para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Jejak baru
Setelah peristiwa itu, Hutan Giripati kembali menjadi tempat yang sunyi, tetapi tidak sepenuhnya damai. Kehadiran Danu sebagai penjaga tidak bisa menghapus energi gelap yang telah tertanam di dalam hutan. Meskipun liontin itu hancur dan altar telah runtuh, sisa-sisa kekuatan kegelapan masih mengendap, menunggu waktu untuk bangkit kembali.
Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu. Maya tidak sepenuhnya lenyap.
Ketika Danu menyeretnya ke dalam kehampaan bersama altar, sebagian dari dirinya tetap bertahan, menjelma menjadi entitas bayangan yang kini memburu hutan. Tidak seperti Danu, yang terikat pada peran sebagai penjaga, Maya bebas berkeliaran, lebih berbahaya karena ia masih menguasai ilmu dan niat jahatnya.
Setelah insiden itu, desas-desus tentang Hutan Giripati kembali menyebar. Beberapa penjelajah yang nekad masuk melaporkan kejadian aneh: langkah kaki yang mengikuti mereka, suara tawa wanita dari balik pepohonan, dan bayangan yang bergerak tanpa sumber. Sebagian dari mereka tidak pernah kembali, hanya menyisakan barang-barang yang ditemukan oleh penduduk desa di pinggir hutan.
Di dalam hutan, Danu merasakan kehadiran Maya semakin kuat. Ia melihat sosoknya sesekali, bayangan wanita yang berdiri di antara pepohonan, tersenyum sinis ke arahnya. Namun, setiap kali Danu mendekatinya, Maya menghilang seperti asap, meninggalkan jejak tawa yang mengerikan.
“Aku tidak akan pergi, Danu,” suara Maya bergema di pikirannya. “Kamu menghentikan ritualku, tapi kamu tidak bisa menghentikanku selamanya. Kamu tahu, hutan ini sudah milik kita.”
Danu mulai kehilangan kendali atas hutan. Pohon-pohon yang dulu menurut padanya kini sering bergerak sendiri, membentuk jalur-jalur baru yang membawa penjelajah lebih dalam ke kegelapan. Angin yang berbisik membawa suara-suara yang memanggil orang untuk masuk, dan bayangan-bayangan yang mengikuti para pendatang tidak selalu milik Danu.
Ia menyadari bahwa Maya mulai mengambil alih, menggunakan energi sisa-sisa altar untuk menciptakan ruangnya sendiri di dalam hutan. Ia sedang membangun kekuatan baru.
Malam-malam menjadi semakin mencekam. Danu melihat Maya membawa roh-roh dari mereka yang tersesat di hutan, membentuk pasukan bayangan yang semakin besar. Mereka tidak menyerang, tetapi mengintai, menunggu perintah.
Danu tahu bahwa jika ia tidak bertindak, hutan ini akan kembali menjadi gerbang bagi sesuatu yang lebih besar—kegelapan yang pernah ia korbankan dirinya untuk menghentikannya.
Suatu hari, seorang pemuda bernama Arga, yang terkenal sebagai pencari harta karun dan pemburu sensasi, masuk ke dalam Hutan Giripati. Ia telah mendengar cerita tentang altar kuno dan artefak yang masih tersembunyi di dalamnya. Arga, seperti Maya, tidak percaya pada takhayul dan yakin bahwa cerita-cerita itu hanyalah bualan penduduk desa untuk menakut-nakuti orang luar.
Namun, tidak seperti Maya, Arga memiliki naluri yang tajam. Sejak langkah pertamanya, ia merasa bahwa hutan ini berbeda. Ada sesuatu yang mengawasinya, sesuatu yang berusaha menggiringnya ke arah tertentu.
Ketika ia menemukan reruntuhan altar, ia merasa kemenangan sudah di tangan. Tetapi di saat yang sama, Danu muncul dari bayang-bayang, mencoba memperingatkannya. Meski ia tidak bisa berbicara, Danu menggunakan ranting pohon dan angin untuk menulis pesan di tanah: “Pergi sebelum terlambat.”
Namun, sebelum Arga sempat membaca pesan itu, Maya muncul. Kali ini, ia tidak lagi hanya bayangan. Ia telah mendapatkan bentuk fisik baru—tubuhnya seperti kabut hitam dengan mata menyala merah, seperti makhluk yang sepenuhnya terbuat dari kegelapan.
“Dia tidak bisa melindungimu, anak bodoh,” ujar Maya dengan suara serak. “Hutan ini sudah milikku sekarang. Dan kamu akan menjadi bagian darinya.”
Danu melangkah maju, menghadapi Maya. Untuk pertama kalinya, dua kekuatan bayangan itu bertemu dalam wujud yang nyata. Pertarungan mereka tidak seperti pertempuran fisik—itu adalah perang kehendak, energi kegelapan melawan kehendak untuk menjaga.
Maya menyerang dengan akar-akar dan bayangan, mencoba melumpuhkan Danu. Namun, Danu menggunakan kekuatan terakhirnya untuk menahan serangan itu, melindungi Arga yang ketakutan.
“Bantu aku!” teriak Arga, meskipun ia tahu tidak ada yang bisa mendengar.
Danu memandangnya, memberi isyarat dengan gerakan tubuhnya untuk menghancurkan sesuatu. Arga akhirnya mengerti: sisa liontin yang ditemukan Maya. Itu masih menjadi sumber kekuatannya.
Dengan keberanian yang hampir nekat, Arga berlari menuju altar dan menemukan pecahan liontin itu di atas reruntuhan. Ia memukulnya dengan batu besar, mencoba menghancurkannya.
Maya berteriak marah, mengalihkan perhatian dari Danu. “Jangan sentuh itu!”
Namun, sebelum Maya bisa menyerang, Danu melompat ke arah Maya, memeluknya erat-erat seperti penjara bayangan. “Pergilah!” itulah pesan terakhir yang Danu sampaikan kepada Arga dengan gerakan pohon-pohon di sekitarnya.
Arga memukul liontin itu sekali lagi, dan kali ini, pecahan itu hancur berkeping-keping.
Ketika liontin itu hancur, energi gelap yang tersisa di altar tersedot kembali ke dalam tanah. Maya menjerit, tubuhnya mulai larut menjadi kabut, dan ia ditarik kembali ke dimensi kegelapan.
Danu, yang memegang Maya erat-erat, ikut tersedot bersamanya. Sebelum menghilang, Danu menoleh ke arah Arga, seperti memberikan isyarat terakhir—rasa terima kasih, dan juga peringatan.
Ketika semuanya selesai, hutan itu menjadi sunyi. Arga keluar dari Hutan Giripati dengan selamat, membawa cerita yang tidak akan pernah dipercaya siapa pun. Ia tahu bahwa ia telah melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat.
Namun, meski hutan itu kini tampak tenang, Arga masih merasa bahwa sesuatu tetap mengintai di dalamnya.
Dan di malam-malam tertentu, mereka yang mendekati Hutan Giripati masih bisa mendengar bisikan samar:
“Pergilah… jangan kembali….”