Sinopsis "Alien Dari Langit"
Zack adalah makhluk luar angkasa yang telah hidup selama ratusan tahun. Ia telah berkali-kali mengganti identitasnya untuk beradaptasi dengan dunia manusia. Kini, ia menjalani kehidupan sebagai seorang dokter muda berbakat berusia 28 tahun di sebuah rumah sakit ternama.
Namun, kehidupannya yang tenang berubah ketika ia bertemu dengan seorang pasien—seorang gadis kelas 3 SMA yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Gadis itu, yang awalnya hanya pasien biasa, mulai tertarik pada Zack. Dengan caranya sendiri, ia berusaha mendekati dokter misterius itu, tanpa mengetahui rahasia besar yang tersembunyi di balik sosok pria tampan tersebut.
Sementara itu, Zack mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—ketertarikan yang berbeda terhadap manusia. Di antara batas identitasnya sebagai makhluk luar angkasa dan kehidupan fana di bumi, Zack dihadapkan pada pilihan sulit: tetap menjalani perannya sebagai manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MZI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Apakah Aku Sudah Mulai Gila
Elly duduk di tempat tidurnya, memeluk bantal dengan erat. Ia menatap langit-langit kamarnya, matanya berbinar penuh kebingungan. Sudah lebih dari setengah jam sejak ia berusaha tidur, tapi tidak ada tanda-tanda kantuk sama sekali.
Sebaliknya, ia malah senyum-senyum sendiri, mengingat kejadian hari ini.
"Kenapa aku malah begini?!"
Elly menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menutupi pipinya yang mulai terasa panas. Ia berguling ke kanan, lalu ke kiri, tapi pikirannya tetap dipenuhi dengan satu sosok: Zack.
"Tidak, aku nggak boleh begini. Ini memalukan!" katanya pelan.
Tapi, semakin ia menolak, semakin jelas bayangan Zack di kepalanya. Suaranya yang dalam, tatapannya yang tajam tapi lembut, senyumannya yang seolah selalu menyimpan sesuatu di baliknya…
Elly kembali tersenyum tanpa sadar. Ia menggigit bibir, berusaha menghentikan dirinya, tapi senyuman itu terus muncul lagi dan lagi.
Ia mengulurkan tangan, mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Jemarinya gemetar saat membuka aplikasi pesan.
Zack: Sudah sampai rumah dengan selamat. Jangan lupa tidur, anak kecil.
Membaca pesan itu, Elly langsung menjerit kecil, menggulingkan tubuhnya ke sisi lain tempat tidur.
"Apa-apaan itu?! Kenapa aku jadi deg-degan?!"
Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, lalu menghapus lagi. Tidak ada satu pun kata yang terasa cocok.
"Anak kecil? Dia masih berani manggil aku anak kecil?! Zack, kau pikir aku ini apa?! Tapi… ya ampun, aku malah senang dia perhatian…"
Elly menekan wajahnya ke bantal, menendang-nendang kasurnya dengan frustrasi. Jam sudah menunjukkan pukul 22.10, tapi ia masih bertengkar dengan pikirannya sendiri.
"Apa Zack benar-benar serius? Apa aku juga… menyukainya?"
Sebuah senyuman kecil kembali muncul di wajahnya. Hatinya terasa hangat, seolah ada sesuatu yang berkembang di dalamnya, meskipun ia masih terlalu malu untuk mengakuinya.
Malam ini, tidur jelas bukan pilihan.
---
Elly masih terus menggulingkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Pipinya terasa panas, senyum di bibirnya tidak bisa hilang, dan pikirannya penuh dengan kejadian hari ini.
Namun, di sudut ruangan, ada sepasang mata bulat yang sejak tadi mengamati majikannya dengan penuh kebingungan.
Seekor kucing berbulu putih dengan ekor berbintik abu-abu, yang sudah menemani Elly sejak kecil, kini duduk di atas meja belajar, menatap tuannya dengan ekspresi bingung. Telinganya bergerak-gerak setiap kali Elly menggumam sendiri.
"Miawww?"
Elly langsung menoleh saat mendengar suara itu. Matanya bertemu dengan tatapan penuh keheranan dari si kucing.
"Kamu kenapa liatin aku kayak gitu?" Elly mengerucutkan bibirnya.
Kucingnya tidak menjawab, tentu saja, tapi tatapannya seolah berkata: Kau kenapa sih? Kenapa senyum-senyum sendiri kayak orang gila?
Elly mendesah panjang. "Aku tidak gila! Aku cuma... yaa, entahlah!"
Ia kembali menenggelamkan wajahnya di bantal.
Si kucing tetap menatapnya. Lalu, dengan langkah pelan, ia turun dari meja dan naik ke tempat tidur Elly, mendekatkan wajahnya ke wajah majikannya.
"Miaw?"
"Aduh! Jangan lihat aku kayak gitu! Aku jadi makin malu!" Elly menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Kucingnya hanya berkedip sekali, lalu tanpa basa-basi naik ke atas perut Elly dan duduk di sana.
"Uhuk! Aduh, berat!" Elly berusaha mendorongnya, tapi si kucing tetap duduk dengan nyaman, seolah berkata: Kamu ini lebay banget. Udah tidur aja!
Elly menghela napas pasrah. "Iya, iya, aku akan tidur!"
Tapi, meski matanya terpejam, pikirannya masih tetap penuh dengan Zack.
Si kucing akhirnya ikut merebahkan diri di atas Elly, menutup matanya. Tapi sebelum tidur, ia masih sempat berpikir: Manusia memang makhluk yang aneh!
---
Jam sudah menunjukkan pukul 23.20, tetapi Elly masih belum bisa tidur. Ia terus menggeliat di kasurnya sambil memeluk bantal erat-erat, pikirannya penuh dengan satu nama—Zack.
Si kucing yang awalnya sudah nyaman tidur di atas perutnya kini mulai terganggu. Telinganya bergerak-gerak setiap kali Elly menghela napas panjang atau menggumam sendiri.
Elly menatap langit-langit kamar, lalu mengelus kepala si kucing. "Hei, menurutmu Zack itu beneran suka aku nggak sih?"
Si kucing membuka matanya, menatap Elly dengan ekspresi datar.
"Kamu diam aja? Artinya iya?"
"Miaw."
"Eh? Kenapa kayaknya kamu ngomong 'iya'?" Elly tertawa kecil, lalu kembali mengacak-acak bulu kucingnya.
Si kucing mulai terlihat kesal. Ia sudah ingin tidur, tetapi majikannya malah terus berbicara.
"Kalau dia suka, trus aku harus gimana dong? Aku masih SMA, masa udah jatuh cinta?" Elly mendesah, lalu tiba-tiba bangkit duduk, membuat si kucing yang tadinya masih di perutnya terjatuh ke samping.
Si kucing mendelik, lalu bangkit dengan gerakan lambat. Matanya memicing, ekspresinya seolah berkata: Kamu ini kenapa sih?! Bisa diem nggak?!
Tapi Elly tetap saja mengajak bicara. "Atau jangan-jangan, aku yang suka duluan? Tapi nggak mungkin kan?! Aku kan cuma... yaaa, aku cuma suka ngobrol sama dia..."
Si kucing memicingkan matanya lebih tajam. Ekornya kini bergerak naik turun, tanda ia mulai kesal maksimal.
"Eh, tapi kalau aku ingat senyumnya tadi... aku jadi—"
"MIAWWWW!!!"
Elly kaget setengah mati. "I-Iya, iya, aku diem!"
Si kucing melompat naik ke meja belajar, lalu duduk dengan tatapan super kesal. Ia seolah berkata: Kalau kamu nggak mau tidur, aku aja yang ninju kamu!
Elly menggigit bibir, berusaha menahan tawa. "Oke, oke, aku tidur sekarang. Kamu jangan marah gitu dong."
Tapi si kucing tetap menatapnya tajam, seperti bos yang kecewa dengan bawahannya.
Elly akhirnya menarik selimut dan memaksa dirinya memejamkan mata. "Selamat tidur, Bos Kucing..."
Si kucing mendengus kecil, lalu akhirnya kembali merebahkan diri di atas kasur.
Namun, meskipun matanya terpejam, Elly masih merasakan sensasi aneh di dadanya. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Dan ia tahu, penyebabnya adalah Zack.
---
Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 malam, tapi Elly masih belum tidur juga. Ia terus menggeliat di tempat tidurnya, berguling ke kanan dan ke kiri, sesekali menutupi wajahnya dengan bantal, lalu membuka lagi.
"Kenapa aku nggak bisa tidur sih?!" gerutunya pelan.
Sementara itu, si kucing yang sudah sangat frustrasi, duduk di ujung kasur dengan ekspresi pasrah.
Elly, yang masih saja tenggelam dalam pikirannya tentang Zack, menoleh ke arah si kucing dan tersenyum. "Hei, kamu tau nggak, aku tadi jalan bareng Zack? Kayak kencan gitu! Ihhh, aku malu sendiri!"
Si kucing memejamkan mata, mencoba mengabaikan majikannya yang makin lama makin tidak waras.
"Dan kamu tau nggak? Pas di mobil, aku dan dia duduk di kursi belakang berdua aja!" Elly menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, tubuhnya menggeliat seperti ulat kepanasan.
Si kucing akhirnya membuka mata dengan kesal.
"Terus... terus, pas aku makan, dia tuh perhatiin aku terus! Haaah, Zack kenapa sih?! Aku jadi deg-degan gini!"
Si kucing akhirnya melompat turun dari kasur, lalu berjalan ke arah pintu kamar dengan tatapan penuh harap. Ia duduk di depan pintu dan menggaruk-garuknya dengan cakarnya.
"Miaw! Miaw! Miaaaawww!"
Elly menoleh. "Hah? Kamu kenapa?"
Si kucing kembali menggaruk pintu lebih keras, lalu menoleh ke belakang dengan ekspresi penuh keputusasaan.
Elly akhirnya turun dari kasurnya dan berjalan mendekat. "Mau keluar?"
Si kucing mengangguk.
Elly mengerutkan kening. "Tapi ini udah tengah malam. Kamu yakin?"
Si kucing mengangguk lagi, kali ini lebih cepat.
Elly menghela napas, lalu membuka pintu kamar. Begitu pintu terbuka, si kucing langsung kabur keluar seperti orang yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa.
Elly berkedip beberapa kali, lalu menoleh ke arah lorong tempat kucingnya menghilang. "...Loh? Kok kayaknya dia panik banget?"
Setelah beberapa detik, Elly menyadari sesuatu.
"Tunggu... jangan-jangan dia merasa aku mulai gila?!"
Elly langsung memegang pipinya sendiri, wajahnya merah padam.
"A-Astaga! Apa aku beneran terlalu salting?!"
Sementara itu, si kucing sudah berlari jauh, menuju ruang tamu. Ia melompat ke sofa dan langsung menjatuhkan dirinya dengan tatapan kosong, seolah berkata: Aku nggak kuat lagi. Aku harus menjauh sebelum aku ikut jadi gila...
Bersambung...