Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memaksimalkan Ikhtiyar
Bulan Mei tahun kedua yang Rayyan jalani di negeri orang. Bertepatan dengan musim semi yang memberi keindahan setelah berakhirnya musim dingin.
Musim semi hadir seolah membawa kehidupan baru setelah dinginnya musim dingin.
Pohon dan bunga mulai bermekaran, seperti bunga sakura di Washington, D.C., yang menarik banyak wisatawan.
Suhu mulai menghangat, tetapi tetap sejuk dan nyaman. Ini adalah waktu yang populer untuk festival bunga dan acara luar ruangan, serta migrasi burung dan satwa liar yang kembali aktif.
Rayyan berjalan di tengah indahnya musim semi, kala itu senja menyapa dengan begitu indahnya. Jarak kampus dengan apartemen tempatnya tinggal dan mengukir mimpi tidak terlalu jauh hingga akhirnya dia putuskan untuk berjalan seorang diri.
Masih ada waktu satu jam sebelum kumandang adzan maghrib. Rayyan tertarik untuk berhenti di sebuah taman yang begitu indah sore itu. Terlihat beberapa orang tengah duduk menikmati keindahannya. Anak-anak juga tengah berlarian disaksikan oleh orang tua mereka dari kejauhan.
Rayyan menuju sebuah kursi yang berada di bawah sebuah pohon dengan daun dan bunga yang cukup rindang. Di tatapnya langit cerah sore itu.
Bayangan seseorang dengan hijab navy menampakkan aura kecantikan yang begitu nyata. Kulit putih yang terlihat begitu kontras dengan warna hijab yang dipakainya membuat sang empunya wajah terlihat semakin bersinar.
Rayyan tersenyum membayangkannya. Kala itu Bu Inayah tengah membantunya mempersiapkan diri untuk mengikuti olimpiade tingkat provinsi setelah sebelumnya menjadi juara di tingkat kabupaten. Masih teringat dengan jelas di benak Rayyan. Sore itu Bu Inayah datang menghampirinya di kursi taman tempat dia biasa menghabiskan waktu istirahat dan belajar.
Momen Bu Inayah yang tengah berjalan ke arahnya diam-diam dia abadikan dalam rekaman video ponselnya. Senyuman yang lebar, berjalan dengan santai ke arahnya, jilbab lebarnya sedikit berkibar karena terpaan angin sore itu membuat Rayyan seperti terhipnotis untuk terus menatap ke arah gurunya itu.
Berkali-kali dia beristighfar, bertanya pada dirinya sendiri kenapa hatinya bisa jatuh cinta pada gurunya sendiri.
Semakin Rayyan mengelak rasa itu tumbuh semakin kuat. Semakin Rayyan menghindar rasa itu justru semakin menyiksa. Hingga akhirnya dia putuskan untuk memilih menikmati rasa yang dimilikinya untuk Bu Inayah.
"Entahlah, kenapa aku bisa jatuh cinta padamu, Bu?" ditatapnya layar ponsel yang berwallpaper foto Bu Inayah yang sempat dia ambil diam-diam di setiap momen kebersamaannya.
Diputarnya kembali video yang menampilkan Bu Inayah tengah berjalan ke arahnya, video saat Bu Inayah memberi bimbingan di kelas, video saat Bu Inayah menjadi pembina upacara dan masih banyak video-video lainnya yang pernah Rayyan rekam secara diam-diam.
Selama ini video-video itu yang menjadi pengobat kerinduannya pada sang guru.
"Benarkan aku jatuh cinta padamu, Bu?" berkali-kali Rayyan bertanya pada dirinya sendiri, dia sungguh tak habis pikir dengan rasa di hatinya.
"Apakah ini boleh? Ataukah ini salah?" tanya Rayyan lagi, diusapnya layar yang menampilkan foto wajah Bu Inayah di galerinya.
"Ya Allah ..." desahnya, memasrahkan semua rasa yang dimilikinya pada Sang pembolak-balik hati.
Rayyan menikmati sore sendirian di taman itu, di temani sebuah lagu yang sengaja dia putar dari ponselnya. Di telinga sudah terpasang sebuah earphone agar lagu yang didengarnya tidak mengganggu orang lain.
Dia dongakan kepala, menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Menatap langit sore Amerika yang tampak masih cerah.
Dari kejauhan, tergambar cerita tentang kita
Terpisah jarak dan waktu
Ingin kuungkapkan rindu lewat kata indah
Tak cukup untuk dirimu
Rayyan memilih memejamkan mata saat sebait lirik lagu itu dia dengarkan.
Sebab kau terlalu indah dari sekedar kata
Dunia berhenti sejenak menikmati indahmu
Matanya terpejam, seulas senyum terlukis di bibirnya kala meresapi setiap kata dalam lagu itu yang seolah mewakili hatinya.
Dan apabila tak bersamamu
Kupastikan kujalani dunia tak seindah kemarin
Sederhana, tertawamu sudah cukup
Lengkapi sempurnanya hidup bersamamu
Jika hari kulalui tanpa hawamu
Percuma senyumku dengan dia, oh
Dan apabila tak bersamamu
Kupastikan kujalani dunia tak seindah kemarin
Sederhana, tertawamu sudah cukup
Lengkapi sempurnanya hidup bersamamu
Apabila tak bersamamu
Kupastikan kujalani dunia tak seindah kemarin
Sederhana, tertawamu sudah cukup
Lengkapi sempurnanya hidup bersamamu
Hu-uh-uh
Hu, hu-uh-uh
Sebab kau terlalu indah dari sekedar kata
Dunia berhenti sejenak menikmati indahmu
"Bu, aku merindukanmu." gumamnya dengan mata yang masih terpejam menikmati kesyahduan lagu yang mewakili rasa yang tengah bersemayam dalam hatinya.
Sumber: Musixmatch
Di Indonesia, Inayah tengah bersiap untuk pulang. Tugasnya hari ini sudah selesai. Inayah pulang bersama dua rekan lainnya, menuju lift khusus karyawan menuju lantai dasar dimana motornya terparkir. Dita sudah lebih dulu pulang karena ada keluarga ya yang datang dari kampung.
Setelah cukup berani mengendarai motor sendiri pergi dan pulang kerja kini Inayah membawa motor sendiri. Uang tabungannya sudah lebih dari cukup untuk membeli sebuah motor dengan letter D. Motor miliknya di Garut dia tinggalkan dan sesekali dipakai Indira.
"Kamu baru pulang?"
Deg ...Inayah terlonjak kaget saat akan memakai helm tiba-tiba suara seseorang mengagetkannya. Dia tidak menyadari kehadiran Pak Hasan yang ternyata sudah ada di belakangnya.
"Pak Hasan?" tanya Inayah bingung, dia menengokan kepalanya ke kiri dan ke kanan, bagaimana seorang direktur berada di tempat parkir karyawan.
"Kenapa?" tanya Pak Hasan heran melihat tingkah Inayah.
"Kenapa Bapak ada di sini? Bukankah ini tempat parkir karyawan?" tanya Inayah mengungkapkan keheranannya.
"Saya sengaja menunggu kamu pulang." jawab Pak Hasan jujur.
Tadi siang dia memang pergi bersama Jimmy karena ada pertemuan di luar dengan beberapa klien, dan saat semua pertemuannya selesai dia memilih untuk kembali ke kantor. Bukannya datang ke ruangannya, Pak Hasan justru menuju parkiran motor karyawan menunggu tidak jauh dari tempat parkirnya motor milik Inayah.
"Menunggu saya?" untuk kedua kalinya Inayah dibuat terkejut.
"Iya, ada hal yang mau saya sampaikan sama kamu. Tapi ini bukan urusan kantor, lebih ke urusan pribadi. Jadi, bisakah kamu meluangkan sedikit waktu untuk kita bicara?" mohon Pak Hasan dengan wajah memelas membuat Inayah tak enak hati jika harus menolak. Pikirannya tak karuan, tak bisa menebak apa yang akan dibicarakan oleh bosnya itu.
Inayah melihat jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Sudah pukul tujuh belas lewat dua puluh menit, waktu magrib masih ada sekitar empat puluh menit lagi. Biasanya kalau tidak macet dia akan sampai di kosannya selepas azan maghrib usai. Tapi sepertinya kali ini dia akan pulang lebih lambat.
"Baik Pak, apa yang bisa saya bantu?" Tanya Inayah akhirnya, dia masih bersikap formal layaknya ketika sedang berada di kantor.
"Bagaimana kalau kita bicara di tempat yang lebih nyaman? Tidak jauh dari sini ada kafe yang kebetulan mushalanya nyaman banget. Nanti kita bisa shalat maghrib sekalian di sana." ajak Pak Hasan dan setelah menimbang Inayah akhirnya menganggukan kepala tanda setuju walau ada sedikit keraguan.
"Saya akan mengantarmu pulang." lanjut Pak Hasan yang dapat membaca kegelisahan Inayah.
"Terima kasih, Pak."
"Kita pakai mobil saya saja ya? nanti saya antar kamu untuk mengambil motor di sini." usul Pak Hasan, namun Inayah menggelengkan kepalanya.
"Tidak apa-apa Pak saya bawa motor saya saja, silakan Bapak duluan nanti motor saya akan mengikuti mobil Bapak." jelas Inayah dan Pak Hasan tidak lagi bisa menolak, dia menganggukan kepala tanda setuju dan berlalu meninggalkan Inayah menuju mobilnya.
"Bismillah." gumam Pak Hasan saat akan melajukan mobilnya, kali ini dia akan memaksimalkan ikhtiyarnya.
Inayah jg harus tegas, kl suka bilang suka jgn merendah trs,, kamu jg berhak bahagia nay
kak Laila jgn jahat2 ya dg menjodohkan Inayah dg yg lain😡😅