Di Sektor 5, kekuasaan, loyalitas, dan reputasi adalah segalanya. Setelah cedera menghentikan karier balapnya, Galang kembali ke kota asal hanya untuk mendapati jalanan dikuasai oleh 12 geng brutal, dipimpin oleh Blooded Scorpio yang kejam. Ketika sahabatnya, Tama, menjadi korban, Galang terpaksa kembali ke dunia balapan liar dan pertarungan tanpa ampun untuk mencari keadilan. Dengan keterampilan balap dan bela diri yang memukau, ia menantang setiap pemimpin geng, menjadi simbol harapan bagi banyak orang di tengah kekacauan. Namun, musuh terbesar, Draxa, pemimpin Blooded Scorpio, menunggu di puncak konflik yang dipenuhi pengkhianatan dan persatuan tak terduga, memaksa Galang menghadapi bukan hanya Draxa, tetapi juga dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banu Sahaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantangan Dari Pemburu
Hari itu terasa lebih tenang dari biasanya di dojo kecil Pak Dharma. Matahari memancarkan sinarnya dengan lembut di atas Sektor 5, tetapi di balik ketenangan itu, Tama merasakan sesuatu yang ganjil. Ia memperhatikan Galang, yang sedang memeriksa Honda CBR 1000RR Fireblade miliknya di halaman dojo. Motor itu sudah menjadi bagian dari hidup Galang—sebuah simbol kekuatan dan keteguhan yang terus bersinar di tengah tekanan dunia jalanan.
“Kamu kelihatan terlalu santai hari ini,” kata Tama sambil mengamati Galang dengan seksama. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu dojo, segelas teh hangat di tangannya.
Galang tidak langsung menjawab. Ia memasang kembali baut di sisi mesin Fireblade dengan presisi, seolah-olah sedang mempersiapkan sesuatu yang besar. Setelah beberapa saat, ia menoleh ke Tama. “Aku tidak tahu apa yang akan datang, Tama, tapi aku tahu ini belum selesai.”
Tama mendengus kecil. “Itu sudah jelas. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka yakin kamu bukan ancaman. Masalahnya, setiap kali kamu menang, itu hanya membuat mereka lebih penasaran.”
“Aku tidak mencari perhatian,” balas Galang sambil berdiri dan menyeka tangannya dengan kain. “Aku hanya melindungi apa yang penting bagiku.”
Tama terdiam. Ia tahu Galang tidak punya pilihan, tetapi setiap kali Galang keluar dari dojo untuk menghadapi musuh berikutnya, Tama tidak bisa menahan rasa khawatirnya. Kali ini, ia merasa sesuatu yang lebih besar akan datang—sesuatu yang lebih berbahaya daripada apa yang mereka hadapi sebelumnya.
Malam itu, keheningan dojo pecah oleh suara deru motor yang mendekat. Tama keluar lebih dulu, diikuti oleh Galang. Mereka melihat satu motor besar berhenti di depan dojo. Pengendaranya adalah seorang pria bertubuh tegap dengan jaket kulit cokelat yang sudah usang, tetapi tampak kokoh seperti pemiliknya. Di punggung jaket itu, lambang panah berwarna perak berkilauan di bawah cahaya lampu jalan.
Pria itu turun dari motornya dengan langkah mantap, melepas helmnya dan menatap langsung ke arah Galang. Rambut pendeknya yang berantakan dan sorot matanya yang tajam mengingatkan pada elang yang sedang mengawasi mangsanya.
“Galang,” katanya, suaranya berat tetapi tenang. “Namaku Arman ‘Hunter’ Wijaya. Aku pemimpin Sagittarius Arrow.”
Tama menegang. Ia tahu nama itu. Sagittarius Arrow adalah salah satu geng motor paling terkenal di Sektor 5, dikenal karena penguasaan mereka atas lintasan-lintasan pegunungan yang mematikan. Arman sendiri memiliki reputasi sebagai pembalap dan petarung yang tak pernah kalah di medannya.
Galang tetap tenang. Ia melangkah maju, menatap langsung ke mata Arman. “Apa yang kau inginkan?”
Arman menyeringai kecil, melipat tangan di dada. “Semua orang di Sektor 5 bicara tentangmu. Katanya kau adalah legenda baru. Tapi aku tidak percaya pada cerita. Aku ingin melihatnya sendiri.”
“Apa maksudmu?” tanya Galang.
“Lintasan pegunungan utara,” jawab Arman dengan nada datar. “Balapan. Kau dan aku. Kalau kau menang, aku akan pergi dan tidak mengganggumu lagi. Tapi kalau kau kalah...” Ia berhenti, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. “Aku akan mengambil Fireblade-mu.”
Tama, yang mendengar percakapan itu, langsung maju dengan wajah penuh emosi. “Galang, jangan! Itu lintasan mereka! Mereka pasti sudah mempersiapkan semuanya untuk menjebakmu.”
Arman tertawa kecil, melirik Tama sekilas sebelum kembali menatap Galang. “Dia benar. Itu lintasan kami. Tapi aku pikir kau lebih baik daripada sekadar takut dengan lintasan.”
Galang tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia menatap Arman dalam-dalam, mencoba membaca niat di balik tatapan tajam pria itu. Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baik. Aku akan ada di sana.”
Arman menyeringai puas. “Tengah malam. Jangan terlambat.” Ia memasang kembali helmnya, lalu menyalakan motornya—sebuah KTM 1290 Super Duke R yang tampak agresif dengan bodi ramping dan suara mesin yang menggelegar. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melaju pergi, meninggalkan debu yang beterbangan di belakangnya.
Setelah Arman pergi, Tama langsung menghampiri Galang. “Apa yang kau pikirkan? Itu jelas jebakan! Mereka punya pengalaman bertahun-tahun di lintasan itu. Mereka tahu setiap sudut, setiap celah.”
“Aku tahu,” jawab Galang tenang sambil memeriksa kembali Fireblade-nya. “Tapi aku tidak bisa menghindar. Kalau aku menolak, mereka akan menganggapku lemah. Itu akan membuat lebih banyak orang datang.”
Tama menghela napas panjang, menggigit bibirnya dengan frustrasi. “Kalau begitu, kau harus sangat hati-hati. Lintasan pegunungan itu bukan tempat untuk main-main.”
Galang menatap Tama, memberi isyarat agar temannya tidak khawatir. “Aku tahu apa yang aku lakukan.”
Lintasan pegunungan utara adalah salah satu tempat paling berbahaya di Sektor 5. Jalanannya yang sempit dan berkelok-kelok melintasi tebing curam, dengan tikungan-tikungan tajam yang tidak memaafkan kesalahan. Bahkan pembalap terbaik sekalipun berpikir dua kali sebelum mencoba melintasi jalur ini, terutama di malam hari.
Ketika Galang tiba di lokasi, ia melihat puluhan anggota Sagittarius Arrow sudah berkumpul. Motor-motor mereka diparkir di sepanjang sisi jalan, membentuk garis batas lintasan. Suara mereka bergema di udara, penuh dengan semangat dan antusiasme untuk menyaksikan balapan yang mereka tahu akan menjadi pertunjukan besar.
Di tengah kerumunan, Arman berdiri di samping motor KTM-nya. Motor itu, dengan bodi ramping dan desain agresif, memancarkan aura kekuatan dan kecepatan. Ia melihat Galang mendekat, lalu tersenyum.
“Kau datang tepat waktu,” katanya. “Aku harap kau sudah siap.”
Galang turun dari motornya, memasang helm dengan gerakan yang tenang tetapi penuh determinasi. Ia menatap lintasan di depan mereka, mengamati setiap detailnya—dari jalur sempit di antara pepohonan hingga cahaya lampu yang memantul di aspal basah.
Lintasan itu akan menjadi medan pertempuran yang tidak memaafkan kesalahan.