Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.
Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.
"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."
Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Kai menatapnya tajam, kedua tangannya mengepal di atas meja. "Duduk." Perintahnya singkat, suaranya rendah tapi penuh tekanan.
Eka tetap berdiri. Refleks lama menahannya, membuatnya enggan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaannya selama ini. "Tapi—"
"Duduk, Eka." Suaranya lebih pelan kali ini, tapi justru terdengar lebih berbahaya.
Eka menggigit bibirnya sebelum akhirnya menarik kursi dengan ragu. Ia duduk, tapi kegelisahannya belum hilang. Situasi ini aneh—Kai, pria yang seharusnya hanya menganggapnya mainan sementara, kini malah memberinya tempat di meja, seakan-akan ia sudah menjadi satu keluarga.
"Aku minta maaf, bukan maksudku membuatmu marah, tapi aku sudah terbiasa seperti itu sebelumnya," papar Eka.
Kai mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Eka, tapi tidak langsung bicara. Ia mengambil sendok dan mulai makan seperti biasa, seolah insiden tadi tak pernah terjadi. Sementara itu, Eka masih tegang, diam-diam mengawasi setiap gerakannya.
"Apa mereka memperlakukanmu seperti itu?" Akhirnya Kai bersuara, namun tatapannya tetap fokus pada makanannya.
Jari-jari Eka mengepal di bawah meja. "Bukan begitu... Aku hanya... sudah terbiasa."
Kai mendengus, terdengar pendek dan tajam. "Kebiasaanmu itu menjijikkan. Dan jangan bawa sampai ke sini."
Eka tersentak. Bukan karena kata-katanya, tapi caranya mengatakannya—dingin, namun dengan kemarahan yang terkendali. Bukan hinaan, tapi kekecewaan. Seakan Kai benar-benar muak dengan kenyataan bahwa seseorang pernah memperlakukannya seperti itu.
Ia menggigit bibir, tidak tahu harus merasa tersinggung... atau merasakan sesuatu yang lain.
Kai akhirnya meletakkan sendoknya dan menatap langsung ke arahnya. "Mulai sekarang, kamu makan saat aku makan. Dan kamu tidak perlu menunggu perintah hanya untuk menyentuh makananmu sendiri."
Eka terdiam. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi dampaknya jauh lebih dalam dari yang seharusnya. Seolah Kai ingin mengubah sesuatu dalam dirinya—sesuatu yang sudah lama terpatri dan membuatnya percaya bahwa ia harus selalu patuh, selalu menunggu izin.
Kai menaikkan alis, menunggu respons. "Mengerti?"
Eka mengangguk pelan. "Iya... Tapi apa maksudmu bertingkah seperti ini?"
Kai menyuapkan makanannya tanpa ekspresi. "Bukankah kamu mau jadi calon istriku?" gumamnya.
Eka mengerjap. "Apa kamu sudah menerimaku?" Suaranya mengandung skeptisisme. Semudah itu menaklukkan lelaki yang katanya dingin dan kejam?
Kai mendongak sedikit, menatapnya sekilas. "Berisik!"
Percakapan itu berakhir begitu saja. Mereka melanjutkan sarapan dalam keheningan, hanya suara denting sendok yang terdengar di antara mereka—sampai ponsel Eka berdering nyaring.
Kai melirik ke arahnya, lalu tanpa sadar mengerutkan kening saat melihat ponsel itu, retak disetiap sudut.
Bukankah dia istri keluarga Wirawan? pikir Kai. Keluarga itu memang tidak sekaya dirinya, tapi setidaknya mereka bisa membelikan satu toko ponsel jika mau.
Pikirannya terhenti ketika ia mendengar suara Eka menjawab panggilan itu.
"Aku di rumah milik bos kekasihmu."
Kai menajamkan tatapannya.
Di seberang sana, Ita terdengar terkejut. "Kamu masih dalam keadaan utuh, kan? Tidak kurang satu pun?"
Eka melirik sekilas ke arah Kai yang kini menatapnya dengan penuh minat. "Aku baik-baik saja."
Ita menghela napas lega. "Hari ini kamu jadi ke rumah keluarga Wirawan?"
"Hmm... Kenapa?"
"Hari ini aku sudah keluar dari rumah sakit. Aku bisa menemanimu."
Eka menggeleng kecil, meskipun Ita tak bisa melihatnya. "Gak perlu, Ta. Aku bisa sendiri. Lebih baik kamu istirahat. Nanti kunci apartemenmu aku titipkan ke satpam."
"Kamu yakin?"
"Iya." Eka langsung mematikan sambungan tanpa menunggu jawaban Ita, merasa tidak nyaman karena Kai terus memperhatikannya.
Kai menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya penuh arti. "Apa kamu punya masalah?"
Eka menggeleng cepat. "Tidak. Tapi aku harus pergi sekarang."
Kai tidak langsung menanggapinya, hanya menatapnya lebih lama dari biasanya. Eka tahu, ia tidak bisa terus menyembunyikan semuanya dari pria ini. Tapi sampai keputusan Kai jelas—atau setidaknya sampai ia benar-benar memiliki status yang sah—ia tidak akan mengakui apa pun.
***
Sesuai rencananya, Eka kini sudah berdiri di beranda rumah keluarga Wirawan. Napasnya sedikit tertahan saat menatap pintu besar di depannya. Kedatangannya kali ini bukan sekadar kunjungan biasa—ia harus mendapatkan kejelasan.
Apakah pernikahannya dengan Adit sah secara agama dan hukum? Atau hanya sah di mata agama saja?
Jemarinya baru akan mengetuk pintu ketika daun pintu itu terbuka lebih dulu.
Sosok Yuni muncul di ambang pintu. Tapi berbeda dari biasanya. Wanita yang dulu selalu tampil seperti sosialita dengan gaya hidup hedon kini tampak jauh dari itu—rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah, dan pakaian yang dikenakannya tidak mencerminkan kemewahan seperti dulu.
Sejenak, Eka hanya bisa memandangnya, menyadari perbedaan mencolok di antara mereka.
"Kamu kembali juga," suara Yuni terdengar sinis, matanya menelusuri Eka dari atas ke bawah. "Sekarang urus rumah ini!"
Eka mengangkat alis, menatapnya tanpa ekspresi. "Kenapa aku harus mengurusnya?"
Yuni menyilangkan tangan di depan dada, bibirnya melengkung dalam seringai penuh kepahitan. "Kamu masih menyukai anakku, kan? Aku bisa membantumu dekat dengannya. Tapi sebagai gantinya, kamu harus segera mengurus rumah ini. Termasuk nenek."
Eka terkekeh pelan, tapi bukan karena lucu. Lebih kepada ironis. Jika perkataan itu dilontarkan Yuni beberapa hari yang lalu tentu saja ia akan segera menyanggupi semua keinginan Yuni, tapi sekarang? Apa mantan mertuanya itu lupa apa yang sudah terjadi kemarin, yang secara terang-terangan mengusirnya dan memilih Nadin sebagai mantunya?.
"Jadi ini maksudmu? Menukar perasaanku dengan kewajiban mengurus rumah tangga kalian?"
Yuni mengangkat bahu. "Kamu sendiri yang membiarkan dirimu tetap berada di sekitar Adit, Eka. Aku hanya menawarkan jalan yang menguntungkan kita berdua."
Eka mengepalkan tangannya. Dulu, mungkin aku akan menunduk dan menerima ini begitu saja. Tapi sekarang? Tidak lagi.
Ia melangkah mendekat, menatap Yuni langsung di mata. "Aku datang ke sini bukan untuk jadi pembantu kalian lagi. Aku hanya ingin satu hal—kepastian. Pernikahan itu, sah atau tidak?"
Wajah Yuni menegang sejenak, tapi dengan cepat ia kembali menyeringai. "Itu bukan urusanmu lagi, Eka. Sudah terlambat untuk menuntut sesuatu yang bahkan dari awal tidak pernah benar-benar menjadi milikmu."
Hati Eka mencelos. Ada sesuatu di balik kata-kata Yuni, sesuatu yang membuat dadanya tiba-tiba terasa berat.
"Jadi... memang tidak sah, kan?" suaranya hampir berbisik, tapi matanya tetap tajam menuntut jawaban.
Yuni mendengus. "Kamu pikir sendiri."
Eka terdiam, tapi detik berikutnya, sebelum Yuni sempat menutup pintu, ia menyelipkan kakinya di antara celahnya. "Aku ingin bicara dengan Adit."
Yuni menatapnya tajam, lalu mendesah panjang sebelum melangkah mundur, membiarkan Eka masuk. "Mau bicara dengan anakku? boleh saja, tapi kamu harus melakukan apa yang aku mau. Jadi pembantu di rumah ini."
Eka menahan napas, tangannya mengepal kuat, haruskah ia tunduk lagi hanya untuk sebuah kepastian?