Laila, seorang gadis muda yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu, tiba-tiba terjebak dalam misteri yang tak terduga. Saat menemukan sebuah perangkat yang berisi kode-kode misterius, ia mulai mengikuti petunjuk-petunjuk yang tampaknya mengarah ke sebuah konspirasi besar. Bersama teman-temannya, Keysha dan Rio, Laila menjelajahi dunia yang penuh teka-teki dan ancaman yang tidak terlihat. Setiap kode yang ditemukan semakin mengungkap rahasia gelap yang disembunyikan oleh orang-orang terdekatnya. Laila harus mencari tahu siapa yang mengendalikan permainan ini dan apa yang sebenarnya mereka inginkan, sebelum dirinya dan orang-orang yang ia cintai terjerat dalam bahaya yang lebih besar.
Cerita ini penuh dengan ketegangan, misteri, dan permainan kode yang membawa pembaca masuk ke dalam dunia yang penuh rahasia dan teka-teki yang harus dipecahkan. Apakah Laila akan berhasil mengungkap semuanya sebelum terlambat? Atau akankah ia terjebak dalam jebakan yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jalan di antara bayangan
Kegelapan malam semakin pekat saat Laila, Keysha, dan Rio memutuskan untuk berkumpul di rumah Keysha. Peta misterius yang mereka temukan siang tadi kini terbuka lebar di meja ruang tamu. Rasa penasaran mereka bercampur dengan ketegangan setelah kejadian di perpustakaan dan sosok misterius yang sempat mereka lihat.
“Aku nggak tahu, tapi aku merasa kita terlalu jauh masuk ke dalam ini,” Rio memulai sambil menatap peta. “Orang-orang ini jelas nggak mau kita tahu sesuatu.”
“Tapi justru itu alasannya kenapa kita harus lanjut,” jawab Laila. Tatapan matanya tajam, penuh tekad. “Apa pun yang mereka sembunyikan, itu penting.”
Keysha mengangguk pelan. “Aku setuju sama Laila. Kita udah mulai, dan nggak ada jalan balik.”
Setelah menelusuri peta, perhatian mereka tertuju pada satu titik terakhir yang belum mereka kunjungi: gedung tua di belakang sekolah. Tempat itu sudah lama dibiarkan kosong dan dianggap menyeramkan oleh sebagian besar siswa. Banyak cerita beredar bahwa gedung itu adalah tempat terjadi kecelakaan tragis bertahun-tahun lalu, tapi tidak ada yang tahu pasti kebenarannya.
“Gedung itu... apa kalian yakin mau ke sana?” Rio bertanya, terlihat ragu.
“Kalau kamu nggak mau ikut, nggak apa-apa,” sahut Laila. “Tapi aku harus ke sana.”
Rio mendesah berat. “Baiklah. Aku ikut.”
Mereka bertiga tiba di gedung tua itu sekitar pukul delapan malam. Angin malam yang dingin membuat suasana semakin mencekam. Bangunan tersebut terlihat semakin suram di bawah cahaya bulan yang redup. Jendela-jendela pecah, pintu kayu berderit, dan cat dinding yang sudah mengelupas menciptakan aura yang tidak bersahabat.
“Kalau ada apa-apa, kita keluar secepatnya, oke?” kata Keysha sambil menggenggam senter.
Mereka masuk ke dalam gedung, dan aroma lembap langsung menyambut mereka. Laila memimpin di depan, mencoba mengabaikan suara-suara aneh yang terdengar seperti bisikan di kejauhan. Di tangannya ada peta, dengan satu tanda X besar yang mengarahkan mereka ke ruang bawah tanah.
“Kenapa selalu ruang bawah tanah?” keluh Rio pelan, mencoba meredakan kegugupannya.
Di ruang bawah tanah, mereka menemukan sebuah peti besi yang terkunci. Di atas peti tersebut terdapat tulisan dalam bahasa Latin: “Clavis vera in corde abscondita est.”
“Apa maksudnya?” tanya Keysha sambil memegang lentera lebih dekat.
“Itu berarti ‘Kunci sejati tersembunyi di dalam hati,’” jawab Laila, mengingat pelajaran Latinnya.
Rio mengerutkan kening. “Tersembunyi di hati? Apa maksudnya? Kita nggak punya kunci buat buka ini.”
Laila memeriksa peti itu lebih dekat dan menemukan lubang kecil di sisi kiri. Dia mengeluarkan kunci yang dia temukan di perpustakaan, berharap itu cocok. Tapi kunci itu terlalu kecil.
“Berarti ini bukan kunci yang benar,” gumam Laila.
“Tapi bukannya ada petunjuk lain di perpustakaan? Mungkin kita melewatkan sesuatu,” Keysha menambahkan.
Mereka kembali ke perpustakaan dengan tergesa-gesa. Perasaan gelisah membayangi perjalanan mereka, terutama dengan bayangan pria misterius yang masih melekat di ingatan mereka. Ketika mereka sampai di perpustakaan, mereka langsung menuju rak tempat mereka menemukan buku Jejak yang Terlupakan.
“Lihat ini,” kata Keysha sambil menarik kertas kecil yang diselipkan di halaman lain buku tersebut.
Di atas kertas itu terdapat diagram berbentuk lingkaran dengan simbol-simbol aneh yang mengelilinginya. Ada kata-kata samar yang tertulis di tengahnya: “Lihatlah ke arah cermin dan kau akan menemukan kunci.”
“Cermin?” tanya Rio, bingung.
“Ruang cermin,” bisik Laila. “Di dekat aula tua, kan?”
Ruang cermin adalah salah satu tempat paling aneh di sekolah mereka. Itu adalah ruangan kecil yang penuh dengan cermin-cermin besar, awalnya digunakan sebagai studio tari sebelum ditinggalkan bertahun-tahun lalu. Ketika mereka tiba di sana, suasana ruangan terasa berat, seolah-olah mereka sedang diawasi.
Di salah satu cermin terbesar, ada simbol aneh yang sama seperti di diagram kertas. Ketika Laila menyentuh cermin itu, simbol tersebut bersinar redup dan mengeluarkan suara klik kecil. Sebuah laci rahasia terbuka di bawah cermin, memperlihatkan kunci emas kecil.
“Ini dia!” seru Rio dengan antusias.
“Tunggu,” bisik Laila sambil memeriksa kunci itu dengan hati-hati. “Kita nggak tahu apa yang akan terjadi setelah kita buka peti itu.”
Mereka kembali ke gedung tua dan menggunakan kunci emas untuk membuka peti besi. Di dalamnya, mereka menemukan buku tua dengan sampul kulit yang sudah usang. Judulnya hanya satu kata: “Veritas”—yang berarti “kebenaran.”
Ketika Laila membuka buku itu, halaman-halamannya dipenuhi dengan tulisan tangan dan kode-kode yang sulit dipahami. Namun, satu halaman mencuri perhatian mereka. Halaman itu berisi nama-nama siswa, termasuk nama Laila di antaranya.
“Apa-apaan ini?” tanya Keysha dengan nada panik.
Rio menunjuk beberapa nama lain. “Ini semua nama siswa yang... hilang atau meninggal?”
Wajah Laila memucat. “Berarti ini lebih dari sekadar permainan. Ada sesuatu yang sangat salah di sekolah ini.”
Sebelum mereka sempat membaca lebih jauh, pintu ruang bawah tanah tiba-tiba tertutup keras. Suara langkah kaki menggema di atas mereka. Laila segera mematikan senter, memberi isyarat agar yang lain diam.
Bayangan seorang pria muncul di tangga. Mereka menahan napas, berdoa agar tidak ditemukan. Pria itu memegang pisau besar, berjalan perlahan menuju mereka.
“Siapa di sini?” suaranya berat dan menggema. “Kalian nggak seharusnya ada di sini.”
Ketegangan memuncak saat mereka bertiga berusaha mencari jalan keluar tanpa menarik perhatian. Namun, tanpa sengaja, Keysha menjatuhkan lentera, membuat suara keras yang membuat pria itu menoleh tajam.
“Lari!” bisik Laila dengan panik.
Mereka berlari secepat mungkin, mendengar langkah kaki pria itu yang semakin dekat. Kegelapan dan rasa takut menguasai mereka, tetapi satu hal jelas: mereka harus bertahan hidup dan mengungkap kebenaran di balik semua ini.
Langkah kaki mereka bergema di sepanjang lorong gelap gedung tua. Nafas Laila tersengal-sengal, namun dia tidak berani berhenti. Keysha dan Rio mengikuti di belakangnya, ketakutan terpancar di wajah mereka. Suara pria misterius dengan pisau besar itu terus membuntuti mereka, langkahnya semakin dekat.
"Kanan atau kiri?" bisik Rio, panik, ketika mereka tiba di persimpangan lorong.
"Kanan!" jawab Laila tegas, mengambil keputusan tanpa pikir panjang.
Mereka berlari memasuki lorong yang lebih sempit dan gelap. Bau lembap semakin menusuk, dan udara terasa semakin berat. Laila menggenggam erat buku Veritas yang berhasil mereka ambil dari peti, sadar bahwa isi buku ini mungkin menjadi jawaban atas semua misteri yang mereka hadapi.
Mereka menemukan pintu kecil di ujung lorong dan segera masuk, menutup pintu rapat-rapat. Rio menahan pintu itu dari dalam, sementara Keysha menyalakan lentera kecil untuk menerangi ruangan. Di dalamnya hanya ada rak-rak tua berdebu dan beberapa kotak kayu yang terlihat seperti sudah bertahun-tahun tidak disentuh.
“Apa kita aman?” tanya Keysha dengan suara gemetar.
Rio menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengarkan langkah di luar. “Dia masih di sana...,” bisiknya. “Kita nggak bisa keluar sekarang.”
Laila mengeluarkan buku Veritas dan membuka halaman yang tadi mereka lihat. Nama-nama siswa yang tertulis di sana terus menghantuinya. Ada sesuatu yang janggal—bukan hanya karena namanya ada di sana, tapi juga nama Keysha dan Rio.
“Lihat ini,” kata Laila sambil menunjukkan halaman itu. “Kita semua ada di sini.”
Keysha menatap halaman itu dengan alis berkerut. “Kenapa nama kita ada di sini? Maksudku, aku bahkan nggak tahu soal buku ini sebelumnya.”
“Itu dia masalahnya,” jawab Laila. “Aku rasa... ini bukan kebetulan. Buku ini kayaknya tahu lebih banyak tentang kita daripada kita sendiri.”
Rio melirik ke arah pintu, kemudian kembali ke mereka. “Jadi, apa rencana kita? Kita nggak bisa terus-terusan sembunyi di sini.”
Saat Laila membalik halaman buku, dia menemukan sesuatu yang aneh: sebuah kode baru yang tertulis di sudut halaman dengan tinta merah. Kodenya berbunyi:
“142 – D, 5L – Kunci masa lalu ada di tempat yang menghadap masa depan.”
“Apa maksudnya ini?” tanya Keysha, bingung.
Rio mengambil buku itu dari tangan Laila dan memeriksanya lebih dekat. “142? Apa ini angka ruangan? Atau mungkin angka di gedung sekolah?”
“Yang jelas, ‘tempat yang menghadap masa depan’ itu petunjuk,” gumam Laila. “Mungkin... laboratorium? Atau aula sekolah?”
“Aku nggak yakin,” sahut Keysha. “Tapi kita harus segera cari tahu. Kalau nggak, kita bakal terus-terusan dikejar.”
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, suara langkah kaki di luar pintu akhirnya menghilang. Rio mengintip melalui celah kecil di pintu dan memberi isyarat bahwa mereka bisa keluar. Dengan hati-hati, mereka kembali ke lorong dan menuju pintu keluar gedung.
“Besok pagi, kita cari tahu soal kode ini,” kata Laila sambil mengusap keringat di dahinya. “Sekarang, kita harus kembali dan istirahat.”
“Tapi gimana kalau orang itu masih ada di sekitar sini?” tanya Keysha, cemas.
“Kita nggak punya pilihan,” sahut Rio. “Kalau kita tetap di sini, kita justru bakal ketahuan.”
Malam itu, setelah mereka berpisah, Laila tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan kode yang mereka temukan. Rasa penasarannya semakin memuncak, tapi dia juga merasa takut—takut bahwa apa pun yang mereka temukan nanti mungkin lebih besar daripada yang mereka bayangkan.
Di kamarnya, Laila membuka kembali buku Veritas. Dia memperhatikan pola-pola di setiap halaman, mencari sesuatu yang mungkin terlewatkan. Saat itulah dia menyadari bahwa di setiap halaman, ada titik-titik kecil yang nyaris tidak terlihat, membentuk sebuah pola.
Dia mengambil lampu UV kecil dari mejanya dan menyinari halaman itu. Pola-pola tersebut tiba-tiba menjadi lebih jelas, membentuk sebuah simbol yang mirip dengan peta sekolah.
“Ini dia...” bisik Laila. “Semua ini terkait dengan sekolah.”
Laila segera menghubungi Keysha dan Rio lewat pesan singkat, memberi tahu mereka soal penemuannya. Dia tahu, esok hari akan menjadi lebih menegangkan—dan penuh dengan rahasia yang harus mereka ungkapkan.
apa rahasianya bisa nulis banyak novel?