Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32~ KAMU MASIH...?
Sean baru saja akan memejamkan mata kala terdengar suara ketukan di balik pintu kamarnya dengan cukup kencang. Ia pun menyibak selimut lalu turun dari tempat tidur.
"Iya, sebentar," ujarnya sambil berjalan menuju pintu. Sedikit kesal sebab ia sudah mengantuk dan ia merasa terganggu.
"Sean, tolong aku," ucap Cinta setelah Sean membukakan pintu.
"Eh, Cinta. Ada apa, kenapa kamu kelihatan panik gitu?'' tanya Sean.
"Tadi aku telpon Papa Azka dan Papa Azka bilang kalau Vano sudah pulang ke sini. Tapi ini sudah cukup lama dan dia belum sampai juga. Aku juga sudah beberapa kali telpon juga tapi nomornya tidak bisa di hubungi. Aku mau minta tolong antarkan aku untuk mencarinya," ucap Cinta menatap Sean dengan penuh harap.
Sean tampak berpikir sejenak. "Oke deh," ucapnya kemudian. "Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil dulu." Ia pun masuk ke kamar. Tak hanya mengambil kunci mobil, tapi juga mengambil jaket dan membalut tubuhnya yang hanya mengenakan piyama tidur. Setelahnya ia pun keluar menghampiri Cinta.
"Ayo," ajaknya lalu berjalan lebih dulu.
Cinta pun mengikuti Sean. Sepanjang langkah menuju parkiran ia tampak menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Dalam hati berharap, semoga tidak terjadi sesuatu pada suaminya.
Begitu sampai di parkiran, Sean langsung mengeluarkan mobil sementara Cinta menunggu di barrier gate.
Baru saja Cinta akan masuk ke mobil Sean, saat sebuah mobil datang dan parkir dengan asal.
"Sean, itu mobilnya Vano!" seru Cinta. Menutup kembali pintu mobil Sean lalu segera menghampiri mobil suaminya.
Sean pun turun dari mobil dan ikut menghampiri mobil Vano.
Keduanya tampak sedikit terkejut melihat Vano keluar dari mobil dengan tampak sempoyongan.
Cinta dengan cepat menahan tubuh suaminya yang hampir saja terhuyung. Sean pun turut membantu begitu melihat Cinta tak mampu menopang tubuh Vano sendirian.
"Van, kamu kenapa?"
Vano tak menjawab. Ia menatap Sean dengan gerakan mata yang nampak gelisah. "Tolong parkiran mobilku," ujarnya lalu beralih menatap istrinya.
"Cinta, ayo cepat bawa aku ke kamar kita," pintanya terdengar mendesak.
Cinta mengangguk. Ia pun menuntun suaminya masuk ke hotel, sementara Sean kembali memasukkan mobilnya di area parkir lalu memarkir mobil Vano.
Setelah berada di dalam lift. Cinta tersentak ketika Vano tiba-tiba memeluknya dengan erat dan menenggelamkan wajah diceluk lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang, terlebih ia dapat merasakan bibir suaminya itu menempel di kulit lehernya.
"Van, kamu kenapa?" tanya Cinta yang merasa tingkah suaminya sedikit aneh.
Vano tak menjawab meski ia mendengar. Yang dilakukannya hanya memeluk istrinya dengan erat dan mencium aroma tubuhnya. Aroma yang sudah sangat ia hafal, dan berhasil menyelamatkannya.
Begitu lift terbuka, Cinta langsung menutun suaminya menuju kamar mereka dan memintanya untuk berbaring di tempat tidur. Ia pun duduk di sisi suaminya dan menatapnya penuh khawatir.
"Van, sebenarnya kamu kenapa?" tanyanya. Mungkin suaminya sedang tidak enak badan. Tapi kondisinya baik-baik saja saat ia tinggalkan di rumah sakit beberapa waktu lalu.
Vano pun mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap istrinya dalam-dalam. "Honey, badan aku rasanya aneh. Kayak panas dari dalam. Terus... ."
"Terus apa?" tanya Cinta saat suaminya terdiam. Ia menatapnya semakin khawatir. "Apa kamu sedang sakit? Kalau begitu biar aku panggilkan Aidan untuk memeriksa kamu."
"Jangan, gak usah!" Vano menahan lengan istrinya yang hendak berdiri.
"Tapi kamu lagi gak enak badan."
"Enggak, aku gak butuh diperiksa. Yang aku butuhkan cuma kamu," ucap Vano dengan nafas yang semakin memburu.
"Kalau begitu, aku ambilkan minum sebentar." Cinta hendak berdiri, namun tangannya ditarik oleh Vano dan dihempaskan ke tempat tidur. Membuatnya gelagapan dan berdebar. Terlebih, Vano dengan cepat merangkak ke atas tubuhnya.
"Van... ."
"Stttt!" Vano menaruh jari telunjuknya di bibir sang istri.
Cinta semakin gemeter. Tatapan pria yang biasa menatapnya penuh cinta, kini menatapnya bak hidangan lezat yang tak sabar untuk disantap.
"Honey, tolong aku!"
"Iya, tapi aku mohon jangan seperti ini." Cinta menahan dada suaminya.
Vano tersenyum tipis. Merasakan tubuh istrinya gemetar, ia jadi tersadar. Jangan sampai Cinta ketakutan dan semakin trauma.
Ia pun mengubah posisinya menjadi duduk, dan meminta Cinta juga ikut duduk. Mereka saling berhadapan satu sama lain.
"Maaf kalau aku sudah membuat kamu takut." Vano menatap istrinya terlihat waspada. Hampir saja ia kalap dan membuat istrinya mungkin akan semakin trauma.
Ia menggenggam tangan istrinya dengan erat. Mungkin sebaiknya ia ceritakan apa yang sedang terjadi padanya.
"Honey, seseorang berniat mengerjai ku dengan memasukkan obat perangsang ke dalam minuman ku. Sekarang aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diri dan hanya kamu yang bisa menolongku," ucapnya tanpa menyebutkan nama. Tak ingin istrinya terbawa emosi untuk saat ini.
Cinta terbelalak. Ia terkejut sekaligus bingung. Di sisi lain memikirkan kondisi suaminya jika tidak segera mendapat pelepasan. Namun, disisi lain ia juga merasa belum siap.
Dalam sekejap ia tengah berpikir keras. Tak mungkin membiarkan suaminya tersiksa seperti ini yang akan berakibat fatal nantinya. Mungkin sekarang adalah waktunya untuk Vano mengetahui tentangnya.
"Baiklah, aku siap sekarang."
Vano tersenyum. Ia mengusap rambut istrinya lalu mengecup keningnya.
Cinta memejamkan mata. Sudah dua kali ia merasakan hangatnya sentuhan bibir sang suami di keningnya. Pertama setelah ijab kabul dua Minggu lalu. Dan kedua malam ini.
Kala tangan suaminya menyusup di balik pakaiannya, ia semakin berdebar.
"Meskipun sekarang aku sedang dalam pengaruh obat. Tapi aku janji tidak akan menyakitimu. Akan aku buat malam ini menjadi malam terindah bagi kita berdua," bisik Vano.
Cinta membeku. Ia kehilangan kata, yang dapat dilakukannya hanya mengangguk pelan.
Vano membelai wajah istrinya dan menatapnya dengan mata berkabut. Lalu, mendekatkan wajah mereka hingga tak ada lagi jarak yang tersisa.
Udara di sekitar pun terasa berhenti berhembus bagi keduanya ketika penyatuan bibir untuk yang pertama kali. Perlahan, Vano merebahkan tubuh istrinya tanpa melepas tautan bibir mereka.
Meski saat ini hasratnya kian tak tertahankan. Namun, ia tidak ingin terlalu terburu-buru. Ia ingin membuat istrinya terhanyut dalam setiap sentuhannya.
Cinta yang awalnya merasa sangat tegang. Perlahan rileks dan terlena oleh setiap sentuhan yang diberikan suaminya. Ia sampai tak sadar mengeluarkan suara manja nan syahdu yang membuat Vano semakin tak terkendali.
Malam pun menjadi saksi. Tirai tirai kamar pun bergerak seirama dengan hembusan mesin pendingin ruangan.
Cinta sedikit meringis ketika Vano berhasil menembus dinding pertahanannya.
Vano pun tersentak. Ia berhenti sejenak dan menatap istrinya dengan lekat sembari mengusap lelehan air mata yang mengalir dari sudut mata sang istri.
"Kamu masih...?"
Waduh Vano mau ngomongin apa nih sama papa Haris apa soal Cinta yang sudah mendonorkan darahnya buat Indri 🫢🫢🫢
Van mau kamu apain mertua kamu