Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyiksaan yang lebih menakutkan
Anna menggigil di sudut selnya, tubuhnya tertelan bayangan tembok lembab yang kini terasa semakin menyempit. Segala yang membuat ruang dingin itu sedikit lebih manusiawi telah direnggut. Benang dan jarumnya, uang receh yang ia kumpulkan dengan susah payah—akan disita. Ia mendengar tawa dingin petugas yang merampas semuanya dengan keserakahan yang tak tertutup seragam mereka.
"DI PENJARA TIDAK BOLEH MENGHASILKAN UANG, NONA!" suara itu menggema, tajam, seolah mengiris sarafnya satu per satu.
Anna membeku, tuduhan itu menggantung di lehernya seperti jerat yang semakin kencang. Ia dituduh memperkaya diri, menyelundupkan barang-barang, bekerja di balik bayang-bayang sel penjara. Dua petugas wanita berbadan besar menatapnya dengan dingin, tangan mereka mencengkeram lengan Anna seperti belenggu besi yang tak akan membiarkannya lepas.
"Katakan siapa yang membantumu!" bentak salah satu petugas, ludahnya hampir mengenai wajah Anna.
Anna tetap diam. Ia mencoba mengingat, mencoba mencari celah di balik kepanikan yang berusaha merasukinya. Tidak ada yang membantunya. Tidak ada sekutu, tidak ada tangan tersembunyi yang memudahkan jalannya. Seharusnya hanya Harry Zhao yang tahu. Tapi… mungkinkah ini ulah Ethan?
Pikiran itu menamparnya lebih keras daripada seribu belati.
Siapa yang membantuku ? Hanya Harry.
Siapa yang ingin menghancurkanku? Hanya Ethan.
Ethan ingin melihatnya jatuh. Ethan ingin menyeretnya lebih dalam ke dalam kubangan penderitaan, menyaksikan dirinya tenggelam tanpa harus mengotori tangannya sendiri. Ini permainannya. Ini caranya menghancurkan Anna perlahan-lahan, membuatnya merasakan ketidakberdayaan yang mencekik tanpa jalan keluar.
Di kejauhan, suara gaduh terdengar. Harry Zhao diseret keluar lebih awal, tubuhnya terseret seperti bangkai yang tidak dihargai. Matanya sempat bertemu dengan Anna—pandangan itu dipenuhi peringatan, kepanikan yang disamarkan di balik wajah yang berusaha tetap tegar.
"Ruang sel lebih menyiksa," kata salah satu petugas, suaranya hampir terdengar puas.
Anna tahu, inilah awal dari neraka yang lebih dalam. Dan kali ini, Ethan sedang duduk di suatu tempat, menyaksikannya tenggelam dalam kegelapan.
Anna masih berdiri di tempatnya, matanya membara penuh amarah, tetapi tubuhnya tak lebih dari bayangan yang kehilangan daya. Dua petugas di depannya menyeringai puas, seperti kucing liar yang baru saja mencabik mangsanya.
Tangan Anna bergetar ketika mereka merampas benang, jarum, dan gunting dari genggamannya. Ia bertahan seolah nyawanya tergantung pada benda-benda kecil itu, tapi usaha sia-sianya hanya membuat mereka semakin menikmati pertunjukan ini.
"Ah… lihat ini," salah satu petugas mencibir, mengangkat jarum yang kini berlumur darah dari tangan Anna. "Sekecil ini saja kau pertahankan seperti harta karun. Kau pikir ini akan menyelamatkanmu?"
Anna tak menjawab. Ia hanya merasakan perih merayap di jemarinya, darah hangat menetes di lantai. Tapi lebih sakit dari lukanya adalah kenyataan bahwa bahkan sekeping mimpi kecil pun telah dirobek dari dirinya.
"Aw," erangnya lirih, nyaris seperti bisikan yang tenggelam di tengah tawa sinis petugas.
"Kau pikir kau siapa di sini?" seorang petugas mendekat, wajahnya dipenuhi kepuasan. "Seorang putri yang masih boleh merajut mimpinya? Sayang sekali, nona. Di penjara, kau bahkan dilarang untuk bermimpi."
Anna menelan ludah. Ia tahu aturan ini kejam, tapi mendengarnya diucapkan dengan nada penuh ejekan itu terasa lebih menyakitkan.
Ketika kedua petugas itu mulai menyeretnya pergi, Anna hanya bisa pasrah. Tangan-tangan dingin itu mencengkeram lengannya dengan kasar, siap membawa dirinya ke tempat yang lebih mengerikan. Tapi sebelum langkahnya semakin jauh, semuanya berubah.
Harry Zhao muncul di antara mereka, menerobos barisan petugas dengan wajah setegas baja. Tanpa ragu, ia menghadang setiap tangan yang hendak menyeret Anna.
Mata Anna bertemu dengan matanya. Tatapan penuh keyakinan, penuh keberanian, tetapi juga penuh kebodohan.
"Ia tidak bersalah," suara Harry terdengar seperti gemuruh yang membelah ruangan. "Ini semua perbuatanku. Ia tak tahu apa-apa. Aku yang memberinya kenyamanan."
Sejenak, keheningan menguap. Lalu, petugas itu tertawa—tawa yang terdengar lebih seperti penghinaan ketimbang hiburan.
"Oh? Rupanya kau bosnya?" ia menyipitkan mata penuh ejekan. "Membuat sindikat sendiri di penjara? Wah, luar biasa. Aku hampir kagum."
Harry menunduk sedikit. Ia tahu kata-kata tidak akan mengubah apa pun. Tapi setidaknya, Anna tak perlu ikut terseret lebih dalam.
Razia ini bukan kebetulan. Tidak ada sipir yang bisa disuap, tidak ada yang bisa ditebak. Ini permainan yang lebih besar dari yang ia kira.
"Bawa dia pergi!" suara dingin itu kembali terdengar.
Anna hanya bisa melihat ketika borgol mulai mengikat tangan Harry. Ia ingin berteriak, ingin melakukan sesuatu—tetapi ia tahu, melawan hanya akan membuat semuanya lebih buruk.
"Jangan sentuh dia!" suara Harry meledak marah.
Petugas itu menyeringai. "Tenang saja," katanya, seakan menampar wajah Harry begitu keras hingga sudut hatinya pecah. "Aku tidak akan menyentuhnya. Tapi dia akan berbicara. Dia akan memberi tahu kami siapa saja sipir yang menerima uang dari kalian."
Anna tercekat.
"Interogasi dia. Bawa dia pergi."
Sebelum Harry diseret menjauh, ia menoleh pada Anna. Tatapannya berbicara dalam keheningan.
Jangan khawatir. Aku akan menyelesaikan ini.
Anna ingin mempercayainya. Tapi bagaimana?
Ketika ia mulai diseret pergi oleh dua petugas wanita, Harry berusaha meraih tangannya. Hanya seujung jemari. Seakan genggaman kecil itu adalah satu-satunya sisa kekuatan yang ia miliki.
Tapi tangan mereka segera dipisahkan dengan kasar. Salah satu petugas tertawa, memandang mereka dengan tatapan penuh hinaan.
"Jangan-jangan kalian berdua sudah menikmati ranjang penjara bersama?"
Wajah Harry menegang, kemarahannya meledak seketika. "Cukup! Anna bukan seperti itu!"
Tapi petugas itu tak berhenti. "Oh? Kau membelanya? Kenapa? Karena dia sumber kenyamananmu di sini?" Ia mencondongkan tubuhnya, suaranya semakin merendahkan. "Bukankah lebih masuk akal? Kau memberinya kenyamanan, dia memberimu kehangatan. Ranjang sel yang sempit itu… pasti cukup untuk dua orang, bukan?"
Wajah Harry berubah dingin. Ia ingin melawan. Ingin menghancurkan mereka. Tapi rantai di tangannya membatasi segalanya.
Ia pikir selama ini ia melindungi Anna. Bahwa ia membantunya bertahan.
Tapi sekarang, ia sadar—ia bukan membawa harapan untuknya.
Ia membawa kehancuran.
Harry berdiri tanpa gentar, matanya menantang seperti binatang buas yang sudah terluka tapi tetap siap menerkam. Ia tahu mereka menunggu saatnya ia jatuh, menunggu ketika ia kehabisan tenaga untuk melawan.
Tapi mereka akan kecewa.
"Jangan seret Anna."
Nada suaranya datar, tapi ada kemarahan yang menggelegak di dalamnya.
Para petugas itu hanya menatapnya, seakan menunggu kelanjutan dari sandiwara tragis ini. Lalu, salah satu dari mereka tertawa—tawa rendah yang sarat dengan penghinaan.
"Oh? Lihat siapa yang ingin jadi pahlawan."
Harry tetap diam, tetapi ekspresinya tak berubah.
"Kau pikir kami ini monster? Tidak, Harry Zhao. Kami hanya menjalankan tugas. Kau yang membuat ini jadi sulit."
Seorang petugas lain berjalan mendekat, menatapnya seolah sedang mengamati makhluk kecil yang tak tahu diri.
"Bagi kalian, dia hanya mainan, kan? Objek yang bisa kalian hancurkan sesuka hati." Harry berbicara pelan, tapi nada suaranya tajam. "Tapi dia tidak tahu apa-apa. Jika kalian ingin menghajar seseorang, hajar aku. Aku akan menerimanya."
Petugas itu menyeringai, lalu menepuk bahu Harry dengan penuh kepalsuan.
"Kau benar-benar mengorbankan diri seperti seorang pria sejati, ya?" katanya, suaranya begitu manis hingga terasa seperti racun. "Tapi, katakan padaku, bagaimana rasanya menjadi pria yang begitu murah hati… sementara wanita yang kau lindungi tetap tidak akan lebih dari seonggok daging di tempat ini?"
Harry mengepalkan tangannya.
Petugas itu mendekat, semakin dekat, lalu membisikkan sesuatu tepat di telinganya.
"Kau tahu apa yang lebih buruk dari disiksa? Menjadi pria yang kehilangan segalanya, termasuk harga diri wanitanya. Bukankah itu jauh lebih menyakitkan?"
Tawa mereka pecah lagi.
Anna menggigit bibirnya, menahan gemuruh dalam dadanya. Mereka tidak hanya ingin menyakitinya, mereka ingin meremukkan sesuatu yang tidak akan bisa pulih kembali.
Tapi di tengah keributan itu, ada satu orang yang tetap diam.
Seorang petugas wanita.
Ia tidak tertawa. Tidak mengejek. Tidak bersorak seperti yang lain.
Sebaliknya, tangannya dengan tenang menyelinap ke dalam sakunya, di mana perangkat kecil telah merekam setiap kata sejak awal.
Tanpa suara, tanpa ekspresi, ia menekan satu tombol.
Sebuah rekaman terkirim.
Di suatu tempat, seorang pria duduk tenang di kursi rodanya. Matanya terpaku pada layar kecil, mendengarkan setiap detik penghinaan itu.
Ia tidak tertawa. Tidak tersenyum. Tapi sudut bibirnya terangkat sedikit, samar, hampir tidak terlihat.
Ia menikmati ini.
Permainan telah berubah arah.
Dan Harry Zhao?
Ia baru saja menandatangani vonisnya sendiri.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?