NovelToon NovelToon
Part Of Heart

Part Of Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta setelah menikah / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Pihak Ketiga
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Dwiey

"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.

"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.

Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sanity

Mata Tari terbuka perlahan, pandangannya masih buram. Seketika, ia mengerutkan kening saat merasakan pegal yang menjalar hingga ke bagian bawah tubuhnya dan terlebih khususnya pinggang nya.

Ia menggeliat pelan, mencoba meredakan rasa pegalnya, lalu perlahan duduk dan menyandarkan punggungnya. Namun, saat itu juga, ia tersentak baru menyadari tubuhnya yang tidak mengenakan sehelai pakaian pun.

Matanya membelalak saat menyadari sensasi lengket pada bagian intimnya. Kepalanya langsung dipenuhi kilasan-kilasan ingatan jelas tentang apa yang terjadi semalam-dan apa saja yang telah ia lakukan.

Tari memegangi kepalanya dengan kedua tangan, jemarinya mencengkeram rambut pendeknya yang acak-acakan ingin membangunkan dirinya dari kenyataan. "Apa kau sudah gila, Tari?" bisiknya, penuh rasa frustasi.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Tari tersentak. Refleks, ia menarik selimut hingga ke dadanya, mencoba menutupi tubuh polosnya.

Yudha masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur dan beberapa potong buah, senyum hangat menghiasi wajahnya. Ia menaruh nampan itu di meja kecil di samping kasur, lalu duduk di pinggir tempat tidur, menatap Tari dengan lembut.

'Bubur lagi, lain kali akan kukatakan di depan wajahnya bahwa aku sangat benci dengan bubur' Tari mengeluh dalam hati, karena tidak mungkin ia mengucapkan nya sekarang mengingat situasi mereka saat ini.

"Kau nggak apa-apa, kan?"

Tari tidak menjawab dan malah menghindari kontak mata. Pandangannya malah jatuh pada tubuh Yudha, pria ini hanya mengenakan celana kain panjang tanpa atasan. Otot-otot perutnya terlihat jelas, tapi bukan itu yang membuat Tari tidak nyaman.

Perut dan leher Yudha penuh dengan bekas kemerahan-jejak yang jelas menunjukkan apa yang terjadi semalam. Fakta bahwa dirinya lah yang meninggalkan tanda-tanda itu membuat Tari merasa panas dingin. Ia segera mengalihkan pandangan, telinganya memerah, tak sanggup menatap pria yang kini duduk tepat disampingnya.

Tari mengerutkan keningnya, mengalihkan pandangan ke samping dengan wajah kesal. "Minggir, aku ingin kembali ke kamarku," Tari sama sekali tidak menatap Yudha, nada suaranya mendesis, meski ia tak yakin mampu berdiri sendiri karena nyeri di bagian bawah tubuhnya.

Saat Tari mencoba bangkit sambil tetap menggenggam selimut dengan sebelah tangannya, tangan Yudha dengan sigap menghentikan gerakannya. "Aku akan menggendongmu,".

Tanpa menunggu persetujuan, Yudha mengangkat tubuh Tari ke pelukannya. Tari terkejut dan hanya bisa diam, membiarkan Yudha membawanya ke kamar tanpa perlawanan, meski rasa malu berkecamuk di dalam dirinya.

Setelah sampai, Yudha merebahkan Tari perlahan di atas kasur. Namun, Tari langsung mendorong dada Yudha dengan kasar, mencoba menciptakan jarak di antara mereka. "Pergilah keluar," katanya tegas, matanya masih menghindari tatapan Yudha.

Alih-alih menuruti, Yudha malah duduk di pinggir kasur. Dengan satu tangan, ia menyentuh wajah Tari, memaksa wanita itu untuk menatapnya.

"Hei, kau ingat apa yang kau katakan semalam?" tanya Yudha lirih, tatapan matanya lembut.

"Nggak ingat," balas Tari dingin, sorot matanya tajam menusuk ke arah Yudha.

Yudha tersenyum kecil, seolah tidak terganggu oleh sikap Tari. Ia mendekat, perlahan mengecup bibir Tari yang masih terlihat bengkak karena di sebabkan oleh nya. Tari tertegun, matanya tetap terbuka lebar melihat Yudha memejamkan matanya.

Setelah beberapa kecupan lembut, Yudha menjauh sedikit. "Kau bilang aku harus mengakui... bahwa aku menyukaimu," katanya pelan.

Tari langsung melepaskan tangan Yudha dari wajahnya dengan kasar. "Lalu? Apa hanya karena kita bercinta semalam, kau jadi merasa punya perasaan padaku?. Kau orang yang mudah baperan ya!"

Kening Yudha berkerut, tapi ia tetap tenang. "Mana mungkin. Aku sudah menyukaimu jauh sebelum kejadian semalam terjadi. Makanya aku tetap meminum jamu itu," jawab Yudha, nadanya terdengar tulus.

PLAK!

Tari menampar pipi Yudha dengan keras. "Kau sudah gila! Kau sengaja membuat ini terjadi?" teriaknya dengan suara bergetar menahan marah.

Yudha menghiraukan pipinya yang memerah, lalu memegang kedua bahu Tari dengan lembut. "Tari, aku melakukan ini karena aku benar-benar menyukaimu. Dan aku tahu dari tindakanmu semalam, kau juga punya perasaan yang sama untuk ku,"

"Buang pikiranmu itu! Aku tidak menyukaimu dan tidak akan! Kejadian semalam murni karena aku tidak bisa berpikir jernih akibat jamu sialan dari ibu sialan mu itu!" Bantah Tari dengan tatapan membara.

Tari lalu menunjuk pintu dengan marah. "KELUAR DARI KAMARKU! TIDAK-KELUAR Dari RUMAHKU! Sudah cukup kau tinggal di sini, pergi dan pindah lah, menjauh lah dari pandangan ku!"

Yudha terdiam sejenak, melihat Tari yang sudah terbawa emosi. "Kita bicara lagi saat kau lebih tenang," katanya akhirnya. Ia bangkit, mengambil nampan bubur, lalu kembali meletakkannya di meja di samping Tari.

"Makanlah. Kau belum mengisi perutmu dari pagi, dan sekarang sudah hampir tengah hari. Aku harus ke kantor," Yudha berkata pelan dengan senyum tipis di wajahnya, sebelum akhirnya melangkah keluar.

Setelah pintu tertutup, Tari meremas rambutnya dengan frustasi. "Kau sudah gila, Tari," gumamnya pelan, tubuhnya gemetar menahan amarahnya.

Namun pikirannya terhenti ketika ia teringat sesuatu. "Riana..." bisiknya, matanya melebar. Jika Riana tahu apa yang telah terjadi, apa yang akan ia pikirkan?

Dengan cepat, Tari meraih ponselnya. Ia segera memesan obat kontrasepsi darurat untuk dikirim secepat mungkin. Dengan kondisi tubuhnya sekarang, ia tidak mungkin keluar rumah.

Tiba-tiba ponselnya berdering, membuat Tari terkejut. Ia memandang layar dan mendapati nama Riana terpampang di sana. Jantung nya seakan mau copot.

"Halo, Ri," sapanya dengan suara pelan, mencoba terdengar tenang meski dadanya terus berdebar.

"Tar, aku boleh mampir siang ini? Aku bawain anggur kesukaanmu juga," kata Riana dengan ceria di seberang telepon.

"Ah, sekarang? Kau sudah di jalan?" tanya Tari panik.

"Iya dong, paling 15 menit lagi aku sampai,"

"Ah, aku baru mau mandi, kau tahu kan aku kalau mandi lama," Tari mencoba mencari alasan agar Riana menunda kedatangan nya sambil berharap wanita itu tidak curiga.

Riana tertawa kecil. "Santai aja, Tar. Aku tinggal masuk aja kek biasa kalau kau masih di kamar mandi."

Tari menghela napas berat. "Oke deh, kau tunggu di luar kalau aku belum selesai ya," katanya terburu-buru sebelum memutus panggilan.

Lalu dengan langkah cepat Tari keluar kamarnya, melirik sekeliling ruang tengah nya dengan panik, memastikan tidak ada bekas atau bau apapun yang bisa mencurigakan.

Untungnya, sepertinya Yudha sudah membersihkan semuanya. Dengan langkah cepat, Tari membuka jendela selebar mungkin agar tidak ada bau aneh yang tertinggal.

Setelah merasa semuanya aman, Tari kembali ke kamarnya. Namun, langkahnya yang cepat sontak terhenti begitu matanya menangkap sesuatu di meja sebelah kasurnya: nampan berisi semangkuk bubur dan beberapa potong buah yang tadi disiapkan Yudha.

Tari berdiri menatap makanan itu dengan ekspresi datar. "Maaf bubur, bukannya aku nggak ingin memakanmu, tapi kau terlalu lembek untuk aku telan" gumamnya pelan, seperti nya ia mulai gila.

Dengan langkah mantap, ia mengambil nampan itu dan membawanya ke dapur. Bagaimana pun aku nggak mau mengambil risiko. Riana tidak boleh sampai tahu soal semalam.

Tanpa ragu, Tari mengambil mangkuk bubur itu dan membuang isinya ke tempat sampah. "Lagian, kenapa dari semua makanan yang bisa dia siapkan, harus bubur menjadi pilihan pertama nya?" tari mendesis kesal sambil memastikan tidak ada sisa yang tertinggal.

Setelah itu, ia memisahkan potongan buah dari nampan. Dengan hati-hati, ia memasukkan buah-buahan itu ke dalam kulkas. Terakhir, ia mencuci mangkuk dan sendoknya dengan cepat di wastafel. Tari bekerja dengan kecepatan tinggi.

Saat semua selesai, Tari menyeka tangannya dengan kain lap, lalu menghela napas panjang. " Sip aman," gumamnya senang sambil melihat ke sekeliling dapur untuk memastikan tidak ada jejak apa pun yang tertinggal.

Lalu dengan langkah terburu-buru ia masuk ke kamarnya dan masuk ke kamar mandi dan mulai menggosok tubuhnya dengan kasar, berusaha menghilangkan jejak dan bekas kemerahan di kulitnya. Namun, usahanya terasa sia-sia, karena bekas itu tetap ada dan tak kunjung memudar.

Dalam kepanikan yang melanda, Tari mandi dengan sangat terburu-buru, sehingga ia lupa akan obat KB darurat yang telah ia pesan. Padahal, obat itu sudah sampai di ruang keamanan di lantai bawah, menunggu untuk diambil.

Di sisi lain, Riana sedang berada di apartemen Ade. Ia berbohong pada Tari, mengatakan bahwa dirinya sedang dalam perjalanan, padahal sebenarnya ia sudah tiba di depan apartemen saat ia menelpon.

"Kau rindu padaku, ya?" ujar Ade dengan lirih, suaranya penuh godaan. Ia menciumi leher Riana yang sedang duduk di pangkuannya, tangannya menyusup ke belakang punggungnya.

Mereka sedang duduk di sofa, dengan Ade yang berada di bawahnya, sementara Riana duduk nyaman di atas pangkuannya.

"Jangan meninggalkan bekas" Kata Riana dengan lirih saat Ade mulai melepas pengait bra-nya.

Riana menatap ke atas dan memejamkan matanya, menikmati sensasi kenikmatan yang di rasakannya.

'Kalau Yudha membuatku puas, aku tidak akan mendatangi gigolo ini' Keluhnya.

'Jadi jangan salahkan aku Yudha'

1
Martin victoriano Nava villalba
Wah bahasanya keren banget, bikin suasana terasa hidup.
Cô bé mùa đông
Jujur, bikin terharu.
Jenni Alejandro
Makin nggak sabar buat nunggu kelanjutan ceritanya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!