Namaku Melody Bimantara, umurku baru dua puluh dua tahun, tapi sudah menjadi Manager sebuah hotel bintang lima milik keluarga.
Yang membuat aku sedih dan hampa adalah tuntutan orang tua yang memaksa aku mencari lelaki yang bisa dinikahi.
Kemana aku harus mencari laki-laki yang baik, setia dan mencintaiku? sedangkan para lelaki akan mundur jika aku bilang mereka harus "nyentana"..
Tolonglah aku apa yang harus aku perbuat??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MINTA CERAI
Jika kita sudah tidak disenangi oleh ibu mertua, ipar apalagi suami, hidup akan seperti di neraka. Apa yang kita lakukan selalu salah. Begitu yang aku alami.
Seperti hari ini aku pulang dari hotel, ada mertua lewat di carport, meliat aku di mobil dia langsung berhenti, menunggu aku turun dari mobil.
"Tadi kau di marah di hotel?" tanyanya menatap ku tajam.
"Di marah bu, tapi aku sudah minta maaf." kata ku bohong, takutnya di kemudian hari dia tidak disiplin mengantar barang.
"Makanya jangan malas. kau ngapain tadi malam dengan putra ibu?"
"Tidak ada ngapain, aku ingin ngajuin cerai tapi Arunakha menahanku.
Mertuaku diam, mungkin dia berpikir untung ruginya kalau aku pergi dari sini. Tidak mungkin Belinda mau capek-capek ngurusi suplier.
"Mobil sudah dekil sekali, kau cucilah. Jangan bisanya make saja, rawat barang. Ibu banting tulang kerja supaya bisa beli mobil." ucap ibu seakan mengalihkan pembicaraan.
"Nati aku cuci bu, sekalian ganti oli." ucap ku sambil menurunkan kardus.
"Apa itu, kau mencuri di hotel ya?"
"Dikasi teman, tidak mungkin ada maling di hotel penjagaan ketat."'
"Maaf bu aku mau ke kamar dulu." ucapku ketika dia berhenti.
Aku mendengar ada suara mobil datang. Aku menoleh ke belakang dan melihat mobil Jazz Belinda masuk.
Ibu manggut-manggut. Aku langsung ke ruang makan dan memanggil bibi. Semua minuman kaleng aku keluarin. Aku bawa sepuluh kaleng minuman ringan dan tiga pak coklat, serta 2pak sosis.
"Bibi...bi...bi...." aku menuju kamarnya dan memanggil.
"Ada apa memanggil bibi?" tanya Diah yang baru datang dari kuliah.
"Mau kasi coklat." sahut ku cuek.
"Paling coklat murahan. Lihat, aku dikasi Belinda coklat dubai." katanya bangga memperlihatkan coklat pistachio. Aku tersenyum dalam hati.
"Bagus.. " sahutku pendek.
Aku di kasi coklat oleh pak Alit sudah biasa. Kemarin dia di kasi hadiah coklat dubai, asli. Yang memberi orang dubai. Kalau di banding dengan coklat Belinda tidak ada apa-apanya.
"Coba lihat coklatmu."
"Tidak, aku mau kasi bibi." kataku masuk ke kamar bibi.
Umur Diah mungkin beda sedikit dengan ku, tapi masih kuliah, sedangkan aku umur dua puluh sudah sarjana. Aku pintar dan mengambil percepatan.
Selesai kuliah aku bekerja di hotel, dari bawah dulu, setelah itu aku jadi Manager. Kebetulan aku bisa empat bahasa, itu yang sangat menunjang.
"Mana coklatnya, darimana kau dapat?" tanyanya berdiri diambang pintu.
"Dikasi teman." jawabku pendek.
Diah balik badan pergi. Bibi tersenyum senang kala melihatku. Setiap pulang dari hotel atau pasar ada saja aku bawa. Bibi sudah hafal itu.
"Bi kita ke ruang makan..." ajak ku.
"Ada apa, nyonya mau makan?"
"Aku membawa camilan untuk bibi. Aku taruh di atas meja makan."
"Waduhh..bisa hilang nanti, mereka rakus kalau melihat yang enak-enak."
Sampai di ruang makan sudah ada, Diah, Ibu, Belinda dan Arunakha. mereka lagi memegang coklat ku.
"Kamu yang bawa ini. Siapa ngasi, Dion?" tanya Arunakha menatap tajam padaku.
"Pak Alit, dapat dari tamu." jawab ku datar. Aku mengambil coklat dan memberikan dua pack kepada bibi dan aku ambil satu. Aku juga memberikannya roti kering dari Korea.
"Emangnya kau siapa, tidak mungkin ada orang memberi hadiah mahal sebanyak ini, kecuali kau ani-aninya." Belinda ikut mengompori.
"Melody sekarang padat berisi semenjak makan tidur disini, pasti bapak-bapak sesama buruh suplier pada tertarik, haha."
"Benar bu...hahaha..."
Brakkk!
"Apa yang kau lakukan di hotel?!" Arunakha menggebrak meja. Wajahnya merah padam memandangku.
"Kalian selalu negatif thinking. Apa sih isi otak kalian? Katanya intelek dan kaya raya aku bekerja, selalu dituduh ini itu." ucapku emosi. Sudah capek, lagi kena marah, kesel kali.
"Buktikan kau tidak sel*ngkuh!!"
"Sekarang dengerin omongan orang hotel sampai selesai, supaya kalian tidak gagal paham." ucapku.
Aku membuka hape menghubungi pak Alit. Mereka duduk di kursi tersenyum sinis. Aku tau mereka memandang rendah padaku.
[Hallo nona, apa bisa dibantu?]
Suara pak Alit terdengar di ujung sana. Aku sengaja memakai speaker supaya di dengar oleh mereka.
[Pak Alit, coklatnya enak. Apa tamunya sudah ceck out? Kalau belum saya mau bicara dengannya].
[Sudah nona. Tadi ada tamu Singapore yang memberikan saya coklat putih. Mau diambil besok?]
[Coba kirim fotonya pak Alit]
Foto dikirim. Walaupun aku ingin sekali makan coklat itu, tapi aku pura-pura tidak selera.
[Aku tidak mau coklat itu kasi anak training saja pak. Trimakasih coklatnya, temanku semua senang] ucapku agak sombong. Mereka terus menatapku, ntah apa yang mereka pikirkan..
[Baik nona, salam untuk teman-teman nona. Ada salam dari Bryan, kalau sempat terima teleponnya]
[Sudahlah pak, katakan aku sibuk mengejar karir. Sudah ya pak, aku mau mandi dulu]
[Baik nona, trimakasih]
Aku mematikan hape dan keluar dari ruang makan. Tentu aku tidak mengerti apa yang membuat Arunakha mengejarku wajahnya terlihat membara.
"Tunggu!!" teriaknya.
Aku pura-pura tidak mendengar dan terus berjalan ke kamar. Pintu di dorong dari luar sebelum aku sempat menutupnya. Arunakha masuk seraya mengunci pintu.
"Ada apa lagi, apa kau tidak bosan mengganggu ku?"
"Siapa Bryan, kenapa kau akrab dengan pak Alit?"
"Semua suplier akrab dengannya. Kalau Bryan itu anaknya."
"Kau baru kerja, aku tahunan tidak akrab dengannya. Pak Alit manager yang saklek kecuali jadi sugar daddy."
"Keluar kau! aku mau istirahat, aku banyak kerjaan."
"Ini kamarku."
"Kalau begitu kau silent, tutup mulut. Aku tidak mau kau ada disini nanti p4car kau marah- marah."
"Kau istriku wajar aku disini, kita sudah sah dimata masyarakat dan Tuhan."
Ada keraguan dalam perkataan Arunakha. Terserah, aku malas meladeninya. Aku lalu menjauh dan rebahan di sofa. Pusing meladeni orang begini.
Rupanya Arunakha mengikutiku dia lalu duduk di sofa di kaki ku. Ada-ada saja, ulahnya. Jelas aku bangun dan duduk disampingnya.
"Setidaknya kau mengerti tentang aku dan pernikahan kita." Arunakha mulai lagi.
"Aku mau istirahat ntar lagi aku ke pasar. Capek tau."
"Kita berdua ke pasar. Aku ingin membeli buah segar yang baru datang."
"Gak usah ikut, temani saja pac4rmu. Kapan kau akan menceraikanku?"
"Lagi dua bulan kita cerai. Aku penasaran dengan pak Alit, kenapa dia memanggil kau nona? Terkesan sangat sopan."
"Orang intelek dan benar-benar kaya akan sopan. Tapi orang sock kaya akan selalu kasar, seperti keluargamu." ucapku kesel.
"Kau jangan mancing kemarahanku, sekali lagi kau menyinggung ibu dan adik ku, aku usir kau dari sini."
"Usir saja, itu yang aku mau."
"Tookkk...Tookkk..."
Suara Belinda terdengar memanggil Arunakha. Aku sudah senang Arunakha akan keluar dan aku bisa istirahat.
Perkiraan ku meleset Arunakha malah mendorongku dan tubuhnya berada di atasku.
****
sukses selalu ceritamu
tunggu karma mu kalian berdua !!😤