NovelToon NovelToon
Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kaya Raya / Fantasi Wanita
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Prolog:

Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1 Bagian 23 Cinta yang Masih Ada

Nadia terbangun di pagi hari dengan sinar matahari yang menembus tirai jendela apartemennya. Matanya terasa berat, bukan karena kurang tidur, tetapi karena pikirannya yang terus berputar semalaman. Wajah Reza muncul dalam pikirannya, bersama dengan semua kenangan manis yang mereka bagi dulu. Namun, bayangan itu selalu diikuti oleh rasa sakit saat mengingat kebohongan besar yang disembunyikan Reza.

Ia menarik napas dalam-dalam, duduk di tepi tempat tidur. Di atas meja kecil di sampingnya, secangkir teh yang ia buat semalam kini sudah dingin. Nadia memandangi cangkir itu dengan tatapan kosong. Dalam hatinya, pertanyaan yang sama terus bergema: *Apakah aku masih mencintainya?*

Setelah beberapa saat, Nadia bangkit dari tempat tidur, mengumpulkan kekuatan untuk memulai harinya. Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin. Saat menatap cermin, ia melihat refleksi dirinya yang tampak lelah tetapi tegar. "Cinta tidak cukup," gumamnya pelan. "Ada banyak hal yang lebih penting daripada itu."

Nadia memutuskan untuk melawan pikirannya dengan bergerak. Ia mengganti pakaian tidur dengan kaus longgar dan celana olahraga, lalu keluar dari apartemennya untuk berjalan-jalan di sekitar lingkungan. Udara pagi terasa sejuk, dengan langit biru cerah tanpa awan.

Di taman kecil dekat apartemennya, Nadia memutuskan untuk duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang. Angin pagi yang lembut menyapu rambutnya, memberinya sedikit rasa tenang. Di hadapannya, sepasang kekasih muda bercanda tawa, saling menggoda dengan senyum tulus. Pemandangan itu membuat Nadia tersenyum kecil, meski hanya sesaat.

Namun, senyum itu segera memudar saat pikirannya kembali pada Reza. Ia membayangkan apa yang bisa terjadi jika Reza tidak pernah menyembunyikan masa lalunya. Apakah hubungan mereka akan tetap bahagia seperti dulu? Atau justru lebih buruk?

“Apakah aku bisa mendapatkan kebahagiaan seperti itu lagi?” bisiknya pada dirinya sendiri, tatapannya kosong menatap pasangan muda yang tampak begitu bahagia.

Setelah cukup lama duduk di bangku taman, Nadia akhirnya memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Udara pagi mulai berubah hangat seiring matahari naik semakin tinggi. Ia bangkit perlahan, menghirup napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari taman. Langkah kakinya terasa berat, seperti hatinya yang masih penuh dengan pertanyaan.

Saat melewati kios bunga di tepi jalan, pemilik kios yang sudah berusia lanjut menyapanya.

Pemilik Kios Bunga: "Pagi, Nona. Mau beli bunga? Hari ini stok mawar merahnya segar sekali."

Nadia: (tersenyum kecil) "Oh, tidak hari ini, Pak. Terima kasih."

Pemilik Kios Bunga: "Kelihatannya Nona sedang banyak pikiran. Bunga biasanya bisa membuat hati lebih tenang, lho."

Nadia: (terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan) "Mungkin Anda benar. Tapi, saya sedang tidak tahu harus tenang karena apa."

Pemilik Kios Bunga: (tersenyum ramah) "Kadang kita tidak harus tahu jawabannya sekarang. Yang penting, nikmati prosesnya. Kalau ragu, cobalah mendengarkan hati Anda."

Kata-kata itu membuat Nadia terdiam. Setelah mengucapkan terima kasih, ia melanjutkan perjalanannya.

Di pintu masuk apartemen, Nadia berpapasan dengan tetangganya, Ibu Lina, yang sedang membawa tas belanjaan. Wanita itu adalah tetangga ramah yang selalu punya cerita untuk dibagikan.

Ibu Lina: "Nadia! Wah, jarang-jarang lihat kamu jalan pagi. Biasanya sibuk ya?"

Nadia: (tersenyum) "Iya, Bu. Hari ini kebetulan ingin mencari udara segar."

Ibu Lina: (tertawa kecil) "Baguslah. Udara segar memang obat terbaik kalau lagi pusing. Ada masalah di kantor?"

Nadia: (menggeleng sambil tersenyum tipis) "Bukan masalah kantor, Bu. Lebih ke... masalah pribadi."

Ibu Lina: (memandang Nadia dengan perhatian) "Oh, soal itu. Saya tidak mau ikut campur, tapi kadang mendengarkan kata hati lebih baik daripada terus mencari logika. Tapi hati-hati juga, ya. Jangan sampai salah ambil keputusan."

Nadia mengangguk, merasa sedikit terhibur oleh perhatian tetangganya. Setelah berpamitan, ia naik lift menuju apartemennya di lantai atas.

Sesampainya di apartemen, Nadia meletakkan tasnya di sofa, lalu menatap jendela besar yang menghadap ke kota. Pemandangan hiruk-pikuk jalanan terasa kontras dengan keheningan hatinya. Kata-kata yang ia dengar hari ini terus bergema di pikirannya.

"Mendengarkan hati." Tapi, apakah hatinya cukup kuat untuk memaafkan dan menerima masa lalu Reza? Nadia menghela napas panjang, lalu berjalan ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat, mencoba menemukan kedamaian di tengah pikirannya yang berkecamuk.

Nadia membuka lemari pakaiannya untuk mencari sesuatu yang nyaman. Saat memilih pakaian, tangannya tanpa sengaja menyentuh kotak kecil yang terletak di sudut lemari. Kotak itu berisi barang-barang kenangan masa lalunya bersama Reza.

Dengan sedikit ragu, Nadia membuka kotak itu. Di dalamnya, ada foto-foto, tiket konser, dan surat-surat kecil yang pernah diberikan Reza. Ia mengambil salah satu foto mereka berdua yang diambil di sebuah taman hiburan. Wajahnya di foto itu penuh senyum, begitu juga dengan Reza. Melihatnya, Nadia merasa dadanya sesak.

Ia mengambil satu surat dan mulai membacanya. Tulisan tangan Reza yang rapi memenuhi kertas itu, menceritakan betapa ia mencintai Nadia dan ingin membahagiakannya. Saat membaca kata-kata itu, Nadia merasa air matanya mulai mengalir.

"Apakah aku bisa melupakan semuanya dan menerima masa lalunya?" tanya Nadia pada dirinya sendiri.

Tidak tahu harus berbuat apa, Nadia akhirnya menghubungi Maya. Ia membutuhkan seseorang untuk mendengarkan dan memberikan nasihat. Maya adalah teman yang selalu bisa diandalkan.

Setelah menghubungi Maya, Nadia merasa sedikit lega karena sahabatnya itu selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang terletak dekat taman, tempat yang biasa mereka kunjungi ketika ingin berbicara panjang lebar.

Setibanya di kafe, Maya sudah duduk di meja yang terletak di pojok, dengan secangkir cappuccino di depannya. Nadia berjalan mendekat, duduk di kursi seberang, dan memesan secangkir teh hangat. Suasana di sekitar mereka cukup tenang, dengan beberapa pelanggan yang sibuk menikmati minuman mereka.

Maya: (tersenyum ramah) "Akhirnya kita bisa ketemu juga. Gimana, Nad? Cerita aja, aku siap dengerin."

Nadia: (tersenyum kecil) "Iya, aku... nggak tahu harus gimana. Banyak banget yang ada di kepalaku." (menghela napas) "Aku ketemu Reza lagi kemarin."

Maya menatap Nadia dengan perhatian, mencoba membaca ekspresi wajah sahabatnya yang tampak bingung dan penuh keraguan. Ia menunggu Nadia untuk melanjutkan.

Maya: "Reza? Itu... berarti kamu udah ngasih dia kesempatan buat jelasin semuanya, ya?"

Nadia: (mengangguk pelan) "Iya. Dia bilang dia nyesel banget, dia minta maaf, dan dia pengen aku kasih dia kesempatan kedua." (memainkan gelas teh di tangannya) "Tapi, aku nggak bisa berhenti mikirin semuanya, May. Apa aku harus percaya lagi sama dia? Setelah semua yang terjadi?"

Maya: (memegang cangkir cappuccino dan menatap Nadia dengan serius) "Aku tahu itu nggak mudah, Nad. Apalagi setelah semua yang kamu alami bareng dia. Tapi, pertanyaannya sekarang adalah, apakah dia benar-benar berubah? Dan... apakah kamu bisa menerima itu?"

Nadia terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke luar jendela kafe, seolah mencari jawaban di luar sana. Udara sore itu terasa sedikit lebih berat.

Nadia: "Aku masih sayang dia, May. Tapi, aku takut kalau aku salah lagi. Aku nggak bisa sepertinya langsung melupakan semua kebohongan dan pengkhianatan itu."

Maya: "Kamu nggak harus langsung memaafkan semuanya, Nad. Tapi, yang perlu kamu pikirin sekarang adalah apakah kamu siap menanggung risiko kalau akhirnya kamu memberi dia kesempatan. Apakah kamu siap buat hidup dengan rasa takut itu?"

Nadia: (terdiam, mengangguk pelan) "Aku nggak tahu. Di satu sisi, aku merasa seperti masih ada cinta, tapi di sisi lain, aku takut aku akan tersakiti lagi."

Maya menggigit bibirnya sejenak, berpikir keras, sebelum akhirnya berbicara lagi dengan suara yang lebih lembut.

Maya: "Dengar, Nad. Cinta itu nggak selalu tentang kepercayaan penuh. Tapi cinta juga bukan berarti kamu harus mengabaikan perasaan kamu yang lain, seperti rasa sakit atau rasa takut. Jadi, sebelum kamu memutuskan apapun, kamu harus tanya dulu ke diri kamu sendiri... Apa yang benar-benar kamu inginkan, apa yang kamu butuhkan?"

Nadia: "Aku ingin kebahagiaan, May. Tapi aku nggak tahu apakah kebahagiaan itu bisa datang dari Reza lagi."

Maya: "Kadang kita harus memberi diri kita waktu, Nad. Jangan terburu-buru ambil keputusan. Cobalah lebih banyak berpikir tentang apa yang kamu rasakan, bukan hanya apa yang Reza inginkan."

Nadia: (menunduk, meresapi kata-kata Maya) "Makasih, May. Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan."

Maya tersenyum hangat, lalu menepuk tangan Nadia dengan lembut.

Maya: "Sama-sama, Nad. Aku di sini buat kamu. Jangan ragu buat hubungi aku kapan pun, oke?"

Nadia mengangguk dan tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang. Meskipun jawabannya belum jelas, percakapan itu memberinya waktu untuk berpikir lebih dalam tentang apa yang dia inginkan. Setelah beberapa menit, mereka berbicara lebih santai tentang hal-hal lain, tetapi Nadia tahu bahwa keputusan besar menunggu di depan. setelah bertemu Maya di cafe, Nadia kembali ke apartemennya

Setelah kembali ke apartemen, Nadia merasa lelah, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kebingungan. Ia duduk di sofa, menatap ponselnya. Pesan terakhir dari Reza masih ada di sana, penuh dengan permohonan maaf dan harapan untuk diberi kesempatan kedua.

Nadia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia merasa terjebak antara cinta yang masih ada dan rasa sakit yang sulit hilang.

“Apa artinya mencintai seseorang yang memiliki masa lalu kelam?” Nadia bertanya pada dirinya sendiri untuk kesekian kalinya.

Malam itu, Nadia memutuskan untuk tidur lebih awal. Ia berharap bahwa mungkin, dengan istirahat yang cukup, pikirannya bisa lebih jernih di pagi hari. Namun, dalam tidurnya, ia bermimpi tentang Reza. Mimpi itu membawa kenangan manis sekaligus rasa sakit, membuatnya terbangun dengan air mata yang mengalir di pipinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!