Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
POV Raka
.
.
Aku berdiri di ambang pintu, menyaksikan pemandangan yang membuat hatiku seperti diremas. Pandu duduk di samping Gendhis, memperlakukannya seolah dia adalah seseorang yang begitu berarti. Tangannya sibuk merapikan selimut Gendhis, sementara senyum kecilnya seakan ingin menegaskan bahwa dia ada di sana untuk menggantikan posisiku.
Aku mengepalkan tangan, mencoba menahan rasa panas di dadaku. Dua bulan tanpa Gendhis sudah cukup membuatku kehilangan arah, dan kini, aku harus menghadapi kenyataan bahwa ada pria lain yang begitu perhatian padanya.
Aku menyadari bila aku tidak pantas menerima maaf dengan mudah karena hal yang aku lakukan memang membuat seseorang muak padaku. Akan tetapi, aku masih merupakan suami Gendhis. Aku berhak mempertahankan wanita itu di sisiku.
"Permisi," suaraku terdengar lebih dingin dari yang aku maksudkan.
Gendhis langsung menoleh. Mata kami bertemu, dan ada sekelebat emosi di wajahnya—terkejut, mungkin sedikit canggung. “Raka?”
Fajar menoleh dengan santai. Senyumnya tetap terpasang, tetapi ada kilatan aneh di matanya. “Oh, Raka. Aku nggak tahu kamu ada di sini.”
“Aku baru datang,” jawabku singkat.
Aku melangkah masuk, mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman yang menggerogoti dadaku. Fokusku hanya pada Gendhis, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik Fajar yang masih berdiri terlalu dekat dengannya.
“Kalau begitu, aku nggak mau mengganggu,” kata Fajar dengan nada sopan, meskipun aku bisa merasakan nada kemenangan di balik kata-katanya. Dia menatap Gendhis dengan senyum lembut. “Aku akan datang lagi nanti, Gendhis. Kalau butuh apa-apa, jangan ragu untuk hubungi aku, ya.”
Gendhis hanya mengangguk pelan. “Terima kasih, Fajar.”
Senyuman itu. Cara dia menatap Gendhis. Semua itu seperti menusukku dari dalam. Aku mengepalkan tangan lebih erat, tetapi tetap berusaha menjaga ketenanganku.
Aku mengerti perbedaan seorang pria yang tertarik dengan wanita atau yang menganggap hanya sebatas teman. Pandangan Fajar pada wanitaku ini sangat berbeda. Aku tidak bisa mengenyahkan rasa khawatir yang tiba-tiba timbul menghantuiku.
Pandu akhirnya keluar dari ruangan, dan aku mendekat ke sisi tempat tidur Gendhis. Aku melihat wajahnya yang masih terlihat lelah, tetapi ada sedikit warna yang kembali ke pipinya. Itu seharusnya membuatku lega, tetapi pikiranku terus kembali ke Fajar.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku, berusaha menjaga suaraku tetap tenang.
Dia mengangguk pelan. “Aku sudah lebih baik. Dokter bilang aku hanya kelelahan. Kamu tidak perlu khawatir. Lebih baik, kamu kembali saja ke Jakarta.”
Aku menggeleng. "Tidak, aku tidak akan kembali ke Jakarta sendirian. Aku harus membawamu ikut serta," ucapku tanpa ditanggapi oleh Gendhis.
Aku ingin bertanya lebih banyak—tentang kesehatannya, tentang bagaimana dia bisa berada di sini. Tetapi, lebih dari itu, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Fajar. Namun, aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Jadi, aku menahan diri.
Pun dalam hatiku, aku yakin bila Gendhis harus memikirkan dengan cermat tentang permintaanku yang ingin membawanya kembali ke Jakarta. Semua harus aku tahan, aku harus menunggu lebih sabar. Ingat bahwa Gendhis telah bertahan selama dua tahun di sampingku.
Beberapa jam kemudian, pikiran tentang Fajar terus menghantui. Setiap kali aku mengingat bagaimana dia melihat Gendhis, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dari genggamanku.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku hanya duduk di kursi sebelah tempat tidur Gendhis, mencoba mencari alasan yang masuk akal untuk kedekatan mereka. Fajar adalah teman Ayu, tetapi jelas dia memiliki perhatian yang lebih dari sekadar teman.
"Pulanglah, istirahat di tempatmu menginap. Tidak baik tidur di rumah sakit," ucap Gendhis.
"Aku akan menjagamu, kuharap kamu tidak keberatan akan hal itu," balasku.
"Terserah kamu sajalah," tukas Gendhis kemudian kembali tertidur.
Keesokan harinya, aku masih berada di rumah sakit. Ketika dokter mengunjungi ruang rawat, aku tahu Gendhis membutuhkan waktu untuk pulih. Aku bersyukur atas hal itu karena berarti kondisi anakku pun baik-baik saja.
Akan tetapi, ada sesuatu yang harus aku tanyakan padanya. Aku mendekat dan duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Aku menatapnya, mencoba mencari cara untuk memulai pembicaraan ini tanpa membuatnya merasa tertekan.
“Gendhis, aku perlu bertanya sesuatu,” kataku akhirnya.
Dia mengerutkan kening. “Tanya apa?”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku. “Apa hubunganmu dengan Fajar?”
Alisnya berkerut bingung dengan pertanyaanku. Menurutku, itu adalah hal yang wajar menanyakan hubungan Gendhis dengan Pandu. Bukankah mereka cukup dekat?
Ingin rasanya berterus terang kalau aku cemburu dan cemas dengan kehadiran Fajar. Hanya saja, aku takut bila hal itu menjadi bumerang dan malah mengancam pernikahan kami.
"Memangnya, menurutmu bagaimana hubungan kami?" Tidak menjawab pertanyaanku, Gendhis memilih balik bertanya yang membuatku semakin takut kehilangan wanita itu.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca ❣️
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..