Bagaimana jika orang yang kamu cintai meninggalkan dirimu untuk selamanya?
Lalu dicintai oleh seseorang yang juga mengharapkan dirinya selama bertahun-tahun.
Akhirnya dia bersedia dinikahi oleh pria bernama Fairuz yang dengan menemani dan menerima dirinya yang tak bisa melupakan almarhum suaminya.
Tapi, seseorang yang baru saja hadir dalam keluarga almarhum suaminya itu malah merusak segalanya.
Hanya karena Adrian begitu mirip dengan almarhum suaminya itu dia jadi bimbang.
Dan yang paling tak di duga, pria itu berusaha untuk membatalkan pernikahan Hana dengan segala macam cara.
"Maaf, pernikahan ini di batalkan saja."
Jangan lupa baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Begitulah aktivitas Hana seminggu sekali, Hingga satu hari di pengajian yang sama.
Sesi ceramah sekaligus berbagi cerita bersama ibu-ibu itu selalu saja menjadi momen seru. Ustadz-ustadz muda dan ganteng menjadi daya tarik tersendiri bagi para kaum emak-emak, yang gadis dan janda pun kian merapat.
"Cintailah makhluk Allah sekedarnya saja, jangan melebihi cintamu kepada Allah."
Satu kalimat pendek memulai suasana serius di tengah masjid tersebut.
Ustadz bernama Yusuf itu masih sangat muda, namun kata-katanya selalu mampu membuat para wanita menanti wejangannya.
Berbagai nasehat terus terlontar, seperti di sengaja di tujukan kepada sosok Hana yang masih sangat rapat menutup hatinya.
"Biarkan yang sudah pergi menjalani kehidupan barunya dengan tenang, jangan kau bebani dia dengan rasa cintamu yang berlebihan. Kasihan dia, langkahnya tertahan karena tangisanmu yang terus menyeru. Jangan di tunda surganya yang sudah nampak di depan mata, jangan buat syahidnya jadi sia-sia." akhir dari ucapan ustadz Yusuf.
Mata sang ustadz pun langsung tertuju kepada Hana seperti pedang yang menghunus tepat sasaran. Senyumnya tipis, lembut bermakna.
Hana pun terperangah.
Hana melihat sekelilingnya dengan gerakan mata yang pelan, jelas dalam pandangan semua orang sedang menatap dirinya dengan iba. Sang ibu mertua pun tak dapat lagi membendung tangisnya, dia memeluk Hana sambil menumpahkan luka yang sejujurnya sama, hanya berusaha terlihat tegar agar tidak semakin membuat rapuh sang menantu yang hampir hilang kewarasannya.
Hana pun menangis dalam diam, air matanya bercucuran jatuh tercecer membasahi mukena berwarna biru muda, seiring tubuhnya yang mungil terguncang oleh pelukan sang ibu yang meraung pilu.
"Ibu ikhlas kalau kamu menikah lagi Nak! Hana anak ku." rintih sang ibu mendekap Hana semakin erat.
Kata orang, perlihatkan lukamu kepada air, agar sisa kotoran yang menyakitimu hanyut berlalu. Lalu tunjukkan kepada angin, agar perihnya terbawa bersama hembusan hingga mengering.
Entah angin ataupun hujan, yang jelas semuanya akan berperan dalam menyembuhkan, tapi tidak dengan tetangga.
Itu hal yang berbeda.
Jika sebagian ikut menangis iba atas apa yang menimpa Hana, maka sebagian pula akan berkata.
"Kasihan ya, dia jadi tidak waras karena di tinggal mati suaminya "
"Bangkit Nak! Jangan biarkan rasa cintamu menjadi kelemahan, lalu menjadi fitnah yang menyakitkan. Hati ibu sakit..." bisik ibu, jelas dia mendengar berbagai macam bisikan-bisikan setan berwujud manusia di dalam rumah Allah itu, menyakiti perasaan menantunya.
*
*
*
"Sepertinya, Akak akan pulang saja ke Malaysia. Akak merasa tak enak hati kepade Ibu. Sejak hal kemarin itu, Akak rase memang patut orang kate Akak ni tak sihat. Hati dan jiwa akak memang lah sakit." Tiba-tiba saja Hana berkata demikian.
Rosa melepaskan beberapa lembar pakaian yang akan di lipatnya, lalu kembali melemparnya ke dalam keranjang. Ia mendekati Hana, lalu berkata dengan heran.
"Tapi, kak Hana sudah tidak memiliki siapa-siapa di sana, Kak Hana akan sendirian." ucap Rosa.
Hana mendesah berat, lalu memegang tangan sang adik dengan lembut. "Dah biase kan, dulu pun Akak sendirian?" dia tersenyum, lalu kembali berkata. "Atau, kau ikut akak tinggal di Malaysia, ibu dan bapak pun?"
Rosa pun terkejut, lalu berkata dengan wajah di lipat. "Ibu tidak akan mau Kak. Sudah jelas alasannya, tidak mau berjauhan dengan almarhum kakek dan nenek. Sekarang malah nambah lagi, tidak mau berjauhan dengan....."
Rosa menjeda ucapannya.
Seketika wajah Hana pun menjadi mendung, seperti mentari yang bersinar kini tertutup awan yang tebal.
"Sebenarnya, ... Akak pun tak nak berjauhan dengan Bang Rayan." dia berkata lirih.
Beberapa saat keduanya terdiam.
"Ya sudah, kak Hana tidak usah pulang. Di sini aja, di rumah kita. Di rumah Mas Rayan, rumah kak Hana." Ros menunjuk rumah minimalis di samping rumahnya. Posisi satu rumah ibunya di bagi menjadi dua, di luar terlihat dua namun di dalam terdapat pintu yang menyatukannya.
Ketika Hana dan Rayan menikah, saat itu ayah dan ibu mertuanya langsung memperbaiki sebagain rumahnya yang sudah rapuh, menjadi rumah kecil yang cantik. Meskipun sulit dan bertahap, kedua suami istri yang sudah tua itu berusaha mendirikannya, menyisihkan uang setelah panen, dan sekarang sudah selesai tapi Rayan sudah meninggal.
Hari berikutnya, hal yang membuat orang juga menggeleng oleh rasa cinta Hana kepada Rayan, di setiap akhir bulan ia akan mendatangi stasiun kereta api tempat dimana terakhir kali berpisah dengan sang suami. Hana datang hanya sekedar berdiri, menikmati angin yang menerpa akibat berlalunya kereta api, hingga lengang dan barulah ia kembali.
"Kak, Ros mau ikut."
Hari ini Ros sengaja mengintilinya, tidak ingin sang kakak terus menerus terpuruk dalam kesendirian, larut dalam lamunan di stasiun kenangan itu.
"Akak tak lame lah." kata hana sambil merapikan kerudungnya.
Namun Ros tetap saja tidak mengurungkan niatnya, ia keluar lebih dulu menunggunya di depan rumah
"Hei Ros! Kamu mau kemana?" Mak Romlah, si tetangga usil itu bertanya kepada Ros.
"Mau ke kota, menemani kak Hana." ucap Rosa, tidak terlalu menghiraukan perempuan paruh baya itu, Mak Romlah adalah ibu dari Jay, supir angkot yang bertubuh kecil mungil yang menyukai Hana.
"Ngapain kamu menemani Hana, paling dia cuma melihat kereta api berangkat." Mak Romlah pun lanjut berkata, sambil mencebik.
"Mau apa juga bukan urusan Emak." kesal Ros, sejak lama dia sering kali berdebat dengan Emak Romlah yang sering mengatai kakak iparnya tidak waras.
"Harusnya kamu itu kasih paham kakak iparmu itu, supaya berhenti mendatangi stasiun hanya untuk menunggu kakakmu, si Rayan tidak akan pulang. Kamu harus tegas, biar dia sadar dan bisa melanjutkan hidup." oceh perempuan itu bermaksud menasehati Rosa. Perempuan itu tak suka dengan Hana, lantaran Jay selalu saja mengincarnya.
"Mas Rayan memang tidak akan kembali, tapi aku tidak punya hak melarang kak Hana untuk mencintai suaminya." Ros menjawabnya dengan stok sabar yang mulai menipis.
"Tapi enggak sebegitunya lah Ros, kesannya kayak sedikit, .... Stres." Berbisik di ujung kalimatnya, namun bisikan kecil itu mampu membangunkan emosi Ros yang sejak tadi di tahan-tahannya.
"Mak! Kak Hana itu tidak stres, tidak gila! Yang stres itu emak! Yang gila itu kalian yang tidak pernah capek ngurusin hidup orang!"
"Heh! Di bilangin malah ngatain. Lu itu yang stres, kakak iparnya nggak waras, Lu malah ikutan." Seorang tetangga, ibu muda yang tadi mengobrol dengan emak Romlah pun kini menyahut.
"Bukan urusan Lu juga! Mending urusin noh laki Lu yang tiap malem nongkrongin biduan." kesal Rosa, dia melirik emak Romlah dengan sinis.
"Kamu nyindir anak saya?" emak Romlah pun jadi kian emosi.
"Iya, siapa lagi. Si biduan kampung yang baru di cerai, sekarang sibuk menggoda suami orang! Tiap malem kerjanya karaokean, mending suaranya bagus, mirip kaleng rombeng!" Ros tersenyum menang.
"Awas kamu ya Ros!" kesal perempuan itu.
Namun Ros segera menuju taksi, menyeret tangan kakaknya yang baru saja keluar, dengan wajah bingung.
"Adik bertengkar lagi?" tanya Hana setelah di dalam mobil.
Ros hanya menoleh, lalu membuang pandangannya keluar jendela.
Hana mendesah berat, dia sudah tahu apa penyebabnya.
"Maafkan Akak."
💞💞💞💞
#quoteoftheday..