Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Putri Kerajaan Sihir
Langit Aelderia berpendar dalam warna ungu lembayung, dihiasi oleh dua bulan yang menggantung rendah di cakrawala. Di bawah cahaya magis itu, berdiri Istana Lumina, kerajaan megah yang menjadi pusat kekuasaan sihir di dunia. Menara-menara kristal memantulkan sinar seperti pelangi yang membias di udara, menciptakan keindahan yang hanya bisa ditemukan di negeri sihir. Namun, di balik keagungan ini, seorang putri muda tengah duduk di balkon, wajahnya mencerminkan kebosanan yang mendalam.
Radena, putri tertua Raja Altheron, melayangkan pandangannya ke hamparan hutan gelap di kejauhan. Ia mengenakan gaun berwarna ungu tua dengan bordir emas yang sempurna, tetapi ia merasa sesak di balik kain mewah itu.
"Radena, kau tidak mendengarkan lagi."
Suara lembut tetapi penuh teguran itu berasal dari Lady Melya, pelayan pribadinya yang setia. Wanita itu berdiri di samping Radena, memegang buku besar tentang hukum sihir kuno.
"Kenapa aku harus peduli dengan hukum itu, Melya?" Radena menghela napas, mengayunkan kakinya di tepi balkon seperti anak kecil. "Aku tahu aku terlahir dengan sihir, dan aku tahu aku putri raja. Apa lagi yang perlu kupelajari?"
Lady Melya menutup buku itu dengan bunyi thump yang tegas. "Apa yang kau perlajari sekarang akan menentukan masa depanmu, Yang Mulia. Kau ditakdirkan untuk menjadi penerus Raja Altheron."
Radena melengos. "Takdir, takdir, takdir. Semua orang selalu bicara tentang takdirku, tapi tak ada yang pernah menanyakan apa yang kuinginkan!"
Ia berdiri, gaunnya berkibar diterpa angin malam. Matanya yang berwarna biru kristal bersinar di bawah sinar bulan. "Yang kuinginkan hanyalah kebebasan. Bukan dikelilingi oleh pengawal, hukum, dan guru yang membosankan."
Melya memandangnya dengan iba. "Kebebasan itu mahal, Putri. Dan kau adalah Radena Altheron, pewaris takhta kerajaan sihir terbesar di dunia ini. Bebanmu bukanlah sesuatu yang bisa kau hindari."
Radena mendengus pelan, tetapi sebelum ia sempat membalas, suasana berubah. Udara di sekitar mereka terasa dingin secara tiba-tiba, dan gemerisik aneh terdengar dari arah hutan. Radena menoleh, matanya menyipit.
"Apa itu?" tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh kewaspadaan.
Hutan yang tadi tampak tenang kini dihiasi kabut tebal yang merambat perlahan ke arah istana. Radena bisa merasakan sesuatu yang salah. Sihir dalam dirinya bergetar, seperti peringatan.
"Lady Melya, apa kau merasakan ini?" tanyanya.
Melya mengangguk, wajahnya yang biasanya tenang berubah cemas. "Ada sesuatu yang tidak wajar. Kau harus masuk ke dalam istana, Putri."
Tetapi Radena tetap berdiri di tempatnya. Ia menggenggam pinggiran balkon, matanya terpaku pada bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Satu sosok muncul perlahan dari kabut: tinggi, berjubah hitam, dengan mata merah yang bersinar seperti bara api.
"Siapa itu?" Radena bergumam, merasa sihir dalam dirinya memanas.
Sosok itu mengangkat tangannya, dan sebuah suara yang dalam dan menyeramkan terdengar, meskipun mulutnya tak bergerak.
"Putri Aelderia... Waktumu telah tiba."
Radena merasakan darahnya membeku. Sebelum ia sempat bertanya, sosok itu menghilang, meninggalkan suara tawa yang menggema di udara.
Lady Melya menarik tangan Radena dengan panik. "Kita harus melaporkan ini pada Raja sekarang juga!"
Tetapi Radena tidak bergerak. Dalam hatinya, ia tahu ini bukan sekadar ancaman biasa. Sesuatu sedang terjadi, sesuatu yang lebih besar dari dirinya atau takdir yang selama ini dibicarakan.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa takdir itu mungkin benar-benar ada.
"Kenapa aku harus peduli dengan hukum itu, Melya?" Radena menghela napas, mengayunkan kakinya di tepi balkon seperti anak kecil. "Aku tahu aku terlahir dengan sihir, dan aku tahu aku putri raja. Apa lagi yang perlu kupelajari?"
Lady Melya menutup buku itu dengan bunyi thump yang tegas. "Apa yang kau perlajari sekarang akan menentukan masa depanmu, Yang Mulia. Kau ditakdirkan untuk menjadi penerus Raja Altheron."
Radena melengos. "Takdir, takdir, takdir. Semua orang selalu bicara tentang takdirku, tapi tak ada yang pernah menanyakan apa yang kuinginkan!"
Ia berdiri, gaunnya berkibar diterpa angin malam. Matanya yang berwarna biru kristal bersinar di bawah sinar bulan. "Yang kuinginkan hanyalah kebebasan. Bukan dikelilingi oleh pengawal, hukum, dan guru yang membosankan."
Melya memandangnya dengan iba. "Kebebasan itu mahal, Putri. Dan kau adalah Radena Altheron, pewaris takhta kerajaan sihir terbesar di dunia ini. Bebanmu bukanlah sesuatu yang bisa kau hindari."
Radena mendengus pelan, tetapi sebelum ia sempat membalas, suasana berubah. Udara di sekitar mereka terasa dingin secara tiba-tiba, dan gemerisik aneh terdengar dari arah hutan. Radena menoleh, matanya menyipit.
"Apa itu?" tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh kewaspadaan.
Hutan yang tadi tampak tenang kini dihiasi kabut tebal yang merambat perlahan ke arah istana. Radena bisa merasakan sesuatu yang salah. Sihir dalam dirinya bergetar, seperti peringatan.
"Lady Melya, apa kau merasakan ini?" tanyanya.
Melya mengangguk, wajahnya yang biasanya tenang berubah cemas. "Ada sesuatu yang tidak wajar. Kau harus masuk ke dalam istana, Putri."
Tetapi Radena tetap berdiri di tempatnya. Ia menggenggam pinggiran balkon, matanya terpaku pada bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Satu sosok muncul perlahan dari kabut: tinggi, berjubah hitam, dengan mata merah yang bersinar seperti bara api.
"Siapa itu?" Radena bergumam, merasa sihir dalam dirinya memanas.
Sosok itu mengangkat tangannya, dan sebuah suara yang dalam dan menyeramkan terdengar, meskipun mulutnya tak bergerak.
"Putri Aelderia... Waktumu telah tiba."
Radena merasakan darahnya membeku. Sebelum ia sempat bertanya, sosok itu menghilang, meninggalkan suara tawa yang menggema di udara.
Lady Melya menarik tangan Radena dengan panik. "Kita harus melaporkan ini pada Raja sekarang juga!"
Tetapi Radena tidak bergerak. Dalam hatinya, ia tahu ini bukan sekadar ancaman biasa. Sesuatu sedang terjadi, sesuatu yang lebih besar dari dirinya atau takdir yang selama ini dibicarakan.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa takdir itu mungkin benar-benar ada.