Menjalani rumah tangga bahagia adalah mimpi semua pasangan suami istri. Lantas, bagaimana jika ibu mertua dan ipar ikut campur mengatur semuanya? Mampukah Camila dan Arman menghadapi semua tekanan? Atau justru memilih pergi dan membiarkan semua orang mengecam mereka anak dan menantu durhaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ghibah!
Satu minggu telah berlalu begitu saja. Perang dingin dalam keluarga Pardi dan Aminah masih berlangsung. Aminah masih tetap pada pendiriannya meski Arman dan Camila pernah bicara empat mata mengenai permasalahan yang terjadi. Arman meminta izin agar Camila tetap jualan sampai stok barang mereka habis. Tak hanya itu, mereka berdua pun sudah minta maaf kepada Aminah, tetapi wanita lanjut usia itu lebih memilih diam seperti sebelumnya. Bahkan, Pardi sampai angkat tangan mengatasi istrinya itu.
"Hari ini aku pulang jam sebelas. Mau dibungkuskan makan siang gak? Nasi padang atau soto ayam?" tawar Arman sambil mengaitkan kancing kemejanya.
"Rawon tugu aja deh, Mas. Sekalian es teler ya," pinta Camila.
Ya, hingga detik ini ... mereka tidak pernah makan di rumah. Camila pernah mencoba masak, tetapi setelah itu terus mendapat sindiran dari Aminah dan saudaranya. Alhasil, Camila memilih jalan pintas dengan mengandalkan layanan goprut. Sejauh ini Camila masih bertahan dengan segala kekacauan yang terjadi. Dia bersikap tak acuh meski Sinta dan Aminah bersikap tidak baik dengannya.
"Good luck, Sayang," ucap Camila sebelum Arman melajukan motornya.
Camila masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju dapur. Pagi ini adalah jadwalnya mencuci pakaian. Dia sibuk dengan pakaian kotor dan mesin cuci sampai beberapa puluh menit ke depan. Setelah selesai, Camila menuju bagian belakang rumah untuk menjemur pakaian setengah kering itu.
"Sepertinya ada suara ibu di dapurnya bude Sinah. Ngapain ya? Apa gak bosan ngerumpi mulu setiap waktu," batin Camila saat mendengar suara berisik dari bangunan yang ada di sisi rumah mertuanya.
Hingga Camila selesai menjemur pakaian, suara bisik-bisik itu masih terdengar. Rasa penasaran yang begitu besar membuat Camila tergerak mendekat ke bangunan tersebut. Dia penasaran apa kiranya yang dibahas tiga bersaudara itu. Camila mencari tempat yang aman untuk menjalankan aksinya.
"Menantumu itu memang susah dikasih tahu. Masih aja jualan padahal juga udah dikeras. Dasarnya emang wataknya susah diatur! Kok bisa Arman nemu istri seperti itu!" Sinah.
"Beda sama Sinta ya, Mbak Yu. Sinta itu kalem, nurut terus gak pernah membangkang lagi. Kalau si Mila sih aduh gak bisa ngomong aku, Mbak." Siti.
"Sinta itu memang kan aslinya orang Solo. Kalau di sana kan terkenal adab dan sopan santunnya. Dia juga dari pesantren. Jadi, ya pasti paham dengan adab. Beda sama istrinya Arman itu." Sinah
"Aku pusing memikirkan Mila. Udah gak aku masakin masih aja gak kapok. Malah tiap hari beli makanan di tukang paket. Setiap hari tukang paket datang ke rumah. Kadang antar makanan. Kadang ambil paketan. Pusing aku harus dengar 'Assalamualaikum. Paket!' setiap waktu." Aminah.
"Mila itu kayak nantang gitu ya, Mbak Yu. Gak punya adab sama orangtua. Biarin saja, Mbak Yu. Jangan disediakan makanan. Kuat berapa lama dia makan di luar." Siti.
"Iya. Benar itu kata Siti. Jangan sampai kamu luluh duluan sebelum dia berhenti jualan. Enak saja. Nanti besar kepala dia. Lagi pula aku iku heran, kok bisa karakternya seperti itu. Apa iya gak dididik orangtuanya. Dasar orang kota, gak punya sopan santun. Pendidikan juga gak seberapa tahu. Pasti dulu sering ditinggal kerja orangtuanya, jadi ya begitu, kurang pendidikan." Sinah.
Emosi Camila seketika berkobar saat mereka menyinggung harga diri orangtuanya. Tangannya terkepal erat menahan gemuruh yang siap meledak. Aminah dan kedua saudaranya belum berhenti membahas keluarganya. Alhasil, Camila beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju pintu belakang dapur. Camila pun masih membawa ember cucian.
"Kalau tidak suka dengan saya, ya gak suka aja. Ngapain pakai mengolok orangtua saya!" ujar Camila tanpa basa-basi lagi.
Tentu saja ketiga wanita lanjut usia itu terkejut bukan main setelah melihat kehadiran Camila di sana. Mereka termangu menatap Camila tanpa bisa mengucap sepatah katapun. Tak lama setelah itu mereka saling pandang dengan tatapan tak percaya.
"Ka—kami tidak membicarakan orangtuamu. Salah dengar kamu itu, Mil," elak Sinah dengan gugup.
"Saya gak budek. Saya jemur pakaian saja dengar kok suara kalian. Lagi pula bude ini siapa sih? Kok pakai ngompori ibu segala. Bude itu gak kenal orangtua saya. Jadi, gak usah sok paling paham deh," cerocos Mila dengan tatapan penuh amarah.
"Mila!" bentak Aminah karena tidak terima saudara tertuanya dimaki Camila. "Kalau bicara sama orang tua itu yang sopan!" tutur Aminah dengan suara keras.
"Memangnya bude bisa disopanin?" Camila semakin emosi melihat sikap Aminah. "Aku mau ngadu ke Bapak saja! Biar kalian dinasehatin. Lagi pula, udah sepuh masih saja suka ghibah! Ibadah!" sarkas Camila sebelum pergi dari dapur Sinah.
Aminah menjadi panik setelah mendengar ancaman Camila. Tentu Aminah takut jika suaminya itu mengetahui perbuatannya. Apalagi, jika Camila mengadu tentang kedua saudaranya, pasti Pardi akan marah besar. Aminah beranjak dari tempatnya. Dia menyusul langkah Camila hingga sampai di bagian belakang rumahnya. Aminah bergegas memasuki dapur dan ternyata hanya ada Sinta di sana.
"Di mana Mila?" tanya Aminah seraya menatap Sinta.
"Kurang tahu saya, Bu. Dia baru saja mengeluarkan motor. Mungkin belanja," jawab Sinta tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Aminah. "Ada apa, Bu?" Sinta penasaran.
"Aduh! Gawat!" Hanya itu yang diucapkan Aminah sebelum pergi meninggalkan Sinta begitu saja.
Aminah duduk di ruang keluarga. Dia terlihat cemas dan tidak tenang. Apalagi, setelah menunggu Camila yang tak kunjung kembali. Wanita lanjut usia itupun mondar-mandir di ruang keluarga seraya merangkai kata-kata untuk membela diri. Degup jantung Aminah semakin tak karuan saat mendengar suara motor suaminya dan disusul suara motor Camila.
"Ibu!" Suara teriakan Pardi terdengar dari ruang tamu.
"Astagfirullah haladzim! Apa yang sudah kamu perbuat bersama saudara-saudaramu?" Tanpa basa-basi lagi, Pardi bertanya kepada Aminah yang sedang menunggu di ruang keluarga.
"Salah paham, Pak. Mila salah paham," elak Aminah.
"Tidak mungkin! Kamu itu bagaimana? Kok bisa membicarakan besan dengan saudaramu? Nyebut, Bu! Lagi pula kamu ini kenapa? Mila ini salah apa sama kamu?" cecar Pardi dengan suara lantang. Emosi pria lanjut usia itu sedang tidak stabil karena rasa lelah setelah mengurus sawah.
Aminah gelagapan melihat kemarahan suaminya. Wanita lanjut usia itu tiba-tiba mengeluarkan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Degup jantung semakin tak beraturan, kepala semakin berat dan pandangan mulai gelap. Ya, persekian detik kemudian, wanita lanjut usia itu tak sadarkan diri.
"Astaghfirullah haladzim," gumam Pardi saat menghampiri tubuh istrinya yang terkulai di lantai.
...🌹TBC🌹...
...Maaf ya, baru bisa update. Sejak hari minggu lagi fokus ngerawat ibu sakit🙏...
Arman mana tau,,berangkat pagi pulang sore
terimakasih
Anak sekarang benar2 bikin tepok jidat
Lagi musim orang sakit..
Fokus sama usahanya biar makin lancar..
Goprutnya ntar sampai hafal sama Mila 😀😀
Camila harus lebih tegas lagi
Yg g boleh itu jadi pengadu domba
Fokus saja sama keluarga dan usaha biar sukses