampak tertarik dengan hubungan percintaan apalagi pernikahan. Di usia 28 tahun, ia bahkan tidak memiliki seorang kekasih ataupun teman dekat. Tidak ada yang tahu kalau Audrey menyimpan beban penyesalan masa lalu . Namun, kehidupannya yang tenang dan monoton mendadak berubah drastis ketika ia bertemu kembali dengan sahabat masa kecilnya, Sofia. Audrey tidak pernah menyangka kalau Sofia memintanya menikahi calon suaminya sendiri. Akankah pernikahan Audrey menjadi mimpi buruk atau justru kisah cinta terindah untuk seumur hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 Jangan pergi
Setengah berlari, Audrey memasuki gedung kantornya. Ia tidak mau sampai datang terlambat di hari Senin pagi. Apalagi hari ini, ia harus memimpin briefing team finance. Hampir semalaman, Audrey tidak tidur karena mencemaskan operasi Sofia. Audrey berdoa berkali-kali agar sahabat yang disayanginya itu berhasil melewati operasi dengan selamat. Menjelang pukul lima pagi, mata Audrey baru bisa terpejam. Untung saja, ia masih bisa terbangun saat alarmnya berdering pukul 7 pagi. Selesai mandi, Audrey langsung memesan ojek online. Meskipun di rumah Rein ada dua buah mobil beserta supir yang menawarkan diri untuk mengantarkannya, Audrey memilih untuk tidak menggunakan fasilitas itu. Hingga kini Audrey merasa hanya Sofia yang berhak tinggal dan menikmati fasilitas di rumah itu. Dia sendiri adalah seorang tamu yang bertugas menjaga rumah sementara pemiliknya tidak ada. Audrey memeriksa ponselnya sebelum berangkat, berharap ada pesan yang dikirimkan Rein atau Nicko tentang hasil operasi Sofia. Namun tidak ada pesan maupun panggilan telpon yang masuk.
Lift yang padat membuat Audrey harus menunggu untuk bisa sampai ke lantai tiga. Pak Rizal, managernya, dan para staff finance yang sudah bersiap untuk briefing, memandang keheranan ke arah Audrey yang membuka pintu ruangan finance dengan tergesa-gesa. Tidak biasanya supervisor mereka yang disiplin ini datang terlambat. "Selamat pagi, Pak Rizal. Selamat pagi semua. Maaf saya terlambat lima menit," sapa Audrey dengan napas tersengal.
"Pagi Audrey. Silahkan letakkan tasmu dulu, baru kita mulai briefing pagi ini. Kami semua akan menunggumu," kata Pak Rizal menenangkan Audrey.
"Pagi, Mbak Audrey," sapa seluruh staff yang hadir.
Audrey memimpin briefing selama kurang lebih 15 menit. Selesai briefing, Audrey menjatuhkan diri di kursi kerjanya. Ia meminum secangkir teh hangat yang disiapkan office boy untuk mengusir rasa kantuk akibat kurang tidur semalam. Ineke, staf kasir Audrey, menghampiri meja kerjanya dan menyerahkan setumpuk invoice beserta laporan kas mingguan.
"Mbak, silahkan dicek dulu. Saya juga sudah mengirimkan bukti transfer ke semua suplier kita seperti yang Mbak minta Jumat kemarin."
"Oke, makasih, Ineke. Kalau sudah selesai memeriksa aku akan memanggilmu."
"Hm..mbak Audrey, nanti waktu istirahat bisa kita makan siang bersama? Ada yang ingin saya bicarakan dengan mbak," tanya Ineke sedikit gugup.
"Boleh, Ine. Tasya dan Susan ikut juga?"
"Gak mbak, kita berdua saja."
"Oke, nanti tunggu aku di kantin ya."
Ineke mengangguk dan berjalan menuju mejanya. Feeling Audrey mengatakan Ineke ingin mengatakan sesuatu yang penting kepadanya.
Pekerjaan yang tiada habisnya, membuat Audrey hampir lupa jam makan siang. Audrey baru teringat ada janji makan siang dengan Ineke saat mengecek ponselnya. Audrey buru-buru merapikan meja dan mematikan laptop untuk menemui Ineke.
"Sorry, Ine aku terlambat. Kamu sudah lapar karena menungguku ya?"
"Saya sudah pesan nasi goreng dan es jeruk kok Mbak. Mbak mau pesan apa?"
"Aku pesan soto ayam dan teh hangat aja."
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Ineke memberanikan diri mengatakan maksudnya mengajak Audrey makan siang berdua saja.
"Mbak, sebenarnya saya mau mengajukan resign dari kantor."
Audrey terkejut mendengar pernyataan Ineke.
"Kamu mau resign? Memangnya ada apa, Ine? Kamu sudah hampir tiga tahun bekerja di kantor ini. Gajimu juga cukup bagus."
Ineke menjawab dengan wajah merona. "Gak ada masalah apa-apa, Mbak. Saya senang bekerja bersama Mbak, Pak Rizal, dan yang lain. Tapi, saya mau menikah dua bulan lagi. Calon suami saya gak mengijinkan saya bekerja setelah menikah. Katanya dia gak ingin melihat saya kecapekan. Dia yang akan bekerja keras memenuhi semua kebutuhan kami. Saya diminta fokus jadi istri dan ibu dari anak-anak kami nanti."
Audrey tersenyum mendengar jawaban Ineke. "Jadi kamu mau nikah? Gak usah malu, Ine. Aku turut senang karena kamu akan menikahi pria yang bertanggung-jawab dan cinta sama kamu."
"Iya, Mbak," jawab Ineke malu-malu.
"Kalau begitu, aku gak bisa menghalangi niatmu untuk resign. Aku doakan yang terbaik untuk rumah tanggamu nanti. Semoga persiapannya berjalan lancar. Oh, ya, apa kamu sudah mengatakan hal ini kepada Pak Rizal?"
"Belum mbak, nanti setelah selesai jam kantor saya akan menghadap Pak Rizal. Mbak, jangan lupa datang ke resepsi saya ya. Saya pasti akan mengundang Mbak, Pak Rizal dan semua teman finance," kata Ineke bersemangat.
"Pasti Ine," jawab Audrey seraya mengangguk. Undangan dari Ineke mengingatkan Audrey akan pernikahannya sendiri. Sungguh Audrey merasa bersalah karena tidak mengundang satu pun dari rekan kantornya. Bahkan ia terpaksa merahasiakan status pernikahannya dari mereka. Tentu saja, karena pernikahannya bukan pernikahan yang normal bahkan bisa disebut sandiwara yang memalukan. Sedangkan pernikahan Ineke adalah pernikahan yang diidamkan setiap wanita sebagai lambang persatuan dan ikrar sehidup semati antara dua insan yang saling mencintai.
...****************...
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Audrey melihat Ineke sudah bersiap masuk ke ruangan Pak Rizal untuk mengajukan resign. Sementara Audrey masih berkutat dengan laptop dan tumpukan laporan di mejanya. Hari ini dia akan lembur di kantor seperti biasa untuk menyelesaikan pekerjaan. Rasa kantuk yang dirasakannya tadi pagi telah lenyap seiring dengan rutinitasnya.
Kenapa belum ada kabar tentang Sofia. Apa Sofia masih belum sadar pasca operasi?
batin Audrey resah.
Beberapa menit berlalu, Audrey memutuskan untuk menelpon nomor yang dipakai Rein dan Sofia untuk menghubunginya kemarin. Belum sempat Audrey menekan tombol panggilan, tiba-tiba nomor Nicko muncul di layar. Audrey memang sengaja menyimpan nomor ponsel Nicko untuk berjaga-jaga. Tanpa menunggu lama, Audrey segera menerima panggilan itu dan berharap menerima kabar baik dari Nicko.
"Halo, Tuan Nicko. Bagaimana kabar Sofia? Operasi Sofia berhasil khan? Saya baru saja akan menelpon ke nomor yang dipakai Sofia kemarin untuk menghubungi saya."
"Halo, Nona Audrey. Maaf, saya baru bisa memberikan kabar kepada Anda. Sebaiknya Anda jangan menelpon ke nomor itu. Nomor itu milik Tuan Reiner dan beliau tidak akan mengangkatnya."
"Maaf, Tuan Nicko. Saya tau jika saya akan mengganggu Reiner dan Sofia kalau saya nekad menelpon mereka. Tapi saya tidak tenang sebelum mendengar kabar tentang kesehatan Sofia. Apa Sofia masih istirahat pasca operasi?"
"Nona Audrey tenangkan diri Anda. Operasi Nona Sofia sudah selesai sejak siang tadi. Tapi sayang, Nona Sofia tidak bisa bertahan..," ucap Nicko dengan suara bergetar.
"A..apa maksud Anda? Sofia tidak bisa bertahan?"
"Nona Sofia sudah meninggalkan kita semua. Nona Sofia sudah tiada."
"Ti..tidak mungkin, Sofia.." ucap Audrey lirih.
Wajah Audrey berubah pucat. Ponsel yang dipegangnya hampir saja terjatuh dari genggamannya.
Nicko melanjutkan ucapannya, "Nona, saya tau Anda sangat kehilangan. Bukan Anda saja, tapi Tuan Reiner juga sangat terpukul. Saya rasa Nona harus mengikhlaskan kepergian Nona Sofia. Sekarang Nona Sofia sudah tidak merasakan sakit lagi. Jenazah Nona Sofia akan diberangkatkan malam ini juga. Saya harap besok Nona tidak usah masuk ke kantor supaya bisa mengikuti prosesi pemakaman Nona Sofia sampai selesai."
"Baik, Tuan Nicko. Terimakasih Anda sudah mengabari saya," jawab Audrey lemah.
"Sampai ketemu besok, Nona Audrey."
Audrey meletakkan ponselnya dengan tatapan mata kosong. Mendadak pandangannya memudar dan kepalanya berdenyut-denyut. Tasya dan Susan yang sedang berjalan ke meja Audrey untuk berpamitan pulang, langsung berlari menangkap tubuh Audrey yang hampir jatuh pingsan.
"Mbak, duduk dulu. Mbak sakit ya? Ini minum airnya Mbak," kata Tasya menyodorkan segelas air putih kepada Audrey. Sementara Susan sibuk mencari minyak angin untuk dioleskan di dahi Audrey. Para staff yang lain datang mengerumuni Audrey untuk mengetahui kondisi atasan mereka. Pak Rizal yang melihat kerumunan itu, tergesa-gesa keluar dari ruangannya untuk mencari tau apa yang terjadi.
"Ada apa ini? Audrey kamu sakit?" tanya Pak Rizal cemas.
"Saya sudah tidak apa-apa, Pak," kata Audrey yang terlihat masih pucat.
"Pak, besok saya ijin tidak masuk kerja. Saya harus menghadiri pemakaman sahabat saya. Sahabat saya baru saja meninggal tadi siang."
Pak Rizal tampak prihatin melihat kesedihan yang terpancar di wajah Audrey. "Iya, Audrey saya ijinkan. Kamu boleh ijin dua hari supaya bisa istirahat. Saya akan menghandle pekerjaanmu sementara kamu tidak masuk. Saya turut berduka cita untuk sahabatmu."
"Terima kasih, Pak."
Audrey merasa beruntung memiliki manager yang sangat pengertian seperti Pak Rizal.
Sof, kenapa kamu mengingkari janjimu padaku? Kenapa kamu harus pergi secepat ini meninggalkan orang-orang yang mencintai kamu? Seandainya bisa, aku akan minta Tuhan yang membawaku pergi untuk menggantikanmu.
Perasaan Audrey berkecamuk. Ia tidak tau harus berbuat apa selepas kepergian Sofia. Sekarang Audrey hanya pasrah akan nasibnya sendiri dan berusaha mengikhlaskan kepergian sahabat terbaiknya untuk selamanya.
aq lebih lebih & lebih padamu Reiner😍😍😍😍
emak" labil🤣🤣🤣