Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Brengsek
Sementara itu, di sisi lain kota, Dante sedang menghadapi tantangannya sendiri. Ia duduk di ruang rapat besar dengan timnya, sedang berdiskusi dengan klien penting tentang proyek animasi baru. Klien tersebut menginginkan animasi dengan gaya komik yang unik—sesuatu yang berbeda dari proyek biasanya. Namun, setelah melalui beberapa sesi diskusi dengan para ilustrator di studionya, Dante mulai menyadari bahwa tak ada satu pun di antara mereka yang memiliki keterampilan yang cukup untuk menciptakan ilustrasi bergaya komik yang diinginkan klien.
"Ini tantangan besar," ujar Dante sambil menggosok pelipisnya, berusaha mengurangi stres. "Klien kita sangat jelas dengan apa yang mereka inginkan, tapi kita nggak punya orang yang mampu mengeksekusinya."
Para ilustrator di ruang rapat saling bertukar pandang, sebagian mengangguk, sebagian lagi hanya duduk terdiam. Mereka tahu Dante sangat perfeksionis dan tidak akan menerima hasil yang setengah-setengah. Namun, kemampuan timnya tidak cukup untuk mencapai standar yang diminta.
Dante berusaha tetap tenang, meski di dalam pikirannya sudah mulai memikirkan solusi. Ia tahu ia harus menemukan ilustrator yang benar-benar ahli dalam gaya komik, atau proyek ini bisa berakhir dengan kegagalan besar. "Oke," ucapnya akhirnya, "kita fokus dulu pada keinginan klien. Aku akan coba memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah ini, tapi kita nggak boleh mengecewakan mereka."
Di studio kecilnya, Naya masih terdiam, termenung di kursinya. Ia mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan rasa penat dan kecewa yang bercampur jadi satu. Hatinya berat, pikirannya kacau. Sketsa yang berserakan di sekelilingnya tampak seperti cerminan dari kehidupannya yang tak lagi teratur. Tiba-tiba, pintu studio terbuka pelan, dan Tika, asistennya, masuk dengan wajah cemas.
"Kak Naya," panggil Tika sambil melangkah hati-hati ke dalam studio. "Kemarin aku ke sini, tapi kakak nggak ada. Aku khawatir, jadi hari ini aku datang lagi."
Naya mendesah panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. "Maaf, Tik. Aku sedang mengalami beberapa masalah," jawabnya dengan nada datar, matanya tetap memandang ke arah meja yang penuh kertas-kertas. "Pernikahanku dibatalkan... karena Arfan selingkuh."
Tika terdiam sejenak, terkejut mendengar pengakuan tersebut. Ia sudah lama bekerja dengan Naya dan tahu betapa pentingnya hubungan Naya dengan Arfan. Tika mendekat, duduk di kursi di seberang meja Naya. "Ya ampun, Kak... Aku nggak tahu harus bilang apa," ujarnya pelan, merasa canggung. "Aku benar-benar nggak menyangka..."
Naya tersenyum getir, kemudian menggelengkan kepala. "Nggak perlu bilang apa-apa, Tik. Ini semua sudah terjadi, dan aku nggak bisa mengubahnya. Yang penting sekarang, aku harus fokus pada pekerjaan."
Tika mengangguk pelan, meski ia bisa melihat betapa terlukanya Naya di balik sikap tegar yang ditampilkannya. "Kalau ada yang bisa aku bantu, Kak, tolong kasih tahu ya. Aku di sini untuk Kak Naya."
Naya menatap Tika sejenak, merasa bersyukur atas perhatian asistennya itu, meski ia merasa ada banyak hal yang masih sulit ia bicarakan.
Sementara itu, Dante masih di ruang rapat, berusaha menyusun strategi untuk menyelamatkan proyek animasi mereka. Dalam pikirannya, ia teringat Naya—seorang komikus dengan bakat luar biasa yang sebelumnya terlibat dalam sengketa hak cipta dengannya. Meski pertemuan mereka tidak berjalan baik, Dante tahu kemampuan Naya dalam menggambar bergaya komik sangat cocok dengan proyek yang sedang ia kerjakan. Namun, setelah semua yang terjadi, meminta bantuan Naya adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan. Terlebih lagi, Naya adalah sosok yang tidak mudah didekati, apalagi setelah konflik di antara mereka.
Dante menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran tentang Naya. Tapi, semakin ia berusaha melupakan, semakin jelas bahwa Naya mungkin adalah satu-satunya solusi. Ia harus mencari cara untuk mendekatinya—meskipun itu berarti harus menghadapi ketegangan di antara mereka berdua lagi.
Pulang dari meeting, Dante berjalan mondar-mandir di kantornya, mencoba memikirkan langkah berikutnya. Wajah Naya, dengan segala keangkuhan dan bakatnya, muncul lagi di benaknya.
"Haruskah aku benar-benar mencoba berbicara dengannya?" gumam Dante pada dirinya sendiri. Keputusan ini terasa sulit, tapi ia tahu jika tidak melakukan sesuatu, proyek animasi ini bisa berantakan. Dan Naya adalah satu-satunya orang yang bisa membantu.
Di rumahnya, Naya mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Ia membuka kembali sketsa yang berserakan di mejanya dan mulai mengerjakannya satu per satu. Namun, pikirannya kembali melayang pada kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini—Arfan, Dante, dan segala kekacauan yang melingkupi hidupnya. Rasanya semua itu terlalu berat untuk dihadapi sendirian, tapi ia tahu ia tidak punya pilihan lain.
Tika masih duduk di sebelahnya, memperhatikan Naya yang terlihat tenggelam dalam pikirannya. "Kak, kalau kakak butuh waktu istirahat, aku bisa bantu urus beberapa pekerjaan," tawar Tika.
Naya menatap asistennya dan tersenyum lemah. "Terima kasih, Tik. Aku akan baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri dan menyelesaikan semua ini."
Di sisi lain, Dante bersiap untuk membuat keputusan penting. Ia tahu ia harus menemui Naya dan mengajaknya bekerja sama dalam proyek animasi ini, meski itu berarti harus mengatasi perbedaan dan konflik yang pernah ada di antara mereka.
***
Malam itu, Naya baru saja duduk di kursi kerjanya, mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya yang menumpuk. Pikirannya masih kacau setelah berbagai peristiwa yang menimpa hidupnya beberapa hari terakhir. Namun, tiba-tiba ponselnya bergetar, mengeluarkan bunyi notifikasi yang mengalihkan perhatiannya. Ia meraih ponselnya dan melihat sebuah pesan dari bank yang masuk.
Mata Naya langsung membelalak saat membaca pesan tersebut. "Tagihan kartu kredit Anda sebesar Rp30.000.000 akan jatuh tempo pada akhir bulan ini." Pesan itu begitu singkat, tapi cukup untuk membuat jantung Naya berdetak kencang.
"Apa-apaan ini?" gumam Naya, merasa kebingungan. "Kenapa tagihanku tiba-tiba sebesar ini?"
Tangannya gemetar saat ia membuka aplikasi bank untuk melihat detail transaksi. Deretan pengeluaran yang tak ia kenali muncul satu per satu: barang-barang mewah, makanan di restoran mahal, dan pengeluaran lainnya yang jelas-jelas tidak pernah ia lakukan. Semakin ia menggulir layar, semakin besar rasa tidak percayanya. Tagihan itu benar-benar tidak masuk akal.
Pikiran Naya langsung kembali pada satu hal—barang-barangnya yang tertinggal di villa, termasuk dompetnya. Tiba-tiba, sebuah wajah yang sangat dikenalnya muncul di pikirannya. Arfan. Naya merasakan amarah mulai membara dalam dirinya saat mengingat mantan tunangannya itu.
"Sial!" serunya, suaranya tertahan di tenggorokan. "Apa dia yang melakukannya?"
Arfan memang terkenal matre dan sering kali meminjam uang dari Naya, terutama saat mereka masih bersama. Naya yang dulu begitu mencintai Arfan, kerap kali menutup mata terhadap segala hal mencurigakan yang Arfan lakukan. Tapi kali ini, semuanya berubah. Rasa cintanya kini berubah menjadi kebencian dan ketidakpercayaan. Apalagi setelah tahu bahwa Arfan selingkuh.
Naya melempar ponselnya ke meja dengan keras, merasa frustasi. Dia tak tahu harus melakukan apa sekarang. Jika benar Arfan yang telah menggunakan kartu kreditnya tanpa izin, itu artinya dia tidak hanya berurusan dengan perasaan patah hati, tapi juga dengan masalah keuangan yang bisa menghancurkan hidupnya.
Tanpa berpikir panjang, Naya mencoba menelepon Arfan. Namun, seperti yang sudah ia duga, panggilannya tidak diangkat. "Tentu saja dia tidak akan mengangkat," gumamnya sinis. Arfan pasti sudah sadar kalau perbuatannya telah diketahui Naya.
Naya mengerang kesal, berjalan mondar-mandir di dalam studio kecilnya, mencoba memikirkan langkah selanjutnya. Di satu sisi, ia ingin langsung melapor ke polisi atas tindakan pencurian ini. Tapi di sisi lain, ia masih merasa terjebak dalam perasaan bahwa semua ini begitu kacau. Ia sudah terlalu banyak drama dan masalah dalam beberapa hari terakhir.
Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar. Kali ini sebuah pesan dari Tika, asistennya, yang mencoba meyakinkan bahwa pekerjaan di kantor masih bisa ditangani meski Naya tengah mengalami masalah pribadi. Naya mengabaikan pesan itu, terlalu terpaku pada masalah lain yang lebih mendesak.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Naya bergumam sendiri. Ia duduk kembali di kursinya, memijit pelipisnya yang berdenyut akibat stress.
Setelah beberapa menit termenung, Naya memutuskan untuk mencoba mencari jalan keluar. Pertama-tama, aku harus memastikan bahwa Arfan benar-benar pelakunya. Pikir Naya. Ia mengambil ponselnya lagi dan memeriksa kembali detil transaksi. Salah satu pengeluaran mencurigakan adalah pembelian di sebuah restoran mewah yang mereka datangi sebelum masalah mereka memburuk.
Naya tahu persis restoran itu, dan dia ingat siapa yang selalu membawa kartu kreditnya setiap kali mereka pergi makan malam—Arfan.