"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Salma melirik seraya tersenyum penuh maksud tersembunyi lalu menjawab. "Sebelum aku membantumu untuk kabur dari penjara ini, sebaiknya kamu mengambil sesuatu terlebih dahulu di ruang penyimpanan harta istana ini!"
Lingga menyipitkan kedua matanya penasaran. "Ha? Ruang harta? Ngambil sesuatu?"
Salma mengangguk lalu mendekatkan wajahnya pada Lingga. "Benar... di ruang harta, ada sebuah pedang pusaka yang mungkin bisa membantumu bertahan hidup di dunia ini. Yah... anggap saja sebagai senjata perlindungan jika kamu berada dalam kondisi yang tak memungkinkan."
"Apa maksudmu?"
Kedua mata Salma tiba-tiba melotot. "Ah! Gunakan otakmu, Lingga! Coba pikir, jika kamu berhasil kabur dari istana ini, Kadita pasti murka dan berusaha untuk menangkapmu kembali. Sampai saat itu tiba, keadaanmu pasti terancam dan kehidupanmu menjadi tak tenang! Kau perlu senjata untuk melindungi dirimu!"
Lingga menghela nafas panjang sembari memandangi cincin yang ia kenakan. "Ah, sebenarnya aku tak memerlukan pedang atau senjata... aku sudah mempunyai cin—"
Belum sempat Lingga menyelesaikan kalimatnya, Salma buru-buru menarik lengan Lingga. "Sudah, jangan banyak protes! Ayo ikut aku!"
"Ha? Sekarang?" tanya Lingga seraya menarik diri dan berusaha bangkit.
"Tahun depan!" jawab Salma acuh. "Ya sekaranglah! Ayo!" serunya.
"Lah, ini pintu penjaranya masih terkunci?!"
"Bodoh! Lihat ini!" sahut Salma seraya mengarahkan ujung telunjuknya ke arah lubang kunci pada penjara besi tersebut. Sebuah cahaya sekilas berpendar dan menyusup masuk ke dalam lubang tersebut.
Cklek!
"Segampang itu?" tanya Lingga heran.
Salma tersenyum dengan ekspresi sedikit congkak. "Nah, kamu bisa lihat sendiri, 'kan? Kamu sudah bebas sekarang."
Lingga tersenyum sumringah. "Makasih yah, Salma! Terus, kita ke mana sekarang? Ke ruang harta seperti yang kamu bilang tadi?"
Salma mengangguk dengan wajah serius. "Benar! Ayo kita ke sana!"
Lingga mengangguk sesaat sebelum mulai berjalan meninggalkan lingkungan penjara yang gelap dan pengap ini. Mata Lingga menatap beberapa sel kosong dengan bercak hitam kering di sepanjang dinding. Baunya begitu anyir. Namun, Lingga tak memperdulikan hal itu. Ia tetap fokus mempercepat langkah dan berlari sekencang mungkin agar dapat segera keluar dari tempat suram ini.
Drap, drap, drap!
"Hei, Lingga! Pelankan suara langkahmu! Nanti ada penjaga yang menyadari keberadaan kita!" seru Salma dalam bisikan, matanya melotot ke arah Lingga dengan tajam.
"Duh, iya-iya. Bawel banget!" dengus Lingga mulai memperlambat langkah kakinya menembus gelapnya lorong istana. "Lagian, meskipun ketahuan pun, mereka kan nggak bisa lihat kamu?"
"Eh... iya juga ya," sahut Salma dengan tawa yang dipaksakan.
Lingga mengendap-endap melewati lorong dengan dinding batu yang nampak tak berujung. Sementara Salma terbang di samping Lingga dengan sorot mata memandang ke sekeliling begitu waspada. Hingga mereka berdua sampai di ujung lorong dengan anak tangga sempit menuju ke bawah.
"Hei, Salma. Apa di bawah situ?"
Salma mengangguk pelan. "Benar, Lingga. Ayo kita coba turun."
Lingga menghela nafas panjang lalu mulai berjalan menuruni anak tangga yang nampak remuk di beberapa bagian. Dengan tangan yang menempel pada dinding, Lingga menyusuri anak tangga itu dengan penuh rasa kehati-hatian. Sementara Salma terbang di belakang Lingga. Ia merasakan hawa tak enak mulai menyusupi tubuhnya yang transparan.
"Lingga... apa kamu merasakan hawa yang tidak enak tiba-tiba muncul?" tanya Salma dengan bergumam lirih.
Lingga menoleh sesaat lalu menyahut. "Iya, aku juga merasakannya. Tapi, apa sebelumnya kamu nggak pernah ngerasain hal kayak gini? Secara kamu kan sudah lama berada di sini?!" jawab Lingga dengan heran.
"Iya, sih... tapi, baru kali ini aku merasakan hawanya semakin mencekam dan seolah tekanan udara semakin berat. Entah apa yang akan terjadi," sahut Salma masih dengan perasaan ragu dan waspada. "Semoga saja tidak terjadi apa-apa di sana..."
Lingga mencibir kecut. "Jangan malah nakut-nakutin dong! Kita udah terlanjur turun nih."
"Eh, di sana, Lingga! Itu pintu ruang hartanya!" seru Salma tiba-tiba tanpa merespon ucapan Lingga sebelumnya.
Lingga menyipitkan kedua matanya saat mendapati sebuah pintu besar dengan ukiran keemasan yang terbuat dari logam yang nampaknya sejenis besi atau baja. Lingga menoleh ke arah Salma dengan tatapan sinis. "Hei, kamu becanda? Gimana caranya aku buka pintu segede itu? Dari besi pula...!"
Salma mencibir seraya melirik ke arah Lingga dengan ekspresi sedikit congkak. "Hei! Memangnya aku menyuruh kamu untuk mendorong pintunya dengan kedua tanganmu yang kurus itu?"
Lingga mengernyit tak paham dengan maksud roh berwujud gadis cantik itu. "Enak aja! Gini-gini aku bisa mukul kamu sampai tembus tembok tau!" sangkalnya tak mau kalah. "Eh, jelasin apa maksud ucapanmu?"
Salma melayang perlahan mendekati pintu berwarna emas dan kelabu itu tanpa langsung menjawab pertanyaan Lingga. Lingga yang semakin bingung lantas hanya bisa mengikuti Salma ke arah pintu tersebut. Salma menoleh dengan wajah serius, lalu menunjuk sebuah lubang berbentuk lingkaran di tengah pintu.
"Coba kamu masukkan tanganmu ke dalam lubang itu dan alirkan energi chakramu."
"Emang bisa? Semudah itu?" tanya Lingga belum yakin.
"Sudah! Jangan banyak komplain. Coba saja dulu. Siapa tahu bisa!"
Lingga menghela nafas, lalu mencoba memasukkan tangan kanannya ke dalam lubang tersebut. Ia mulai memejamkan mata dan memfokuskan pikirannya berusaha mengeluarkan energi chakra dari dalam tubuhnya. Namun, nampaknya usaha itu sia-sia. Tak ada yang terjadi.
"Urgh...! Ayolah... muncul!" geram Lingga dengan keringat yang mulai mengucur.
Salma mengernyitkan dahi lalu bertanya. "Lingga? Kamu tidak bisa mengeluarkan energi chakra?"
Lingga terkekeh dengan ekspresi seolah tak berdosa. "Eh... hehe. Gimana sih caranya?"
"Astaga...!" Salma menepuk jidatnya dengan ekspresi kecewa. "Sekarang coba kamu pejamkan mata."
"Tadi aku juga udah merem, Salma. Tapi, nggak ada efek apa-apa!" sangkal Lingga dengan ekspresi bingung.
"Jangan banyak mulut! Dengarkan arahanku!" bentak Salma hampir kehilangan kesabaran.
"Duh, cantik-cantik tapi judes!" gumam Lingga lirih.
"Sekarang... tarik nafas panjang, lalu hembuskan lewat mulut dan mulai imajinasikan sebuah energi berkumpul di jantungmu. Semakin lama semakin terkumpul. Lalu bayangkan energi itu mulai mengalir di nadimu seperti aliran darah. Fokuskan pikiranmu, jangan terganggu oleh pikiran yang lain. Tak usah terburu, biarkan energi itu mengalir perlahan ke arah tangan kananmu."
Lingga mulai menuruti apa ucapan dari Salma. Benar saja, semakin ia fokus, semakin ia merasakan sebuah energi yang secara ajaib mengalir mengikuti desiran darah di nadinya. Energi itu awalnya terasa samar. Namun, ia mengimbanginya dengan imajinasi dan tarikan nafas yang teratur, membuat energi yang disebut chakra itu menyebar di sekujur tubuhnya. Lingga pun dengan susah payah mengarahkan energi itu di telapak tangannya yang masih berada di dalam lubang pintu besi tersebut.
"Salma, aku merasakannya!" gumam Lingga masih memejamkan mata.
"Bagus, Lingga! Teruskan!"
Wush!
Sebuah cahaya keunguan yang tak begitu terang tiba-tiba berpendar dari dalam lubang. Nampaknya Lingga telah berhasil mengeluarkan energi chakra-nya sendiri. Nampak raut wajah Salma berbinar dengan senyum yang tersungging begitu lega.
"Kamu berhasil, Lingga!"
"Ah, i-iya, Salma..."
Grdk!
Pintu besar yang nampak cukup berat untuk dibuka dengan tangan itu berderit perlahan. Lingga menarik tangannya keluar dan melihat pintu itu terbuka semakin lama semakin lebar. Mereka berdua sempat tertegun saat proses tersebut. Namun, Lingga merasa ada yang aneh. Ia merasa tubuhnya mendadak lemas karena tekanan energi yang menyeruak dari dalam ruangan yang baru saja terbuka itu.
Salma buru-buru berteriak ke arah Lingga. "Ayo masuk, Lingga!"
Lingga merintih, merasakan seluruh tubuhnya bergetar. "Urgh... tapi, rasanya energi yang keluar dari dalam ruangan ini membuat tubuhku lemas."
"Tahan dulu, Lingga. Ayo kita periksa!" sahut Salma menggebu-gebu.
***