Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hancur
Revan menyalakan mesin mobilnya, dan tanpa membuang waktu, ia melajukan mobil dengan kecepatan penuh.
Jalanan malam yang sepi membuatnya leluasa memacu kendaraannya. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan, bagaimana jika orang tuanya benar-benar sedang menuju rumah Mira? Apa yang akan mereka katakan? Bagaimana Mira akan menghadapi mereka tanpa dirinya di sana?
Revan mengepalkan setir dengan erat, merasa kesal pada adiknya, karena tak bisa menyimpan rahasia.
"Dia pasti sudah cerita ke mereka soal Mira. Kalau nggak, mana mungkin mereka tiba-tiba mencariku," gumamnya dengan nada frustrasi.
Semakin dekat ia dengan rumah Mira, semakin besar kekhawatirannya. Ia tahu, jika orang tuanya tiba lebih dulu, Mira pasti akan merasa canggung atau bahkan tertekan menghadapi situasi itu seorang diri. Dalam hatinya, ia berdoa agar ia tiba lebih dulu.
Sesampainya, Revan langsung memarkir mobilnya di pinggir jalan, lalu berlari menuju pintu depan. Rumah tampak sepi dari luar, membuatnya sedikit lega. Ia mengetuk pintu dengan terburu-buru, berharap Mira segera membukakan pintu.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan Mira muncul dengan wajah yang masih tampak mengantuk. "Mas? Kamu kenapa balik lagi? Ada apa?" tanya Mira dengan nada bingung.
Revan menarik napas panjang, lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. "Mira, kita harus bersiap. Mungkin Ibu dan Ayah akan datang ke sini," katanya dengan nada serius.
Mira terkejut. "Kenapa mereka ke sini? Ada apa, Mas?" tanyanya, matanya mulai menunjukkan kekhawatiran.
Revan meraih tangan Mira, menggenggamnya dengan lembut. "Aku nggak yakin, tapi aku pikir mereka ingin bicara soal kita. Aku nggak mau kamu hadapi ini sendirian, makanya aku buru-buru ke sini."
Mira mengangguk pelan, meskipun jelas ia merasa tegang. "Kalau begitu, aku siapkan minuman dulu, ya. Kalau mereka benar-benar datang, kita harus menyambut mereka dengan baik," ucap Mira, mencoba tetap tenang meski hatinya mulai berdegup kencang.
Revan mengangguk, namun ia tetap berjaga di dekat jendela, memastikan apakah mobil orang tuanya akan datang. Waktu berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti menunggu ledakan yang tak terhindarkan.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar mendekat. Revan melirik ke luar jendela dan melihat mobil yang dikenalnya dengan baik berhenti di depan rumah.
"Mereka datang," gumamnya, menguatkan hati.
Ia memandang Mira yang berdiri di ruang tamu, tampak gugup namun berusaha terlihat tenang. Revan melangkah ke arah istrinya, menggenggam kedua tangannya dengan erat. "Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Aku nggak akan biarkan mereka menyalahkanmu," katanya tegas.
Mira mengangguk pelan, meski ia tak bisa menyembunyikan rasa takut di wajahnya. "Aku percaya sama Mas," jawabnya lirih.
Ketukan pintu yang keras membuat suasana semakin tegang. Revan melangkah ke pintu, membuka perlahan, dan mendapati kedua orang tuanya, Ratna dan Arjuna, berdiri dengan raut wajah serius yang tak bisa disembunyikan.
"Revan," ucap Ratna, nadanya tegas namun dingin. "Kita perlu bicara."
Revan menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Ibu, Ayah, masuk dulu. Kita bisa bicara di dalam," katanya dengan nada yang berusaha tenang.
Ratna melangkah masuk tanpa banyak kata, diikuti oleh Arjuna yang hanya mengangguk kecil. Wajahnya tetap dingin, mencerminkan ketegangan yang mengisi ruangan. Mira, yang berdiri di ruang tamu, segera menyambut mereka dengan sopan, meskipun ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya.
"Ibu, Ayah, selamat malam. Silakan duduk," ucap Mira, mencoba tersenyum.
Ratna menatap Mira dari ujung kepala hingga ujung kaki, dengan ekspresi yang menyiratkan ketidakpuasan yang tidak berusaha ia sembunyikan. Ia duduk di sofa dengan anggun namun penuh wibawa, sementara Arjuna duduk di sebelahnya, tetap diam.
"Revan," Ratna memulai, suaranya tajam. "Ibu tidak pernah menyangka kamu bisa mengambil keputusan sebesar ini tanpa berdiskusi dengan keluarga. Menikah dengan Mira tanpa restu kami? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?"
Revan duduk di sebelah Mira, menggenggam tangan istrinya dengan lembut.
"Ibu, Ayah," Revan menjawab, nadanya tegas namun tetap sopan.
"Aku menikah dengan Mira karena aku mencintainya, dan karena aku harus memenuhi janji Nadira. Aku tahu keputusan ini sulit diterima, tapi aku ingin kalian melihat bahwa Mira adalah orang yang tepat untukku. Aku ingin kalian percaya padaku."
Ratna mendengus kecil, menatap Revan dengan penuh kekecewaan. "Cinta? Apa kamu pikir cinta saja cukup untuk menjalani hidup ini? Revan, keluarga kita punya tanggung jawab besar. Pilihan pasangan hidupmu bukan hanya soal cinta, tapi juga soal kehormatan dan masa depan keluarga."
Revan menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Ibu, aku menghormati keluarga kita, tapi ini hidupku. Aku yang akan menjalani pernikahan ini, bukan Ibu atau Ayah. Tolong, mengertilah!"
Namun, Ratna tidak tergerak. Ia memandang Mira dengan tajam, lalu mengucapkan kata-kata yang terasa bagaikan belati.
"Mira," ucapnya dengan nada yang tajam dan menusuk.
"Kamu tahu, kan, pernikahan ini tidak pernah kami inginkan? Kamu seharusnya menyadari bahwa kamu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kami. Apalagi dengan latar belakang keluargamu. Adikmu, Nadira, yang berpenyakitan itu, sudah menjadi beban bagi keluarga kami. Dan sekarang kamu malah menambah beban itu."
Mira terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia merasakan dadanya sesak mendengar tuduhan itu. Sebisa mungkin, ia mencoba menahan emosi, tetapi luka di hatinya sudah mulai terasa. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Revan berdiri dari sofa dengan tatapan penuh amarah.
"Ibu!" serunya dengan suara bergetar karena emosi.
"Cukup! Jangan bicara seperti itu! Mira sekarang adalah istriku, dan keluarganya adalah bagian dari hidupku. Ibu tidak punya hak untuk merendahkan mereka, apalagi menghina Nadira seperti itu!"
Arjuna, yang sejak tadi diam, menundukkan kepala. Wajahnya mencerminkan dilema yang tak terucap, sementara Ratna tetap duduk dengan tenang, meski matanya memancarkan ketegasan yang tak tergoyahkan.
"Revan," ujar Ratna dingin, "Ibu bicara seperti ini bukan tanpa alasan. Ibu peduli padamu. Karena dirimu sudah dibutakan oleh cinta, tidak sadar bahwa keputusanmu ini membawa konsekuensi besar. Keluarga kita punya martabat yang harus dijaga. Dan Mira... tidak membawa apa pun kecuali kehancuran bagi masa depanmu, dan keluarga kita."
Mira akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Ibu," katanya pelan, matanya berkaca-kaca namun tetap menatap Ratna dengan tegas.
"Saya minta maaf jika kehadiran saya dianggap sebagai masalah dalam keluarga kalian. Saya tidak pernah berniat merusak apa pun. Saya di sini karena saya mencintai Revan, dan karena saya harus memenuhi janji kepada adik saya, Nadira."
Ratna memandang Mira dengan dingin, tampak tak terpengaruh oleh penjelasannya. Namun, Arjuna akhirnya angkat bicara. Suaranya rendah, tetapi tegas.
"Ratna, cukup," katanya, menatap istrinya.
"Kita datang ke sini untuk berbicara, bukan untuk menghakimi."
Ratna menoleh ke arah suaminya, terkejut dengan intervensinya. Namun, ia memilih untuk tidak menjawab. Sementara itu, Revan menggenggam tangan Mira lebih erat, merasa bersyukur bahwa setidaknya ada suara yang mencoba meredakan situasi.
Arjuna melanjutkan, kali ini menatap Revan. "Revan, Ayah hanya ingin memastikan satu hal. Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini? Menikahi Mira, meninggalkan perusahaan, dan hidup di luar jalan yang selama ini sudah Ayah dan Ibu siapkan untukmu?"
Revan menatap ayahnya dengan penuh keyakinan. "Ayah, aku yakin. Ini adalah hidupku, dan aku ingin menjalaninya sesuai dengan apa yang aku yakini. Aku menghormati Ayah dan Ibu, tapi aku mohon, izinkan aku menentukan jalan hidupku sendiri."
Arjuna terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Kalau itu keputusanmu, Ayah tidak akan menghalangi lagi. Tapi ingat, Revan, setiap keputusan punya konsekuensi. Pastikan kamu siap untuk menghadapi semuanya."
Revan mengangguk dengan mantap. "Aku paham, Ayah. Terima kasih."
Ratna menghela napas panjang, masih terlihat kecewa, tetapi ia memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Kita lihat saja, Revan. Ibu hanya berharap kamu tidak menyesali keputusanmu ini."
Tanpa berkata lebih lanjut, Ratna melangkah keluar dengan langkah tegas, diikuti oleh Arjuna yang masih tampak bimbang. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Revan dan Mira dalam keheningan yang berat.
Mira, yang sedari tadi berusaha tegar, akhirnya runtuh. Ia menunduk, air matanya mengalir tanpa henti, membasahi kedua tangannya.
"Mas... aku minta maaf. Ini semua salahku," isaknya lirih, suaranya hampir tidak terdengar.
Revan segera duduk di samping Mira, merengkuhnya ke dalam pelukannya. Ia membelai lembut rambut istrinya, mencoba menenangkan guncangan tubuhnya yang disebabkan oleh tangis.
"Ini bukan salahmu, Mira. Jangan pernah berpikir seperti itu. Ini keputusan kita, keputusan yang aku ambil dengan sadar, dan aku akan menghadapi semuanya bersamamu," ucapnya dengan suara yang penuh keyakinan, meskipun ia sendiri menyadari retakan yang dalam telah terbentuk di antara dirinya dan keluarganya.
Revan menarik napas panjang. Ia tahu, keputusan untuk menikahi Mira bukan hanya tentang cinta, tetapi juga janji yang telah ia buat kepada almarhum Nadira.