"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Shadow in The Archives
Ruang arsip terasa sunyi, dingin, dan seolah menyimpan rahasia yang terlalu gelap untuk dibagikan. Deretan rak tinggi dengan lampu neon yang berkedip-kedip menambah kesan mencekam. Udara di ruangan itu mengandung aroma kertas tua dan tinta yang memudar, menciptakan atmosfer yang tak ramah, seolah setiap sudut ruangan memperingatkan bahaya yang mengintai.
Darren berdiri dengan tubuh tegap, bersandar ringan pada rak besi di dekat pintu, tangan terlipat di dada. Wajahnya, yang biasanya santai dan menggoda, kini penuh ketegangan. Sorot matanya menajam ke arah pintu, menunggu langkah berikutnya dengan kesabaran predator.
Langkah sepatu terdengar mendekat, bergema di lorong sempit. Pintu berderit terbuka perlahan, cahaya dari luar hanya sempat membias di lantai sebelum Darren menyalakan lampu dengan satu gerakan cepat.
Lampu neon berkedip sejenak sebelum menyala sepenuhnya, menerangi ruangan yang tiba-tiba menjadi saksi bisu dari konfrontasi ini. Nadia, seorang wanita dengan rambut gelap yang rapi dan raut wajah tegang, terkejut. Matanya melebar ketika melihat Darren sudah menunggunya di sana.
“Aku tahu itu kau,” kata Darren, suaranya rendah namun tajam seperti bilah pisau yang baru diasah.
Nadia berusaha menenangkan dirinya, dagunya terangkat sedikit, mencoba mempertahankan wibawanya. “Apa maksudmu? Aku hanya mencari dokumen lama.”
“Jangan coba-coba berbohong,” Darren memotongnya tanpa ragu, langkahnya perlahan mendekati Nadia. Sorot matanya penuh ancaman, kontras dengan senyum kecil yang menghiasi bibirnya, sebuah senyum yang lebih menyerupai peringatan daripada keramahan. "Aku punya bukti. Kau memalsukan laporan. Dan mencoba menjebak Elea. Kau pikir aku akan diam saja?”
Wajah Nadia memucat, meskipun ia berusaha keras menyembunyikan rasa gugupnya. “Kau tidak punya bukti apapun,” katanya, suaranya terdengar sedikit bergetar.
Darren menyeringai, langkahnya berhenti tepat di depan Nadia. “Aku punya,” katanya pelan namun penuh tekanan. Dari balik sakunya, ia mengeluarkan sebuah map tipis dan melambai-lambaikannya dengan santai. “Bagaimana kalau aku kirim ini ke bos kita? Menurutmu, siapa yang akan mereka percaya?”
Nadia terdiam, wajahnya penuh ketegangan. Ia tahu ia terjebak, tapi ia tetap mencoba melawan. “Kau tidak akan melakukannya. Itu hanya omong kosong.”
Darren mendekat lebih jauh, membungkukkan tubuhnya sedikit sehingga wajahnya sejajar dengan Nadia. Wajah yang biasanya ceria dan penuh lelucon kini menjadi topeng dingin yang menakutkan. “Kau mau coba keberuntunganmu?” bisiknya dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri. “Kau salah pilih lawan, Nadia. Mulai sekarang, aku akan memastikan setiap langkahmu diawasi.”
Nadia terdiam beberapa detik, lalu mundur setengah langkah. Ia terlihat seperti sedang mencoba memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini.
Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, suara lain terdengar dari belakang Darren.
“Darren,” suara Elea tegas dan datar, namun ada nada kekecewaan yang tidak bisa disembunyikan. “Apa yang kau lakukan?”
Darren langsung berbalik, ekspresinya berubah dalam sekejap. Dari seorang pria yang mendominasi menjadi sosok polos yang hampir terlihat seperti anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan. “Elea! Aku hanya... mencoba membereskan masalah.”
Elea, wanita tinggi dengan rambut terikat rapi, berdiri di ambang pintu. Mata cokelat gelapnya menatap tajam, lebih tajam dari lampu neon di atas kepala mereka. “Masalah? Dengan ancaman? Darren, kau pikir ini cara yang benar?”
Darren menggaruk tengkuknya, menyeringai kecil seperti anak kecil yang mencoba meredakan amarah ibunya. “Dia mencoba menghancurkanmu, Elea. Aku hanya—”
“—Hanya membuat segalanya lebih buruk,” potong Elea, mendekat dengan langkah mantap. Ia memandang Nadia sekilas, lalu kembali pada Darren. “Kita bicara nanti. Sekarang, keluar dari sini.”
Darren menatap Elea beberapa detik, ragu untuk meninggalkan Nadia begitu saja. Namun, tatapan Elea yang dingin tidak memberi ruang untuk perdebatan. Dengan enggan, ia mengangkat kedua tangannya dalam gerakan menyerah, berjalan keluar sambil bergumam, “Kau terlalu baik untuk orang seperti dia.”
Saat Darren melewati Elea, ia sempat melirik ke arahnya dan mengedipkan mata seperti biasanya. "Jangan marah terlalu lama padaku. Aku hanya ingin membantu.”
***
Ruang arsip kembali sunyi setelah pintu tertutup. Elea berdiri tegak, menghadap Nadia yang masih mematung di dekat rak dokumen. Cahaya lampu neon di atas kepala mereka berpendar lembut, menciptakan bayangan samar yang menekankan ketegangan di wajah Nadia. Elea melipat tangan di depan dada, ekspresinya tetap dingin dan tegas.
“Nadia,” suara Elea akhirnya memecah keheningan, tenang tapi penuh kekuatan. “Kita berdua tahu kenapa kau ada di sini malam-malam begini. Aku tak perlu bukti untuk membaca niatmu.”
Nadia mencoba terlihat tenang, tapi gerakan tangannya yang meremas ujung blazer menunjukkan sebaliknya. “Aku hanya ingin memeriksa laporan lama. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?”
“Laporan lama?” Elea menaikkan satu alis, senyuman kecil yang tidak bersahabat muncul di bibirnya. “Laporan mana yang membutuhkan akses khusus dan pintu belakang untuk masuk? Jangan remehkan kecerdasan orang lain, Nadia. Aku sudah cukup lama bekerja di sini untuk tahu apa yang kau lakukan.”
Nadia membuka mulut untuk membela diri, tapi Elea mengangkat satu tangan, menghentikannya sebelum sempat bicara. “Darren mungkin terlalu impulsif, tapi dia tidak salah tentang satu hal—kau bermain api. Dan api itu sekarang hampir membakar habis reputasimu.”
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” jawab Nadia akhirnya, mencoba mengangkat dagunya. Tapi suaranya terdengar lemah, tanpa keyakinan.
Elea mengambil satu langkah maju, jarak mereka kini hanya beberapa meter. “Kau bisa terus menyangkal, tapi aku sudah punya salinan laporan yang kau edit. Jejak digitalnya? Masih ada. Bukankah menarik bagaimana teknologi meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus?”
Wajah Nadia memucat, senyumnya lenyap. “Kau tidak punya hak untuk menghakimi aku,” katanya, nadanya hampir seperti bisikan. “Kau tidak tahu apa-apa tentangku atau kenapa aku melakukan ini.”
Elea memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya tetap tidak berubah. “Aku tahu cukup banyak. Kau merasa terancam, ingin menjatuhkan orang lain untuk menyelamatkan posisimu sendiri. Tapi ini bukan tentang apa yang aku tahu. Ini tentang apa yang kau lakukan.”
Ruangan terasa semakin sempit dengan ketegangan di antara mereka. Elea mendekatkan diri lagi, suaranya lebih rendah namun lebih dingin. “Aku tidak di sini untuk menyelamatkanmu, Nadia. Kau sudah cukup dewasa untuk tahu konsekuensi dari tindakanmu. Tapi aku di sini untuk memastikan kau tidak menyakiti orang lain lagi. Mulai besok, aku akan menyerahkan semua bukti ini ke manajemen, terutama, Harland.”
“Elea, tunggu,” kata Nadia dengan nada putus asa, akhirnya kehilangan kontrol. “Aku—aku hanya... aku butuh waktu untuk menjelaskan. Ada alasan di balik semua ini.”
Elea mengerutkan kening, tetapi ia tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Nadia, matanya tajam seolah menilai apakah wanita itu pantas mendapatkan kesempatan kedua.
“Aku tidak di sini untuk mendengarkan alasan, Nadia. Jika ada sesuatu yang perlu kau sampaikan, katakan di depan manajemen. Malam ini sudah selesai.” Elea berbalik, langkahnya tegas menuju pintu.
***
Di luar ruang arsip, Darren bersandar di dinding, menunggu Elea dengan gaya santai yang hampir berlebihan. Ketika Elea muncul, ia segera menyeringai lebar. “Kukira kau akan butuh bantuan lagi. Ternyata bisa sendiri, ya?”
Elea mendesah, menatap Darren dengan tajam. “Kau pikir ini permainan, Darren? Kau tahu apa yang kau lakukan tadi bisa membahayakan kita berdua? Jangan terlalu sok jadi pahlawan.”
Darren mengangkat bahu, tangannya masuk ke saku celana. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Kau terlalu sibuk jadi wanita super yang menjaga dunia tetap aman.”
Elea mendekat, berdiri tepat di depan Darren. Wajahnya yang biasanya tenang kini penuh emosi yang sulit ditebak. “Darren, dengar baik-baik. Aku tidak butuh seseorang yang bertindak seperti anak kecil dan membahayakan segalanya. Kau pikir ancaman itu solusi?”
“Aku hanya ingin melindungimu!” Darren akhirnya menaikkan suaranya, tapi masih dengan nada yang penuh frustrasi. “Apa salahku kalau aku tidak mau ada orang sepertinya menyakitimu?”
“Menyakitiku bukan urusanmu, Darren!” balas Elea, suaranya tegas. “Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Keheningan merebak di antara mereka. Darren menatap Elea dengan ekspresi yang sulit diartikan, campuran rasa sakit dan kebingungan. Akhirnya, dia berkata dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Aku tahu kau bisa, Elea. Tapi kau tidak harus melakukannya sendirian.”
Elea menghela napas panjang, lelah, tapi ada sesuatu di mata Darren yang membuatnya tak bisa berkata lebih. Sebuah perasaan yang ia coba abaikan—perasaan bahwa Darren, dengan segala kekurangannya, benar-benar peduli. Ia memilih tidak menjawab, hanya berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Darren berdiri di sana, menatap punggungnya dengan pandangan yang penuh tekad.
***