Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 31 — Messed Up
Pagi hari itu menjadi hari yang mereka pilih untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Setelah melalui proses berpikir yang panjang, keduanya memilih untuk berbicara di taman.
Ashana berpikir bahwa dengan menghirup udara segar di pagi hari akan membuat perasaan keduanya sedikit lebih baik. Yah, meskipun tidak bisa dikatakan bahwa perasaan keduanya jadi baik-baik saja setelah itu.
Memilih untuk membicarakan masalah dengan pikiran yang sedikit terbuka adalah langkah awal yang baik bagi hubungan mereka, setidaknya itulah yang dipikirkan Faza.
“Jadi … apa yang kau maksud dengan ‘kau tidak pernah mengkhianatiku’ itu?” tanya Ashana ketika mereka sudah menemukan tempat yang nyaman untuk berbicara di taman.
Taman di kediaman samping rumah Faza itu cukup luas, ada gazebo di tengah-tengah taman yang dikelilingi dengan tanaman bunga mawar. Sementara di sebelah utara, ada sebuah bangku yang menghadap langsung ke kolam ikan koi.
Seingat Ashana, Faza memang suka dengan ikan dan memeliharanya. Sedangkan bunga-bunga itu, mungkin hanya dijadikan hiasan di taman. Tetapi, sejatinya Faza memang suka dengan keindahan.
“Itu kenyataannya, Ashana. Aku memang tidak pernah mengkhianatimu. Aku tidak seperti yang kau tuduhkan tujuh tahun lalu.” Faza memandang kolam ikan koi di depannya. Melihat warna-warni ikan koi miliknya yang terlihat cantik.
“Maksudmu … “ ucap Ashana ragu, sesuatu hal yang janggal mulai merambati benaknya.
“Sebenarnya, aku juga bertanya-tanya, apa yang kau pikirkan waktu itu? Kau datang ke acara pertunangan kita dengan penuh kemarahan. Kau menamparku, menuduhku dan pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan apapun padaku.”
Ada kebencian dan kemarahan dalam ucapan Faza, dan Ashana tahu bahwa itu semua ditujukan kepadanya. Malam itu, setelah ia berhasil meyakinkan Danendra, ia datang ke pesta pertunangan dan memutus semua hubungannya dengan pria itu.
Aku juga bertanya-tanya kenapa kau melakukan hal itu kepadaku. Apakah selama ini aku telah keliru? Apakah aku telah salah membuat keputusan?
Sementara Ashana memilih bungkam, hatinya telah hancur. Namun perasaannya pada pria itu … entahlah. Ia juga bingung.
“Apa kau tahu betapa hancurnya aku malam itu, Ashana?” tanya Faza pelan, tetapi cukup membuat perempuan yang duduk di sampingnya itu menoleh seketika.
Ashana menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak tahu bahwa kau juga merasa hancur ketika aku merasa duniaku runtuh. Malam itu tak akan pernah aku lupakan, Faza. Malam di mana kisah kita berakhir, menjadi malam yang paling menyiksa bagiku.”
Tanpa Ashana sadari, kedua matanya mulai berair, memoar kisah mereka tujuh tahun lalu sukses membuat duka itu kembali menghampiri pelupuk matanya.
Faza menarik napas panjang, hatinya benar-benar terasa sesak sekarang. “Bagaimana dengan malam-malam setelahnya? Kau pasti tidur nyenyak saat aku bahkan tak bisa memejamkan mata.”
“Tidak … malam-malam setelah itu, aku selalu merasa kesepian. Aku sering terjaga di keheningan malam. Kau salah jika mengira aku bisa hidup bahagia setelahnya.”
“Benarkah?” kata Faza sedikit meremehkan. “Tidurku tak pernah nyenyak setelah malam itu, Ashana. Kadang-kadang aku terjaga semalaman hanya untuk memikirkan alasan kenapa kau meninggalkanku.”
“Aku tidak meninggalkanmu tanpa alasan.”
“Dan aku selalu ingin tahu apa alasan itu.”
Keduanya saling beradu tatap, seolah mencari kebenaran di antara pandangan itu. Tentang alasan dan jawaban yang selama ini mereka cari. Tentang kenapa mereka harus saling membenci dan berakhir saling melukai seperti sekarang.
“Kau adalah penyebab semua penderitaanku, Ashana,” tuduh Faza lebih dulu memutus pandangan mereka. Faza takut, jika ia tetap bertahan, maka perempuan itu akan kembali menipunya dengan tatapan memabukkan miliknya.
“Kau boleh menyalahkanku atas semua luka, kesedihan dan penderitaan yang kau alami selama tujuh tahun terakhir. Namun, apakah kau tahu? Aku juga terluka dengan perpisahan itu. Rasanya seperti … sesuatu direnggut paksa dariku,” kata Ashana sendu.
Keduanya membisu, seolah ingin menciptakan ruang tersendiri di mana hanya hati dan perasaan yang dapat berbicara.
“Malam itu … “ kata Ashana sambil memandang jauh ke depan. “Sebelum aku pergi, ayah memberiku sebuah amplop.”
“Amplop?” Faza mulai curiga. “Apa isi amplop itu?” tanyanya penasaran. Ia sudah menduga bahwa semua hal yang terjadi di antara mereka ada kaitannya dengan Danendra. Hanya saja, ia tak pernah memiliki peluang untuk mencari tahu kebenarannya.
Ashana mulai tertunduk, dadanya terasa sesak dan lidahnya terasa berat untuk mengatakan kebenaran itu. Ia takut bahwa sesuatu yang lebih perih akan menghantam hatinya lebih kuat.
“Ashana, katakanlah.” Faza mulai gemas.
Perempuan itu menoleh, “Amplop itu berisi foto-fotomu dengan seorang perempuan.” Setitik bening jatuh ke pipi Ashana tanpa permisi.
Faza tertegun. “Apa? Fotoku dengan seorang perempuan?” tanyanya seolah tak percaya. “Apa kau yakin bahwa itu aku? Maksudku, di dalam foto-foto itu adalah aku?”
“Mataku tidak buta untuk bisa membedakan kau dengan pria lain, Faza!” sentak Ashana marah.
*Mengapa dia selalu saja meragukan diri*ku?
“Kau percaya bahwa itu aku? Apakah itu sebabnya kau meninggalkanku?” Faza seakan tak percaya bagaimana bisa perempuan secerdas Ashana bisa begitu bodoh. Hanya sebuah foto dan ia begitu yakin untuk meninggalkannya.
Kau bisa saja menanyakan kebenaran itu padaku atau mencari kebenarannya terlebih dahulu. Tapi tidak, kau memang kejam, Ashana.
Ashana mengusap pipinya pelan. “Aku memercayai ayahku lebih dari aku memercayai diriku sendiri.”
“Kepercayaan yang buta. Antara kau yang terlalu bodoh atau ayahmu yang terlalu licik, kalian sama saja,” cibir Faza mengundang amarah Ashana.
Ashana berdiri dan menunjuk Faza tepat di depan wajahnya. “Aku mungkin bodoh, tapi kau sama sekali tidak berhak untuk menghina ayahku seperti itu!” seru Ashana. Amarahnya meluap dan berapi-api.
“Sejak dulu kau selalu saja menghina ayahku.”
“Karena Danendra juga selalu menghinaku!” bentak Faza tak kalah kesal.
“Apa?”
“Kau pasti tidak tahu, kan? Jika ada kesempatan, ayahmu akan selalu menghinaku. Aku adalah pria miskin, katanya.” Faza tertawa getir. Ketika mengingatnya, Faza benar-benar merasa kesal.
“Itu tidak mungkin!”
“Kau tak percaya? Cari saja kebenarannya dari akuntan ayahmu itu, dia tahu segalanya. Bahkan kebenciannya terhadapku sama seperti ayahmu,” ujar Faza ketus.
Ashana menggeleng tak percaya. Langkahnya mundur secara teratur dari hadapan Faza. “Aku harus mencari tahu semuanya,” gumam Ashana lalu mulai melangkah pergi dari sana.
“Pergilah, Ashana. Tapi jangan lupa kembali padaku,” lirih Faza saat perempuan itu mulai menjauh. “Aku juga harus mencari tahu sesuatu.” Faza pun mulai melangkah pergi dari taman.
***
Yaelah, kirain bakal langsung damai, ternyata masih sama aja. Hadeuhhh.
Dear pembaca Mas Pasa, eh maksudnya Faza, yang paling setia. Coba tebak, apa yang akan terjadi setelahnya?
Yang jawabannya benar, dapat bonus dari diri sendiri dan doa paling tulus dari author. 🙏
kalo musal km liat Adzana pelukan sama abi ngono piye rasane
selamat berjuang bro