Rasa bersalah yang menjerumuskan Evelin, atlet renang kecil untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya. Kesepian, kosong dan buntu. Dia tidak mengerti kenapa hanya dia yang di selamatkan oleh tuhan saat kecelakaan itu.
Namun, sebuah cahaya kehidupan kembali terlihat, saat sosok pria dewasa meraih kerah bajunya dan menyadarkan dia bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan untuk sebuah masalah.
"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian." Reinhard Gunner.
Semenjak munculnya Gunner, Evelin terus menggali jati dirinya sebagai seorang perenang. Dia tidak pernah putus asa untuk mencari Gunner, sampai dirinya tumbuh dewasa dan mereka kembali di pertemukan. Namun, apa pertemuan itu mengharukan seperti sebuah reuni, atau sangat mengejutkan karena kebenaran bahwa Gunner ternyata tidak sebaik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan?
Setelah menunggu beberapa saat, pergiliran perlombaan berlangsung dengan cepat. Mereka berlomba dalam jarak 100 meter. Kini, para perenang gaya bebas mulai memasuki area renang dengan persiapan yang sudah mereka lakukan. Saat mereka naik ke atas papan, mereka meregangkan otot di tangan dan mulai menurunkan kacamata renang.
"Siap.."
"Sedia.."
PIIPPP
Mereka segera terjun ke dalam air. Mereka mengayun jari-jarinya ke permukaan dan membuka celah ke depan. Sama halnya dengan Evelin. Dia bergerak dan tenggelam dalam kesejukan, meraup air dan merasakan setiap sensasi yang terdapat setiap kali dia mengayuh kaki dan tangannya.
Dia berenang seperti lumba-lumba. Lompatannya memang tidak lebih jauh dari atlet lain, namun pergerakannya sangat cepat. Itu adalah salah satu keunggulan dari Evelin. Namun saat berbelok, atlet yang berada di ujung menyusulnya dengan cepat. Mereka berbelok dengan persamaan. Saat belokan terjadi, Evelin menambah kecepatannya dan berhasil mempertahankan posisi pertama.
"Ayo, Evelin!"
"Evelin! Evelin!"
"Hei, wanita di baris ke lima mulai menyusul! Ayo Evelin!"
Semua teman di kampusnya mulai bersorak. Evelin tidak punya waktu untuk mendengarkan mereka. Dia hanya terus menatap ke dalam air dan menikmati setiap sensasinya.
Dari semua sorakan itu, dia berharap ada suara Gunner yang bergabung. Meski hanya sekali dan menyebutkan namanya untuk membuat dia lebih bersemangat, dia tidak keberatan. Sekali saja. Mungkin meskipun dia bersorak tidak lebih keras dari teman-temannya, dia akan langsung mengenali suara itu.
Namun, suara pria itu tidak terdengar sampai dia mencapai finish dan menang. Semua temannya bersorak lagi dan lagi. Saat dia menoleh ke atas untuk melihat reaksi Gunner, dia hanya mendapat sedikit senyuman.
Apa itu reaksi seseorang yang merasa bangga, atau reaksi seseorang yang tidak peduli? Dia tidak mengerti. Setelah dia naik ke atas untuk pergi ke ruang ganti, seseorang memberinya handuk dan air dalam botol.
"Itu luar biasa, Jenniver."
"Terimakasih, Andrew."
Dia adalah Andrew Darwis. Mereka sebenarnya pernah satu sekolah saat SMP dan SMA, dan mereka hanya memiliki jarak usia 2 tahun. Karena terlalu akrab, Meskipun Andrew seorang senior, Evelin lebih sering memanggilnya dengan nama di banding senior seperti apa yang dia katakan pada seniornya yang lain.
"Ayo rayakan kemenanganmu dengan minum alkohol!"
"Tidak. Aku akan pulang dan tidur."
Setelah membuat jawaban, Evelin pergi untuk menemui pelatihnya. Andrew menyusul dan terus mengekori gadis itu kemanapun. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran Andrew, Evelin menoleh dengan ketajaman penuh.
"Kenapa kau mengikutiku?"
"Ayo minum bareng. Kita sudah lama--"
Sebelum Andrew menyelesaikan ucapannya, dia berhenti di tengah jalan. Itu tepat saat dia melihat Gunner dan pelatih Evelin yang tiba-tiba muncul.
"Evelin, tadi itu sangat luar biasa!"
Pelatih itu menepuk pundak Evelin berkali-kali untuk menunjukkan rasa bangga. Sementara itu, Gunner yang berada di belakang pelatih tampak biasa saja. Dia hanya menunjukkan senyuman seperti apa yang dia lakukan beberapa saat lalu.
Evelin memasang wajah bingung dengan kehadiran Gunner. Kenapa pria itu ada bersama pelatih? Bukankah beberapa saat lalu dia sibuk bermesraan dengan pacarnya?
Beberapa saat setelah pelatih membicarakan tentang betapa hebatnya kecepatan Evelin dalam berenang, seseorang memanggilnya dari belakang.
"Pelatih!"
Tak punya pilihan, pelatih itu pergi untuk menemuinya. Dia menepuk pundak Evelin sekali lagi sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Setelah pelatih itu pergi, Gunner mendekat untuk memberi ucapan yang serupa. Sebenarnya saat ini Evelin benar-benar sangat kesal pada sikap Gunner yang berubah-ubah, dan sifatnya yang seperti bajingan.
Namun, berapa kalipun dia merasa harus menjauhi pria itu, dia selalu merasa di tarik kembali ke tempat yang sama. Dia tidak bisa melakukannya. Menjauh dari pria itu atau menghilangkan perasaannya.
"Selamat, Evelin. Kamu sangat hebat."
Gunner memberinya senyuman. Lagi-lagi senyuman yang sama pria itu tunjukkan dengan lembut dan menenangkan. Sebelum menjawab, Evelin membalas senyuman tersebut.
"Terimakasih."
"Sayangnya aku tidak membawa kamera. Jika saja aku membawanya, aku akan memotretmu berkali-kali."
"Haha.. "
Di antara dua orang dewasa yang terus bertukar kata, ada Andrew yang memperhatikan mereka dari samping. Dia tentu sangat mengenal siapa sosok pria di hadapannya itu. Pria populer dengan sebutan yang di kenal sangat buruk.
Melihat raut wajah Evelin yang tampak senang, Andrew tidak punya pilihan selain meninggalkan mereka berdua. Dia tidak mau menjadi pengganggu di hubungan orang lain. Meskipun Gunner di kenal sebagai seorang Casanova, dia harap Evelin tidak termasuk ke dalamnya.
Sadar Andrew sudah menghilang, Evelin memutar kepalanya untuk mencari keberadaan pria itu. Mau bagaimanapun, Andrew adalah salah satu teman yang sangat dekat dengannya.
"Um.. Kemana Andrew pergi?"
Gunner mengangkat satu alisnya dan bergumam, "Andrew?" dengan nada yang berbeda.
"Pria yang barusan ada disini, kemana dia pergi?"
Saat Evelin terus memutar kepalanya ke setiap samping, Gunner terus memperhatikannya dalam diam. Dia tidak pernah melihat Evelin begitu dekat dengan seorang pria sebelumya. Lalu siapa itu Andrew? Dan kenapa mereka terlihat sangat akrab?
"Apa dia pacarmu? kamu tidak mengatakan padaku bahwa kamu sudah punya pacar."
Evelin kembali mengalihkan pandangan ke arah Gunner. Setiap pria itu melakukan sesuatu yang semberono, dia selalu berhasil membuat hatinya sakit.
"Kenapa senior berpikir seperti itu?"
"Hanya saja.. Kalian terlihat akrab. Sebelumnya kamu tidak pernah dekat dengan siapapun, kan?"
Evelin semakin di buat kesal. Dia sangat ingin memukul wajah itu untuk menyadarkannya bahwa kamulah yang sangat aku sukai!
Namun, dia tidak punya keberanian untuk mengatakan itu. Apalagi mengingat fakta bahwa Gunner sudah memiliki seseorang yang sangat dia cintai. Pengakuan itu pasti akan mendapat sebuah penolakan yang menyakitkan. Lebih baik menyimpannya untuk diri sendiri.
"Lalu bagaimana denganmu, senior? Apa semua wanita yang dekat denganmu adalah pacarmu?"
Gunner di buat terkejut untuk sesaat. Dia tidak mengira gadis itu akan balik bertanya. Apalagi pertanyaan yang dia lontarkan sangat tak terduga.
"Tidak. Aku memang dekat dengan mereka, tapi itu bukan berarti aku memiliki perasaan pada mereka. Bisa di bilang... Aku bukan pria yang mudah."
Evelin semakin mengerutkan alisnya. Dekat bukan berarti memiliki perasaan? Itu sebuah ungkapan yang di katakan pria bajingan. Entah karena dirinya yang baru menyelesaikan pertandingan dan masih merasa kesal dengan tingkah Gunner sebelumnya, Evelin jadi sedikit temperamental.
"Kalau begitu jangan datang padaku lagi. Aku tidak mau lebih dekat denganmu dan berakhir salah paham."