The Constellation : Legenda Zodiak

The Constellation : Legenda Zodiak

Kembalinya Sang Phantom Rider

Langit senja di Barat Sektor 5 menyemburatkan warna oranye redup yang kontras dengan jalan-jalan penuh debu. Sebuah motor sport dengan desain ramping dan suara halus meluncur melalui gang-gang sempit. Pengendaranya, seorang pria muda, mengenakan jaket kulit gelap yang punggungnya berkilauan terkena cahaya matahari terakhir hari itu. Ketika ia tiba di sebuah bangunan sederhana di sudut jalan, mesinnya dimatikan, meninggalkan keheningan yang penuh arti.

Galang menurunkan helmnya, memperlihatkan wajah tegas dengan tatapan mata yang membawa cerita bertahun-tahun perjalanan. Motor itu—Honda CBR 1000RR Fireblade dengan sentuhan modifikasi khusus—adalah bagian dari identitasnya. Ia memarkirkannya dengan hati-hati di depan dojo kecil yang tampak tua tetapi tetap berdiri kokoh, seperti pemiliknya.

Seorang pria paruh baya muncul dari pintu dojo, menyeka peluh di dahinya dengan handuk kecil. Ia memperhatikan keponakannya dengan senyuman kecil, meskipun matanya menyiratkan kekhawatiran yang sulit disembunyikan.

“Sudah lama, Galang,” katanya, suaranya hangat meskipun bergetar oleh usia. “Aku kira kamu tidak akan pernah kembali ke tempat ini.”

“Aku juga tidak pernah merencanakannya, Paman,” jawab Galang datar, suaranya rendah tetapi penuh makna. “Tapi keadaan berubah.”

Pak Dharma, pamannya, mengangguk pelan. “Ya, segalanya berubah. Tapi tidak selalu ke arah yang lebih baik. Jalanan di sini sekarang penuh dengan anak-anak yang lupa caranya menghormati orang lain.”

Galang hanya diam. Ia tak perlu mendengar lebih banyak untuk tahu bahwa pamannya sedang membicarakan geng-geng yang kini menguasai setiap sudut Barat Sektor 5. Namun, ia tidak datang untuk terlibat dalam konflik. Setelah kehilangan mimpinya di dunia balap, yang ia inginkan hanyalah kedamaian.

Malam itu, Galang duduk di beranda dojo, ditemani secangkir teh yang mengepul. Ia membersihkan motornya dengan perlahan, memperhatikan setiap detail seperti seorang seniman merawat karya agungnya. Keheningan itu pecah oleh suara langkah kaki yang tergesa-gesa, disertai napas berat seseorang yang mendekat.

“Galang!” seruan itu membuatnya menoleh. Seorang pria muda dengan wajah penuh luka muncul dari kegelapan. Galang segera berdiri, mengenali Tama, sahabat lamanya.

“Tama, apa yang terjadi padamu?” tanyanya, memperhatikan bekas luka di pipi dan dahi temannya.

Tama mencoba mengatur napasnya sebelum menjawab. “Mereka… mereka datang ke bengkelnya. Mereka bilang aku harus menyerahkan tempat itu, atau mereka akan mengambilnya paksa.”

“Mereka?” Galang menyipitkan matanya. “Siapa yang kamu maksud?”

“Blooded Scorpio,” jawab Tama dengan suara lemah. “Mereka bilang ini wilayah mereka sekarang. Aku mencoba melawan, tapi mereka terlalu banyak…”

Galang memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan amarah yang mulai berkobar dalam dirinya. “Kamu aman di sini malam ini,” katanya akhirnya. “Besok, kita akan urus ini.”

Keesokan paginya, Galang menyalakan motornya. Suara mesinnya menggema lembut, memberikan rasa percaya diri pada Tama yang duduk di belakangnya. Mereka menuju bengkel kecil milik Tama, sebuah tempat sederhana tetapi penuh kenangan bagi sahabatnya. Namun, suasana berubah tegang saat mereka tiba.

Tiga pria berjaket kulit berdiri di depan bengkel, masing-masing terlihat seperti pemilik tempat itu. Salah satu dari mereka memandang Galang dengan senyum mengejek. “Jadi, ini temanmu, Tama? Dia pikir dia bisa melawan kami?”

Galang turun dari motornya dengan tenang, tatapannya tajam. “Aku tidak melawan siapa pun. Aku hanya ingin tahu apa yang kalian lakukan di sini.”

Pria yang berdiri di tengah melangkah maju, tubuhnya lebih besar dari Galang. “Ini wilayah Draxa. Bengkel ini sekarang milik Blooded Scorpio.”

Galang tidak bergerak sedikit pun. “Aku rasa tidak,” jawabnya dengan nada dingin.

Pria itu tidak memberikan peringatan lagi. Dengan cepat, ia mencoba menyerang Galang. Namun, Galang sudah mengantisipasi. Ia bergerak ke samping, menghindari serangan itu, dan memanfaatkan momentum untuk membalas. Serangannya akurat, langsung ke arah yang membuat lawannya kehilangan keseimbangan.

Dua lainnya mencoba menyerang bersamaan. Galang tidak mundur. Dengan gerakan cepat, ia mengandalkan teknik bela diri yang telah ia latih selama bertahun-tahun di dojo pamannya. Tendangan berputarnya mengenai lawan pertama, sementara pukulan yang menyusul melumpuhkan yang kedua.

Tama berdiri terpaku, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. “Galang… apa kamu baru saja…?”

“Ini bukan apa-apa,” potong Galang, memalingkan perhatian dari lawan-lawannya yang tergeletak di tanah. “Kamu harus siap. Mereka akan kembali.”

Pria yang tersisa bangkit dengan susah payah. “Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi,” katanya sambil melangkah mundur. “Draxa akan memastikan kamu menyesal.”

Setelah mereka pergi, Tama menatap Galang dengan cemas. “Apa kamu yakin ingin melibatkan diri dalam semua ini? Mereka bukan orang sembarangan.”

“Aku tidak mencari masalah, Tama,” jawab Galang sambil memeriksa kondisi bengkelnya. “Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak apa yang penting bagimu.”

Malam itu, kabar tentang Galang sampai ke telinga Draxa. Pemimpin Blooded Scorpio itu tersenyum tipis, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak memandang remeh. “Jadi, dia pikir dia bisa melawan Blooded Scorpio? Kita lihat seberapa lama dia bisa bertahan.”

Di dojo, Pak Dharma memperingatkan Galang sekali lagi. “Blooded Scorpio tidak akan tinggal diam, Galang. Mereka akan datang untukmu.”

“Aku tahu,” jawab Galang tenang. “Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil apa yang bukan milik mereka.”

Namun, malam itu, Galang tidak bisa tidur nyenyak. Ia memikirkan apa yang akan datang. Meski ia tidak mencari konflik, jalannya seolah-olah sudah dipenuhi oleh badai. Ketika ia menatap motor yang terparkir di sudut dojo, pikirannya melayang ke masa lalu, ketika jalanan menjadi medan pertarungan sekaligus tempat ia merasa hidup.

Di sisi lain kota, Draxa sedang menyusun rencana. Di markas Blooded Scorpio, suasana tegang. “Kita akan menunjukkan padanya siapa yang menguasai tempat ini,” kata Draxa sambil menatap anggota-anggotanya. “Galang akan menyesal pernah menginjakkan kaki di Sektor 5.”

Malam semakin larut. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma bahaya yang semakin dekat. Galang tahu, perang telah dimulai, meski ia tidak pernah memintanya.

Ketika fajar mulai menyingsing, suara motor terdengar di kejauhan. Galang sedang membersihkan motornya di halaman dojo ketika Pak Dharma keluar membawa secangkir teh hangat. “Apa rencanamu sekarang, Galang?” tanya pamannya, tatapannya penuh keingintahuan.

Galang menghela napas. “Aku tidak punya rencana, Paman. Aku hanya ingin memastikan Tama aman. Setelah itu, aku akan kembali menjalani hidupku.”

Pak Dharma mengangguk perlahan, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya yakin. “Kamu tahu, ketika kamu melawan mereka, itu bukan hanya tentang Tama. Mereka akan menganggap ini tantangan terhadap kekuasaan mereka. Mereka tidak akan mundur.”

Galang tersenyum tipis. “Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka melangkah terlalu jauh.”

Sementara itu, di markas Blooded Scorpio, Draxa sedang merencanakan langkah selanjutnya. Dia duduk di atas motor besar miliknya, dikelilingi oleh anggota-anggota setianya. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia,” katanya, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. “Siapa Galang ini sebenarnya? Mengapa dia berani melawan kita?”

Salah satu anggotanya, seorang pria dengan rambut acak-acakan dan jaket kulit yang sudah usang, menjawab, “Dia dulu pembalap profesional. Tapi dia menghilang setelah kecelakaan besar beberapa tahun lalu.”

Draxa mengangguk perlahan, mencerna informasi itu. “Kalau begitu, dia bukan orang sembarangan. Tapi kita akan lihat seberapa jauh dia bisa bertahan.”

Di dojo, Tama sedang berbicara dengan Galang. “Kamu tidak harus melakukan ini untukku, Galang,” katanya dengan nada penuh penyesalan. “Aku tahu mereka berbahaya. Aku bisa pergi dari sini, mencari tempat lain.”

Galang menatapnya tajam. “Meninggalkan bengkelmu bukanlah solusi. Itu milikmu, Tama. Kamu sudah bekerja keras untuk membangun tempat itu. Aku tidak akan membiarkan mereka merebutnya darimu.”

Tama terdiam, lalu mengangguk pelan. Dia tahu Galang serius, dan meskipun dia merasa khawatir, ada sesuatu dalam diri Galang yang memberinya rasa percaya diri.

Menjelang siang, suara motor terdengar mendekat. Galang dan Tama keluar dari dojo untuk melihat siapa yang datang. Empat motor berhenti di depan dojo, dan para pengendara turun dengan gaya angkuh. Salah satu dari mereka adalah pria yang pernah kalah dari Galang sehari sebelumnya.

“Kami punya pesan dari Draxa,” katanya dengan nada mengejek. “Dia bilang dia ingin bertemu langsung denganmu, Galang. Jalan utama di luar barat, tengah malam nanti. Kalau kamu cukup berani, datanglah.”

Galang tidak segera menjawab. Ia hanya menatap mereka dengan ekspresi tenang. “Aku akan ada di sana,” katanya akhirnya.

Para anggota Blooded Scorpio tertawa kecil sebelum menaiki motor mereka lagi. Suara mesin meraung ketika mereka pergi, meninggalkan debu beterbangan di udara.

Tama menatap Galang dengan wajah penuh kekhawatiran. “Apa kamu yakin ini ide yang bagus? Itu jelas perangkap.”

“Aku tahu,” jawab Galang sambil melipat tangannya. “Tapi aku tidak akan menghindar. Jika Draxa ingin bermain, aku akan pastikan dia tahu siapa yang dia hadapi.”

Pak Dharma, yang mendengar percakapan itu, hanya menghela napas. “Galang, berhati-hatilah. Kamu mungkin kuat, tapi Draxa itu licik. Dia tidak bermain sesuai aturan.”

Galang hanya mengangguk. Dalam pikirannya, ia tahu bahwa Draxa bukanlah lawan yang mudah. Tapi ia juga tahu bahwa ini adalah langkah yang tak terhindarkan. Jika dia ingin melindungi Tama dan tempat mereka, dia harus menghadapi Draxa secara langsung.

Malam itu, Galang memeriksa motornya dengan cermat. Ia memastikan semua komponen dalam kondisi sempurna, dari mesin hingga suspensi. Baginya, motor ini bukan hanya kendaraan, tetapi juga senjata yang membantunya bertahan di jalanan.

Ketika waktu mendekati tengah malam, Galang menyalakan mesinnya. Suara mesin terdengar seperti gemuruh kecil di tengah keheningan malam. Tama berdiri di depan dojo, menatapnya dengan penuh harap. “Jangan terluka, Galang.”

“Aku akan baik-baik saja,” jawab Galang dengan senyuman tipis sebelum melaju ke jalan utama. Angin dingin malam menyambutnya saat dia meluncur melalui gang-gang yang sepi, pikirannya fokus pada pertemuan yang akan datang.

Di tengah jalan utama, di bawah lampu jalan yang remang-remang, Draxa sudah menunggu. Di sekelilingnya, beberapa anggota Blooded Scorpio berdiri dengan motor mereka, menciptakan suasana tegang. Galang memarkir motornya dengan tenang dan turun, menatap langsung ke arah Draxa.

“Kamu akhirnya datang,” kata Draxa dengan senyuman dingin. “Aku penasaran, apa kamu benar-benar seberani itu, atau hanya bodoh?”

“Ini bukan soal keberanian atau kebodohan,” jawab Galang. “Ini soal keadilan. Aku tidak akan membiarkan kalian merusak hidup orang lain hanya karena kalian merasa punya kuasa.”

Draxa tertawa kecil. “Kata-kata yang bagus. Tapi kita lihat apakah tindakanmu sebanding dengan ucapanmu.”

Galang mempersiapkan dirinya. Pertemuan ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang prinsip. Ia tahu bahwa malam ini, segala sesuatu akan berubah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!