Kalista Aldara,gadis cuek yang senang bela diri sejak kecil.Tapi sejak ia ditolak oleh cinta pertamanya,ia berubah menjadi gadis dingin.Hingga suatu ketika, takdir mempertemukannya dengan laki-laki berandalan bernama Albara. "Gue akan lepasin Lo, asalkan Lo mau jadi pacar pura-pura gue."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga belas
Malam itu, Aldara menyusuri taman kota untuk mencari udara segar yang mampu meredakan rasa resah dalam hatinya. Setelah merasa cukup lama berkeliling, ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Namun, langkah kakinya terhenti di atas jembatan yang melintasi sungai berarus deras di bawahnya.
Aldara menopang dagunya dengan kedua tangan, memandang langit malam yang terang berkat sinar bulan. Ingatannya kembali melayang pada peristiwa tadi siang, dan rasa bersalah yang mencekam tak kunjung sirna.
"Gue cuma mau hidup normal!" serunya dengan lantang, mencoba melampiaskan frustasi dalam kesunyian malam.
Seakan dikuasai obsesi untuk membebaskan diri dari belenggu sisi iblis yang terus menyiksa dirinya dan orang di sekitarnya, Aldara merasa perlu mencari jalan keluar. Tiba-tiba, ia merasa perlu menurunkan topi yang dikenakannya, menutupi luka di dahinya sebelum seseorang menghampirinya.
Saat laki-laki itu mulai berjalan ke arahnya, Aldara menoleh sebentar. Sekilas saja, ia sudah mengenali bahwa pria tersebut adalah orang yang menolongnya saat tawuran.
"Kalau mau bunuh diri, jangan banyak drama. Langsung aja loncat!" ucap laki-laki itu tegas.
Matanya melotot di balik topi yang menutupi wajahnya. "Siapa yang mau loncat?" balas Aldara dengan suara penuh kebingungan, tak terima dengan tuduhan yang dilemparkan padanya.
"Yaudah, menjauh dari sini! Lo gak lihat, gimana derasnya arus di bawah sana? Kalau lo jatuh, lo bisa mati sia-sia!" tukas laki-laki itu, mencoba melindunginya dari bahaya yang ada.
Aldara menoleh, matanya sedikit tertutup topi, namun ia masih bisa melihat wajah laki-laki itu. Dilihatnya luka-luka di wajahnya sudah tertutup plester; ternyata lukanya telah diobati dengan baik.
Hatinya kembali terenyuh, matanya semakin berkaca-kaca, rasa bersalah mendera dirinya. Ingin rasanya ia memohon maaf kepada laki-laki di depannya ini, tapi ia sadar itu tidak mungkin. Jika ia meminta maaf, maka identitasnya akan terbongkar.
"Lo menangis, ya?" tanya laki-laki itu lembut, mendengar isakan kecil yang terdengar dari gadis di depannya.
Aldara terisak pilu, air mata membanjiri wajahnya tak tertahankan, bahkan bahunya pun bergetar. Hatinya meronta, membencinya sendiri karena ia telah menangis di depan orang lain. Dia selalu berusaha keras untuk menahan air matanya agar tak tumpah di hadapan siapa pun. Namun kali ini, ironisnya, Aldara malah menangis di depan orang asing yang baru ia temui saat pulang sekolah tadi.
Laki-laki itu menepuk-nepuk bahunya lembut, berusaha menenangkan perasaan Aldara. "Jangan nangis, nanti orang yang lewat salah paham ngira gue ngapa-ngapain sama lo lagi," ujarnya dengan nada santai.
Aldara mengendalikan isakannya, kemudian berkata, "Yaudah, pergi aja, jangan urusi gue."
Tapi laki-laki itu tak begitu saja meninggalkannya. "Gak, daripada lo sedih begini, mending ikut gue yuk!" ajaknya tiba-tiba, seraya menarik tangan Aldara dengan penuh semangat, seolah ia memiliki obat mujarab yang bisa menghapus kesedihan di hati Aldara.
Mereka berjalan bersama, dan laki-laki itu membawanya ke sebuah kedai bakso dan mie ayam. Dengan wajah yang penuh semangat, dia mengajak Aldara masuk ke sana, mungkin berharap sebuah mangkuk bakso hangat dapat memberikan sedikit kebahagiaan di tengah badai air mata yang belum juga mereda.
"Mau mie ayam atau bakso? Gue yang teraktir,"ujar laki-laki itu.
Mata Aldara berbinar,kalau soal makanan ia tak bisa menolaknya."Mie ayam ya,banyakin sayurnya."
"Oke,Lo tunggu di sini,gue pesen makanannya dulu."
Laki-laki itu beranjak menghampiri penjual untuk memesan makanan mereka, setelahnya dia kembali dengan dua gelas es teh manis.Dia meletakkan teh itu di meja,lalu ia duduk kembali dia sampingnya.
"Minum dulu,"ujarnya.
Aldara menerima gelas berisi es teh itu lalu meminumnya,menangis membuatnya merasa haus.
"Nama gue Albara,"ujarnya sambil mengulurkan tangan ke arahnya.
Ia menatap laki-laki itu, wajah tampannya diselimuti plester-plester di sana-sini, kulitnya cukup cerah untuk seorang pria, ditambah dengan postur tubuh yang tinggi dan proposional. Pemandangan itu mengingatkannya pada Alvaro, membuat Aldara enggan mengenal pria sejenis itu lebih jauh.
"Gue udah punya gebetan," gumam Aldara, mengabaikan uluran tangan laki-laki itu. Albara tersenyum simpul, menarik kembali tangannya.
"Gue cuma mau perkenalan, nggak ada maksud buat mendekati atau pacarin lo, kok. Lihat aja deh, siapa yang mau berani deketin cewek seperti lo?" ujarnya dengan nada santai.
Aldara mengerutkan kening, "Kenapa? Karena gue jelek?" tanyanya.
Albara menahan tawa, "Bukan jelek, tapi memprihatinkan. Mana ada orang yang nyari kesempatan, deketin cewek yang lagi terpuruk?" katanya, menunjuk pada ekspresi murung Aldara.
Ia mendengus, sebal meskipun tahu ada benarnya di dalam ucapan Albara.
Mendengar suara dengusan itu, Albara terkekeh. "Lagian lo ngapain berdiam di pinggir jembatan gitu? Kalau orang lain lihat, pasti langsung nyangka lo mau bunuh diri," ujarnya, seraya mengernyitkan dahi dengan keprihatinan.
Pada saat itu, Aldara menyadari bahwa mungkin memang dibalik sikap tegas dan pedas Albara, tersimpan niat baik yang tak disangka.
"Gue cuma diem aja, gak ada niat bunuh diri," ujar Aldara dengan nada datar.
"Gak ada tempat lain kah buat diem? Kalau kelepasan, bahaya. Bisa-bisa nanti lo bunuh diri tanpa sengaja."
"Emang ada ya bunuh diri tanpa sengaja? Kalau kayak gitu namanya kecelakaan." Albara tertawa lagi, sementara Aldara menatap heran laki-laki itu. Meskipun tidak ada yang lucu, laki-laki itu selalu saja tertawa.
"Gue punya kakak. Dulu, dia berniat buat mengakhiri hidupnya sendiri karena merasa hidupnya berat, padahal usia dia cuma terpaut satu tahun di atas gue. Tapi sekarang, dia jadi perempuan yang ceria. Bahkan, gue sampai bosan denger dia cerita tentang hal-hal bahagia yang dia alami," papar Albara tanpa rasa canggung.
"Seandainya dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dulu, mungkin dia gak akan ngerasain kebahagiaan yang dia alami sekarang. Sama kayak lo, kalau lo berniat mengakhiri hidup lo, sama aja lo menolak kebahagiaan yang akan terjadi di masa depan," ujar Albara sambil menatap Aldara dengan tatapan yang tulus dan penuh kepedulian.
"Gue udah bilang,gue gak mau mati,"ujar Aldara.
"Iya gue tau,tapi bisa jadi kan nanti Lo mikir buat mengakhiri hidup Lo,Lo harus ingat kata-kata gue."
"Sok banget nasihatin orang, liat tuh wajah lo babak belur!" ucap Aldara dengan nada tinggi.
"Ini?" tanya Albara sambil menunjuk luka-luka di wajahnya yang diangguki oleh Aldara.
"Ini bukti kalau gue cowok keren, fisik gue kuat. Cowok kan harus seperti gitu," ujar Albara sambil tersenyum bangga, seolah melupakan kesakitan yang membayangi.
Aldara menghela napas panjang, kesal melihat sikap laki-laki di depannya, "Udah tahu salah, malah bangga. Padahal kalau cewek yang kayak gitu, bisa dihujat habis-habisan."
"Ya cewek emang gak boleh," jawab Albara tegas.
Dada Aldara terasa sesak, ingatannya kembali pada dirinya yang menghajar laki-laki di depannya dan juga teman-temannya secara brutal.
Emosinya tersulut, "Cowok di sekitar dia apa gunanya? Kalau dia gak bisa lindungi itu cewek! Cewek itu harus dilindungi, bukan malah disakiti!" ujarnya.
Perlahan kelapalan tangan Aldara mengendur, setidaknya pandangan Albara tidak seburuk yang ia kira.
"Tapi kalau ceweknya babak belur karena bertarung sendiri,itu beda cerita."
"Kenapa?jelek ya?"
Albara menggeleng."Bukan jelek tapi keren,itu artinya dia bisa melindungi dirinya sendiri."
Pesanan mereka akhirnya datang,Albara sudah langsung fokus menyantap makanannya,sampai laki-laki itu tak menyadari jika Adara tengah menatapnya dengan tatapan tak biasa.