NovelToon NovelToon
TERPAKSA DINIKAHI PAK DOSEN

TERPAKSA DINIKAHI PAK DOSEN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:14.4k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.

Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.

Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.

Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LIMA

Deru mesin motor yang menghentak kedamaian seketika memecah kesunyian di kediaman keluarga Wijaya. Faza dengan sigap mematikan mesin motor yang dibawanya dan melepas helm yang selama ini menjadi pelindung kepalanya. Rambutnya yang sedikit acak-acakan seolah menambah kadar ketampanannya.

Caca, yang berdiri di depan pintu, menyipitkan matanya, mencoba mencerna situasi. Faza yang seharusnya pulang ke rumahnya, kini malah turun dan mengikuti langkah Caca yang menuju ke dalam rumah."Pak Faza mau ngapain?" tanya Caca dengan nada heran dan setengah khawatir bercampur menjadi satu."Saya mau bertemu dengan orang tua kamu, saya ingin bicara dengan beliau. Bagaimanapun, permasalahan kita ini melibatkan orang tua Caca," jawab Faza dengan nada serius, menatap Caca dengan pandangan tajamnya.

"Tapi Pak..." suara Caca terdengar ragu dan penuh keberatan. Dia tak tahu harus berbuat apa, pertemuan ini jelas di luar ekspektasinya.Faza melangkah maju, memasuki rumah keluarga Wijaya dengan langkah yang mantap, seolah-olah sudah sering berada di sana. Caca, dengan langkah gontai, mengikuti di belakang, hatinya dipenuhi kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Pa, ini Pak Faza dosen Caca," jelas Caca pada Wijaya. Wijaya menyambut Faza dengan sikap dinginnya.

Wijaya menatap Faza dengan tatapan dingin dan meneliti. Sinar matahari yang menembus jendela ruang tamu membuat garis-garis keras pada wajah Wijaya semakin terlihat jelas.

"Silahkan duduk," ujarnya, suaranya tajam dan dingin, seolah menegaskan bahwa ia tidak senang dengan kehadiran Faza di rumahnya.Faza duduk, menjaga jarak yang cukup dari Wijaya. Ia menelan ludah, merasakan ketegangan yang menyelimuti ruangan tersebut.

"Terima kasih, Pak," jawabnya, mencoba mempertahankan ketenangannya.Dari dapur, terdengar suara gerakan Caca yang sibuk membuatkan kopi. Faza menunduk, memainkan jari-jarinya yang berkeringat. Ia sadar bahwa pertemuan ini menentukan banyak hal, terutama reputasinya sebagai dosen.

"Jelaskan pada saya," mulai Wijaya lagi, suaranya meninggi, "kenapa kalian bisa ditangkap warga? Saya mempercayai putri saya, jika putri saya bukanlah gadis yang liar, yang bisa bermalam dengan seorang pria,begitu saja." Matanya menembus langsung ke arah Faza, mencari kejujuran dari pria di hadapanya.Faza mengangguk, mempersiapkan diri untuk menjawab.

"Saya mintak maaf atas kejadian ini Pak.Kejadian yang menimpa kamu adalah sebuah kesalahpahaman, kami hanya sedang numpang berteduh di sebuah gubuk warga, karena kami terjebak hujan dan tak mungkin melanjutkan perjalanan,dengan kondisi jalan jang cukup terjal, karena itu dapat membahayakan keselamatan kami. Namun kami Kami tidak menyadari hal itu akan membangkitkan kesalah pahaman pada, warga."Wijaya mempertajam tatapannya, mendengarkan setiap kata dengan skeptis.

"Saya berharap cerita itu benar, dan memang hanya kesalahpahaman,saja" ujarnya, suara beratnya menggema di ruangan yang sunyi. Wajahnya masih menunjukkan ketidakpercayaan, seolah setiap kata dari Faza harus diuji kebenarannya.

Caca kembali dengan membawa nampan berisi kopi, mencoba meredakan ketegangan. Namun, aroma kopi yang hangat pun seakan tak cukup untuk mengusir ketegangan yang kian mengental di ruangan itu. Faza meraih cangkirnya, tangannya sedikit gemetar. Wijaya memperhatikan itu, mencatat setiap detail, setiap gerak-gerik yang mungkin mengungkap lebih dari yang diucapkan.

"Lalu, apa kalian benar-benar telah menikah?" Suara Wijaya terdengar berat, hampir tak percaya, mengulang pertanyaannya sekali lagi. 

Faza mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri.

"Itu benar, Pak," jawab Faza sambil menundukkan kepala, merasa bersalah.

"Untuk hak itu, saya mohon maaf. Kami sudah menikah, secara agama dan adat setempat." 

Faza tahu kata-katanya mungkin terdengar menggema dalam kepala Wijaya.

Pandangan pria paruh baya itu, terlihat semakin tajam saat Faza mengeluarkan selembar kertas, bukti pernikahan yang ia dapat dari tetua adat yang menikahkan mereka.

Dalam hati, Faza bergulat dengan rasa bersalah dan harap harap cemas, berpikir apakah tindakannya akan dianggap benar atau justru menghancurkan segalanya.

Wijaya lantas mengambil kertas itu dari tangan Faza, kedua alisnya bertaut saat matanya menyapu isi tulisan di sana. Selembar kertas yang bagi Faza tak hanya membawa legitimasi hubungan mereka, tapi juga beban kejujuran yang harus diungkapkan.

Wijaya memandang Faza dengan tatapan tajam dan penuh pertimbangan. Ruang tamu yang biasanya dingin kini semakin dingin dan tegang 

"Jika begitu, saat ini kamu memiliki tanggung jawab penuh atas diri putri saya, Caca. Untuk itu, Caca saya serahkan padamu. Didik dia, jaga dia dengan baik," ujar Wijaya, suaranya berat namun tegas, seraya menyerahkan lembaran kertas itu kepada Faza.

Faza terkejut, atas apa yang diucapkan Wijaya, sungguh itu diluar duganya. Faza pikir, Wijaya akan memakinya, atau memukulnya, karena telah menikahi putrinya dengan cara yang tak lazim.

Lalu terdengar kembali suara Wijaya mendominasi ruang tamu itu.

"Untuk tinggal, kamu bebas menentukan, kamu tinggal di sini, atau bawa Caca kerumahmu, itu terserah saja," ujar Wijaya seakan begitu mudahnya melepaskan putrinya sendiri.

Faza menyipit mencerna ucapan Wijaya yang terkesan, tak peduli dengan keadaan putrinya. "Haa...kenapa seperti ini" batin Faza tak habis pikir, niat Faza yang ingin mengembalikan Caca pada keluarganya, seketika kandas, Faza merasa kasihan pada mahasiswinya itu.

Akhirnya, Faza, dengan rasa hormat dan sedikit gugup, menerima kertas tersebut. Dia menatap lembaran itu, seakan-akan lembaran itu adalah simbol dari tanggung jawab besar yang kini ia pikul. "Baik, Pak. Saya berjanji akan menjaga dan mendidik Caca sebaik mungkin," kata Faza, suaranya penuh dengan ketegasan.Sementara Caca, yang tampak gelisah di ruang tengah, dia tak dapat mendengar apa yang dibicarakan Wijaya dan Faza, Caca terua menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk dari ruang tengah.

Malam telah larut, atmosfer hening hanya dipenuhi dengan desah napas yang berat. Faza mengambil langkah berat, mengumpulkan keberanian untuk meminta Izin membawa Caca.

"Maaf Pak, sudah larut, dan saya ingin Caca tinggal bersama saya," kata Faza, suaranya terbata-bata. Wijaya, dengan ekspresi yang sulit diuraikan, mengangguk pelan. Dia berdiri dengan penuh wibawa, melangkah menuju ruang tengah dengan langkah yang pasti. 

Matanya menatap tajam ke arah Caca.

"Ca, pergilah dengan suamimu. Tinggallah bersamanya, karena saat ini suamimu lebih berhak atas dirimu daripada Papa," ucap Wijaya. 

Caca terguncang, bibirnya bergetar.

"Tapi, Pa... Caca..." ucapnya dengan nada yang patah. Wijaya memotong, suaranya kian mantap, "Ca, ini yang terbaik untukmu." Ucapannya itu seolah memecah harapan Caca, menandai berakhirnya satu bab dalam hidupnya.

 Tanpa menoleh lagi, Wijaya perlahan melangkah meninggalkan mereka, langkahnya gema dalam kesunyian malam, meninggalkan Caca yang berdiri limbung ditemani Faza yang berdiri di sebelahnya.

Caca hanya bisa menatap punggung Wijaya yang semakin menjauh, rasa sakit mendera hatinya. Seketika, ia berlari, jatuh berlutut, dan memeluk erat kaki Wijaya.

"Pa,jangan usir Caca. Caca mohon, biarkan Caca tinggal di sini dengan Papa. Caca tak sanggup meninggalkan Papa seorang diri," suara Caca tercekat, isak tangisnya pecah dalam lirih yang memilukan.

Wijaya, dengan hati yang tertutup, perlahan melepas tangan Caca yang dingin, yang memeluk kakinya.

"Pergilah, hanya dengan itu kamu bisa membuat Papa bahagia," ujarnya, serasa menghunuskan pedang ke jantung putri kecilnya itu.

"Paaa..." teriak Caca, suaranya lantang membelah kesunyian, air matanya mengalir tanpa henti seperti air terjun yang tak terbendung. Faza, yang menyaksikan semua itu merasa iba.

Segala kata Caca ternyata benar; keluarganya tak hanya acuh tak acuh, tetapi juga seolah menolak keberadaannya yang murni dan penuh kasih itu.

"Ca...ayo" ujar Faza,tak tega melihat mahasiswinya yang tampak putus asa itu.

"Pak Faza, tolong... jangan paksa aku pergi sekarang!" Caca bergetar, suaranya tenggelam dalam isakan yang pilu. Air mata berderai dari sudut matanya saat dia menatap Faza, tangan kecilnya mencengkeram pergelangan tangan Faza dengan ketakutan dan rasa tidak rela. 

"Ca, dengarkan saya, kamu ikut dengan saya,kita bicara lagi dengan Papa,setelah amarah Papa mereda," bujuk Faza pada Caca.

"Tapi, Pak. Bagaimana dengan Papa... Siapa yang akan menjaga beliau? Siapa yang akan memenuhi kebutuhan sehari-harinya?jika aku ikut denga Pak Faza," Ucapannya lirih.

Dari balik pintu, Wijaya,terdiam menahan segala rasa yang menghimpit dadanya.

"Maafkan Papa Ca... Kepergianmu akan memberikan kelegaan yang tak terukur bagiku. Itu adalah jalan terbaik bagi kita," gumamnya lirih.

Faza menghela napas dalam, matanya penuh simpati saat dia berusaha menenangkan gadis yang bersedih itu. "Untuk saat ini, biarkan aku membawamu pulang. Soal ayahmu, kita akan mencari jalan keluar yang terbaik. Percayalah padaku," katanya dengan nada yang meyakinkan dan penuh pengertian.

Setelah berpikir dengan berat hati, Caca perlahan melemaskan genggaman tangannya, membiarkan Faza membawanya. Meski ragu, dia memutuskan untuk percaya pada kata-kata pak dosennya.

Saat Faza dan Caca perlahan berjalan meninggalkan kediamannya, Wijaya duduk terdiam, memandangi ruang yang kini terasa sangat kosong. Dia berharap dan berdoa agar keputusan yang dibuatnya pada hari itu adalah keputusan yang terbaik bagi putri terci bungsunya.

1
ana kristianti123
/Angry//Drool/
ana kristianti123: crazy up...
Zizi Pedi: makasih kk
total 2 replies
ana kristianti123
suka sekali ceritany... up yg banyak ya tor
Zizi Pedi: siap kk
total 1 replies
partini
betul sekali pak dosen boleh poligami,,tapi jaman sekarang poligami ga kaya jaman nabi tercinta kita
Yus Tia
bagus banget ceritanya
Zizi Pedi: makasih kk
total 1 replies
Alina Amaliyah
karyanya luar biasa bagus thor,,jd byk bljr sy tentang rumah tangga yg SAMAWA.Lanjut thor
Zizi Pedi: makasih Kk🥰
total 1 replies
Ria Agustina
lanjut tor
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Mercenary of El Dorado
D
Semangat kak author, aku mampir di novelmu kak hihi salam hangat kak🥰🫶🫶
Zizi Pedi: makasi kk🥰
total 1 replies
Narti Narti
lanjut thor aku suka dengan penjelasan faas sangat menyentuh
Zizi Pedi: siap kk🥰
total 1 replies
Ghafari probolinggo
terpaksa dinikahi dosen
Ghafari probolinggo
bagus
Ghafari probolinggo
sangat menyentuh hati
Bubble
Luar biasa
Ria Agustina
lama up ny tor
Zizi Pedi: iya kk, kemaren sibuk di dunia nyata, ujian TAM PPG
total 1 replies
Zizi Pedi
bentar lagi up Kk
Ria Agustina
kapan up ny tor
Zizi Pedi
soap kk
Ria Agustina
upload ny jangan lama2 tor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!