Di era 90-an tanpa ponsel pintar dan media sosial, Rina, seorang siswi SMA, menjalani hari-harinya dengan biasa saja. Namun, hidupnya berubah ketika Danu, siswa baru yang cuek dengan Walkman kesayangannya, tiba-tiba hadir dan menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Saat kaset favorit Rina yang lama hilang ditemukan Danu, ia mulai curiga ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Apalagi, serangkaian surat cinta tanpa nama yang manis terus muncul di mejanya, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Danu pengirimnya atau hanya perasaannya yang berlebihan?
“Cinta di Antara Kaset dan Surat Cinta” adalah kisah romansa ringan yang membawa pembaca pada perjalanan cinta sederhana dan penuh nostalgia, mengingatkan pada indahnya masa-masa remaja saat pesan hati tersampaikan melalui kaset dan surat yang penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom alfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Momen di Toko Kaset
Pagi itu, seperti biasa, langit cerah dan angin berhembus sepoi-sepoi. Rina berjalan santai menuju sekolah dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya. Ada sedikit semangat yang tumbuh di dalam dirinya, seolah-olah hari ini akan membawa kabar baik atau setidaknya, sesuatu yang menyenangkan. Mungkin karena surat cinta ketiga yang diterimanya dari Danu—surat yang berisi humor, rahasia kecil, dan sedikit teka-teki tentang diri Danu yang misterius—telah memberinya harapan baru.
Namun, meskipun begitu, Rina masih merasa bingung dengan perasaan yang datang begitu cepat. Sejak menerima surat itu, hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya. Setiap kali Danu lewat di depannya, ada sensasi aneh yang membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Tapi hari ini, ia merasa sedikit lebih siap. Rina tahu bahwa hari ini dia dan Danu akan bertemu di tempat yang sudah mereka sukai bersama: toko kaset.
Toko kaset yang terletak di sudut jalan dekat sekolah itu selalu menjadi tempat istimewa bagi Rina dan Danu. Di sana, mereka sering menghabiskan waktu berjam-jam mencari kaset-kaset terbaru, berbicara tentang lagu-lagu yang sedang populer, atau hanya sekadar menikmati suasana nostalgia yang terasa begitu kuat di tempat tersebut. Di era 90-an, kaset adalah segalanya—dan toko kaset adalah surga bagi para penggemar musik.
Rina berjalan melewati jalan setapak menuju toko kaset favorit mereka. Di depan pintu, ia melihat Danu sudah berdiri menunggu. Pemuda itu mengenakan jaket denim biru yang sedikit lusuh, dengan earphone yang tergantung di lehernya. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah kaset baru yang sepertinya baru saja ia beli. Saat melihat Rina, Danu menyeringai lebar dan melambai dengan gaya santainya.
“Eh, Rina! Lama enggak ketemu, ya?” Danu menyapa dengan nada akrab. Rina tersenyum lebar, sedikit terkejut karena Danu sudah menunggunya. “Kamu lama banget, deh. Aku udah keliling-keliling toko ini, loh.”
“Ah, maaf, tadi sempat ketemu Sari di jalan,” jawab Rina sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena tertiup angin. “Tapi, jadi, kaset apa tuh?” tanya Rina sambil menatap kaset yang ada di tangan Danu.
Danu dengan bangga mengangkat kaset tersebut dan menunjukkan sampulnya. “Ini kaset baru, nih. Aku tahu kamu pasti suka banget sama band ini. Ini mereka lagi ngerilis album baru, dan aku enggak bisa nungguin buat dengerin. Aku bawa deh buat kita dengerin bareng.”
Rina mendekat dan memeriksa sampul kaset itu dengan seksama. “Wah, band ini! Aku suka banget sama lagu mereka. Kamu beneran tahu apa yang aku suka, ya?” tanya Rina dengan senyum lebar. “Aku bahkan enggak bilang kamu kalau aku lagi suka lagu-lagu mereka. Ternyata kamu peka banget, Danu.”
Danu hanya tertawa kecil, lalu memasukkan kaset ke dalam pemutar kaset portabel yang selalu dia bawa ke mana-mana. “Iya, sih, aku memang sering dengerin musik bareng kamu. Kayaknya kamu udah mulai ngerti selera musikku juga, ya?” jawab Danu sambil menekan tombol play. Musik mulai mengalun, memenuhi udara di sekitar mereka dengan suara gitar yang khas dan vokal yang kuat.
Rina menutup mata sejenak, membiarkan musik itu meresap dalam-dalam ke dalam dirinya. Ada rasa nyaman yang datang begitu saja saat mendengarkan lagu itu. Lagu-lagu seperti ini selalu membuatnya merasa lebih hidup, seolah musik itu bisa mengungkapkan perasaannya tanpa perlu kata-kata.
“Aduh, ini bener-bener lagu yang aku suka banget,” ujar Rina dengan penuh semangat. “Kamu emang tahu banget apa yang aku suka, Danu. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku enggak bakal tahu band ini.”
Danu tersenyum dan duduk di samping Rina. Mereka berdua duduk di sudut toko kaset, menikmati lagu yang mengalun lembut di latar belakang. Mereka tidak perlu banyak bicara. Musik sudah cukup untuk membuat momen ini terasa begitu berharga.
“Emang kita udah sering banget ngubek-ngubek toko kaset ini, ya? Kadang aku pikir, kita tuh kayak orang tua aja, selalu cari kaset baru buat koleksi,” kata Rina dengan tawa ringan.
Danu tertawa kecil. “Iya, kan? Ini kayak tempat yang ngasih kita nostalgia, deh. Rasanya kayak kita kembali ke waktu-waktu lebih santai, tanpa beban.”
Rina memandang Danu dengan mata yang penuh arti. Di tengah pembicaraan santai ini, ia mulai merasa lebih dekat dengan Danu. Rasanya seperti ada ikatan yang kuat di antara mereka. Danu tidak hanya mengenalnya lewat surat-surat yang ia kirimkan, tapi juga melalui kebersamaan mereka di setiap momen kecil seperti ini.
“Eh, Danu…” Rina tiba-tiba terdiam dan menoleh ke arah Danu. “Aku pengen tanya, deh… Kalau kamu suka lagu-lagu ini, berarti kamu ngerti kan apa yang aku rasain? Maksudnya, aku… aku juga suka banget sama musik kayak gini. Rasanya tuh… beda aja, ya?”
Danu menatap Rina sejenak, lalu tersenyum tipis. “Rina, aku… aku ngerti. Aku suka banget sama cara kamu ngerasain musik. Lagu-lagu ini bisa ngomong banyak hal tanpa perlu dijelasin. Sama kayak kita, kan?”
Rina tidak tahu kenapa, tapi kata-kata Danu itu membuat hatinya berdebar kencang. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—sebuah perasaan yang datang begitu saja, seolah musik dan kata-kata Danu sudah membentuk koneksi antara mereka.
“Maksud kamu?” tanya Rina dengan suara pelan, berusaha memahami maksud dari ucapan Danu.
Danu menatap Rina dengan penuh perhatian, seolah-olah mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. “Ya, maksudku, kadang kita gak perlu ngomong banyak untuk ngerti satu sama lain. Kadang, lagu-lagu itu cukup buat ngungkapin apa yang kita rasain. Sama kayak kita yang udah lama saling tahu, saling paham, meski gak perlu banyak bicara.”
Rina terdiam, mencoba mencerna kata-kata Danu. Ada semacam pengakuan yang terselip dalam kalimat itu—pengakuan yang seolah memberitahunya bahwa Danu merasakan hal yang sama. Sejak surat pertama hingga surat ketiga, perasaan itu sudah tumbuh perlahan. Dan sekarang, di antara tumpukan kaset dan lirik lagu yang mengalun, Rina merasa semakin yakin bahwa Danu adalah orang yang tepat.
“Aku mulai paham, Danu,” kata Rina akhirnya, dengan suara yang lebih tenang. “Aku mulai paham.”
Suasana menjadi hening sejenak, namun tidak canggung. Mereka berdua duduk menikmati musik, dan meskipun tidak ada kata-kata yang terucap, kedekatan mereka terasa begitu nyata. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemanan, sesuatu yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.
Di antara tumpukan kaset yang menjadi saksi bisu kisah mereka, Rina dan Danu akhirnya sadar bahwa mereka telah saling menemukan. Dan untuk pertama kalinya, mereka tahu bahwa perasaan itu lebih dari sekadar persahabatan. Tapi, seperti halnya musik, kadang perasaan pun perlu waktu untuk bisa diungkapkan dengan sempurna.