Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Setelah selesai sholat Maghrib dan melantunkan doa bersama, Aiman dan Sabrina masih tetap duduk di atas sajadah dengan suasana yang terasa begitu tenang. Keduanya bersimpuh di lantai, tangan terangkat, berdoa dalam hening. Angin malam perlahan berhembus masuk melalui celah-celah jendela, menambah keheningan di ruangan itu.
Sabrina mulai bergerak, hendak berdiri dari posisi duduknya, ketika Aiman memanggilnya dengan lembut, suaranya penuh perhatian.
"Sabrina," panggil Aiman, matanya menatapnya dengan lembut namun tegas.
Sabrina menoleh, keningnya berkerut. "Apa, Om Ustadz?" tanyanya dengan nada heran, sedikit terkejut masih ada sesuatu yang perlu dibicarakan.
Aiman mengangkat Al-Qur'an kecil yang terletak di sampingnya, menempatkannya di depan Sabrina dengan penuh sabar. "Sebelum kita beranjak, bagaimana kalau kita lanjutkan sedikit dengan mengaji?"
Sabrina menatap Al-Qur'an itu dengan ragu, merasakan sedikit canggung. Wajahnya menunjukkan gelisah. "Mengaji?" tanyanya, suara penuh keraguan.
Aiman mengangguk lembut, memperhatikan ekspresi Sabrina yang tampak terkejut. "Iya, mengaji. Kamu pernah mengaji sebelumnya, bukan?"
Sabrina menunduk, mencoba mengingat-ingat, lalu perlahan menjawab, "Dulu sih, sempat tamat dua kali khatam Al-Qur'an. Tapi itu udah lama banget... entah masih bisa apa enggak."
Aiman mendengarkan dengan penuh perhatian, sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Meski Sabrina memiliki kepribadian yang berbeda, mendengar bahwa istrinya pernah mengaji hingga khatam dua kali membuat Aiman bersyukur. Mungkin hanya perlu diasah kembali, pikirnya.
"Gak masalah. Kalau sudah pernah khatam Al-Qur'an, pasti bisa mulai lagi, walaupun sudah lama gak membaca. Yang penting ada niat untuk mengulang," Aiman berkata dengan lembut, menenangkan.
Sabrina sedikit terdiam, menatap Al-Qur'an itu dengan ragu. "Tapi... emang bisa ya?" tanyanya, masih ragu-ragu.
Aiman menatapnya dengan penuh keyakinan. "Bisa dong. Dicoba dulu. Setidaknya ada usaha, baru nanti Allah yang akan memberi jalan."
Sabrina menarik napas dalam-dalam, merasakan dorongan untuk mencoba lagi. Meski ragu, ia mulai membuka Al-Qur'an itu perlahan, memegangnya dengan penuh kehati-hatian.
...➰➰➰➰...
Esok subuh, tepat saat jarum jam menunjukkan pukul setengah empat pagi, Sabrina terbangun dari tidurnya. Rasanya perutnya sedikit sakit, seperti ada yang mengganggu. Waktunya sepertinya telah tiba, pikirnya dengan gerakan pelan. Ia berencana bangkit dari tempat tidur, tapi sebelum sempat melakukan itu, sebuah tangan melingkar di perutnya, membuatnya tergagap sejenak. Perlahan, ia menoleh ke samping, baru menyadari bahwa ada sosok lain di sampingnya—Aiman, suaminya, yang masih terlelap dalam tidurnya.
Sabrina mengerjap, memerhatikan wajah Aiman yang tampak tenang dan damai saat tidur. Hati Sabrina berdebar kencang, antara bingung dan kagum.
"Dasar anak mertua satu ini," gumamnya pelan, perlahan melepas tangan Aiman yang masih melingkar di perutnya.
Setelah berhasil melepaskan diri, Sabrina dengan hati-hati bangkit dari ranjang. Begitu ia keluar dari kamar tidur dan menuju ke kamar mandi, langkahnya sedikit terhenti saat perutnya terasa semakin sakit. Di kamar mandi, ia mengecek dengan hati-hati, dan benar saja—waktunya sudah tiba. Sabrina merasa sedikit panik, karena ternyata stok bantalan roti jepang miliknya sudah habis. Hatinya mendidih.
"Astaga, sial banget pagi-pagi udah begini! Masa harus nunggu siang baru keluar, yang ada netes duluan," gerutunya.
Tiba-tiba, ide cemerlang muncul dalam pikirannya. "Atau suruh Om Ustadz aja, ya?" gumamnya lagi, sambil tertawa miris sendiri. "Enggak, ah, bisa diketawain nanti gue. Jatuhnya jadi bahan omongan!"
Sabrina menghela napas panjang, akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan Aiman—yang kini sudah menjadi suaminya—satu kali saja. Coba saja direpotin sedikit, nggak apa-apa.
Ia melilitkan bathrobe di tubuhnya dengan gesit, lalu keluar dari kamar tidur, berniat mengejutkan Aiman yang masih terlelap. Namun, sepertinya ia sendiri yang akhirnya dikagetkan oleh kecerobohannya. Baru saja melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi, lantai yang masih basah membuat kakinya licin dan tidak stabil.
BRUKKK!
"ARGHHHHH..." Sabrina memekik kesakitan, suaranya keras dan terdengar memecah keheningan pagi itu. Tubuhnya yang terjatuh ke lantai benar-benar tidak elegan—tergeletak telentang dengan posisi yang memalukan.
Aiman, yang terbangun mendengar suara kegaduhan tersebut, langsung terperanjat dari tempat tidurnya. Kepanikan terlihat jelas di raut wajahnya, matanya melotot ketika melihat tidak ada tanda-tanda Sabrina di tempat tidurnya.
"Apa? Apa yang terjadi?!" ucap Aiman panik, matanya membelalak mencari-cari keberadaan istrinya.
"Tolongin Om Ustadz..." rengek Sabrina dari lantai, suaranya gemetar penuh kesakitan.
Aiman segera terbangun dengan sigap, menghampiri Sabrina yang masih tergeletak di lantai. Segera ia membantunya berdiri dengan penuh perhatian.
"Astaghfirullah! Bina, kamu ngapain di lantai?!" tanya Aiman dengan cemas, suara tegasnya terdengar menyesal.
Sabrina yang masih kesakitan mengangkat bahu seadanya, mencoba menutupi rasa malu dan sakitnya. "Buat pesugihan, ya gue jatuh, lah Om!" jawabnya asal, berharap Aiman tidak akan terlalu khawatir.
Aiman melotot seolah tidak percaya, keningnya berkerut. "Pesugihan? Astaga, kamu ini...! Ayo, cepat bangun, biar saya bantu."
Dengan penuh kesabaran, Aiman akhirnya berhasil mengangkat Sabrina, membantunya berdiri dengan perlahan. Tapi wajah Aiman masih penuh rasa panik, melihat istrinya yang tampak rapuh.
"Astaga, hati-hati, Bina. Jangan sampai jatuh lagi, nanti bisa lebih parah," kata Aiman, suaranya lembut penuh kekhawatiran.
Sabrina hanya bisa tersenyum kecil, masih mencoba menutupi rasa malu dan rasa sakitnya. Tapi di dalam hatinya, ia merasa beruntung memiliki suami seperti Aiman—yang selalu peduli dan siap menolong kapan saja.
"Kenapa kamu subuh-subuh di lantai gitu?" tanya Aiman, matanya masih penuh dengan kekhawatiran saat ia melihat Sabrina yang duduk di atas kasur dengan kakinya terulur.
Sabrina mendengus kesal, mencoba mengabaikan pertanyaan tersebut. "Dibilang gue jatuh, loh," jawabnya dengan suara sengaja dibuat sewor, mengangkat bahu penuh drama.
Aiman mengerutkan keningnya, lebih penasaran. "Kenapa bisa jatuh?" tanyanya, sambil menatap kaki Sabrina yang tampak sedikit bengkak.
"Ya karena kaki gue licin tadi pas keluar dari kamar mandi," jawab Sabrina sambil memperhatikan kakinya yang terasa nyeri. Dia memandang Aiman dengan tatapan tajam, mengisyaratkan bahwa dia benar-benar kesakitan.
Aiman, yang peka, langsung berjongkok di hadapan Sabrina. Matanya meneliti dengan seksama. Dia memegang lembut pergelangan kaki Sabrina, mencoba meraba dengan hati-hati.
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Aiman mulai menggelitik sedikit kakinya.
"Jangan sih tekan-tekan, Om Ustadz!!!" Sabrina berteriak kaget, matanya membelalak seketika. Dia mencoba menghindar, tetapi Aiman tetap gigih memegang kakinya.
Aiman hanya tersenyum tipis. "Biar nggak sakit lagi, sini saya kretikin," jawabnya dengan polos. Wajahnya terlihat seolah sedang membantu, padahal sudah tahu pasti akan membuat Sabrina tambah kesal.
"Enggak!!! Nggak mau!!! Nanti tambah sakit!" jawab Sabrina dengan tegas, mencoba menepis tangan Aiman.
Aiman tetap tenang. "Enggak bakal sakit, coba dulu biar nggak bengkak."
Sabrina menggeleng keras. "Enggak enggak perlu, mending Om Ustadz tolongin aku aja," pintanya dengan cemas, tampak gugup.
Aiman mengangkat alisnya, bingung. "Ini udah ditolong," katanya, merasa heran dengan permintaan Sabrina.
"Bukan itu maksudnya tuh, emm..." Sabrina ragu-ragu, melihat wajah Aiman yang tampak menunggu jawabannya dengan serius.
"Apaan? Cepat katakan!" desak Aiman, makin penasaran.
Sabrina akhirnya menarik napas panjang, cemberut sedikit. "Bisa belikan pembalut nggak?"
Aiman mengernyitkan keningnya, bingung. "Pem? Apa?"
"Pembalut, ahh..." jawab Sabrina dengan suara sedikit kesal, langsung memalingkan wajahnya dari Aiman. Dia malu mengatakan kata itu.
Aiman mengangguk pelan, masih bingung. "Punya kamu habis?"
Sabrina mengangguk sekali lagi, menunggu dengan penuh harap.
Aiman berpikir sebentar, lalu menghela napas. "Kalau sekarang belum ada toko yang buka," ucapnya sambil melirik jam yang masih menunjukkan pukul empat pagi.
Sabrina tampak gelisah, menggigit bibirnya. "Saya mintakan ke Kak Fatimah atau Kak Rina saja. Kamu tunggu di sini," kata Aiman kemudian, segera beranjak pergi.
Sabrina hanya bisa menatap Aiman dengan ekspresi menggemaskan, wajahnya cemberut penuh kekecewaan karena ternyata belum ada solusinya saat ini. Sambil mengusap kakinya yang masih sedikit sakit, dia bergumam, "Dasar Om Ustadz..."—seraya mencoba mengontrol rasa kesalnya.