Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Intrik
Wusshh!
Sebuah sepeda melaju di tempat Zanya berdiri tadi, jika Marlon tidak menarik Zanya, ia pasti sudah tertabrak oleh sepeda itu.
"Hampir aja!" Ujar Marlon.
"Ayo kita kembali ke Wisma!" ajaknya kemudian.
Zanya menganggukkan kepalanya kemudian mengikuti Marlon yang berjalan duluan. Dalam hatinya, ia kecewa karena tidak mendapatkan jawaban tentang obat tidur itu dari Marlon.
***
"Apa?" Marlon setengah berteriak.
"Mama gak boleh ambil keputusan sendiri seperti ini, ini kan menyangkut masa depanku, kalian harus rundingkan dulu dengan aku." Ujar Marlon terlihat frustasi.
"Bukankah kita udah pernah rundingkan masalah ini? Dan kamu pernah bilang, terserah kami." Jawab lelaki tua yang duduk menyilangkan kaki di sofa mewah. Dia adalah Herman, kakek Marlon.
Siang ini Marlon di panggil ke rumah kakeknya oleh Fenty, Mama marlon. Mereka berencana melaksanakan pertunangan Marlon dan Ayra pekan depan. Dan Marlon uring-uringan karena itu.
"Dari kemarin kamu susah banget dihubungi, jadi kami putuskan sendiri. Lagipula kamu kan suka Ayra?" kilah Fenty.
"Ma, aku bilang Ayra itu manis, bukan berarti aku mau nikah sama dia. Lagipula umurku baru 26, dan Ayra baru 21, bahkan kuliah dia aja belum selesai." Ujar Marlon kesal.
"Kalau kamu gak mau nikah dengan Ayra, silahkan bawa calon istri kamu kepada kami! semakin cepat kamu nikah semakin baik." Tito, sang papa yang sejak tadi diam akhirnya ikut bicara.
"Diam kamu, Tito! Gak bisa sembarangan bawa gadis, harus gadis dari keturunan yang jelas. Kalau menikah dengan orang tidak jelas, nantinya akan seperti Fenty! Karena menikah dengan kamu, dia jadi berontak pada orangtua. Dan akhirnya kembali ke sini karena kalian butuh uang untuk mengobati Marlon." Kecam Herman, dan berhasil membuat Tito terdiam.
Marlon menatap papanya, kemarin papanya mengirim pesan padanya untuk segera mencari pasangan, agar kakeknya tidak lagi menuntut ia untuk menikah dengan Ayra. Namun sepertinya itu adalah hal mustahil, karena pasangan yang kakeknya inginkan adalah dari keluarga kaya, seperti Ayra, anak dari Gilang, yang juga seorang pengusaha kaya.
Ekspresi Marlon mengeras, ia tidak ingin di atur-atur oleh kakek dan mamanya.
"Terserah kalian! Aku gak mau bertunangan dengan Ayra, kalau Kakek dan Mama memaksa, aku gak akan datang lagi ke rumah ini!" Marlon berlalu pergi.
"Ingat! Kamu punya hutang pada Kakek!" teriak Herman sebelum Marlon mencapai pintu.
Marlon berbalik, dengan kesal ia berjalan kembali ke tempat duduknya tadi.
"Kek, Aku gak berhutang apapun pada kakek, karena aku gak pernah meminta apapun. Kakek sendiri yang memberikan ini semua kepadaku."
Ucapan Marlon membuat Fenty serba salah, ia segera duduk disamping Marlon.
"Marlon, tolong turuti aja apa kata kakekmu itu, apa sih susahnya nikah sama Ayra? Dia cantik, pintar, dan dari keturunan baik-baik. Dia itu gadis pujaan banyak pria di kampusnya, kamu gak akan rugi nikah sama dia..." Rayu Fenty.
"Kalian mau aku nikah sama anak orang terhormat kan? Kalian akan dapatkan menantu orang terhormat, tenang aja. Tapi tolong bersabar, jangan buru-buru. Aku masih muda, aku masih ingin fokus pada perusahaan."
"Calonnya sudah ada di depan mata, Marlon. Untuk apa menunggu? Kamu bisa fokus mengurus perusahaan dengan dukungan seorang istri. Kakek gak mau tau, pekan depan pertunangan akan tetap kita adakan!" Herman bersikeras.
"Marlon, coba kamu dekati dulu Ayra, siapa tau kamu bisa lebih menyukai dia, sehingga gak perlu merasa terpaksa." Rayu Fenty.
Rahang Marlon mengeras, kemudian ia pergi sambil mengepalkan tangannya.
"Pa, papa jangan ungkit-ungkit masalah pengobatan Marlon lagi, nanti papa keceplosan tentang masa kecil Marlon. Kita kan udah sepakat untuk menutup itu rapat-rapat..." Fenty memelas.
"Itu karena kamu dan Tito gagal menasehati anak kalian!" Herman berdiri, lalu masul ke kamarnya.
Sementara Fenty dan Tito terdiam sambil menatap satu sama lain.
***
Senin pagi.
Marlon keluar dari kamar mandi memakai jubah mandinya, saat Radit tengah mempersiapkan pakaian kerjanya di ruang pakaian.
"Apa saja agendaku hari ini?" Tanya Marlon.
"Pukul 14:00 Anda ada undangan untuk menghadiri peluncuran iklan terbaru PT. Niaga Mas, Pak." Jawab Radit.
"Cuma itu?" tanya Marlon lagi.
Radit mengangguk. "Iya, Pak."
"Anda ingin camilan apa sebagai pendamping kopi pagi ini?" tanya Radit.
"Gak perlu. Tolong siapkan pakaianku untuk nanti siang, cari yang lebih mewah. Pagi ini aku mau pergi ke suatu tempat, kamu tunggu di kantor. Jika ada yang mencariku, katakan aku sedang ada urusan di luar."
Marlon memilih pakaian untuk ia pakai pagi ini, sebuah celana longgar warna krem, kaos lengan pendek berwarna abu, dan hoodie berwarna abu.
"Kemarikan kunci mobilnya." Pinta Marlon, Radit merogoh kantong jasnya dan memberikan kunci mobil kepada Marlon.
"Aku pergi dulu, ya!" pamit marlon seraya berjalan keluar.
"Hati-hati di jalan, Pak." ujar Radit.
***
Marlon berjalan di sebuah gang kecil, ia memasuki sebuah pintu pagar bercat kuning dengan nomor 78. Lalu seorang pemuda yang terlihat sebaya dengannya, keluar dari rumah menyambutnya.
"Kenapa sih, lu kekeuh banget mau ketemu langsung. Kan bisa lewat email aja?" Tanya pemuda itu.
"Gue gak mau ada jejak, cari aman. Hacker di dunia ini gak cuma elu, Zaki. Bisa aja nanti ada orang lain yang ngehack email gue. Mana hasilnya? gue mau liat." ujar Marlon.
Marlon duduk di depan layar komputer milik Zaki, ia fokus pada data-data yang ada di sana.
"hmm... Orang yang Kakek agung-agungkan ternyata gak sehebat itu, malah nyaris bangkrut." Senyum mengembang di bibir Marlon.
Ia terus membaca data-data yang ada di layar komputer itu.
"Pantas aja dia mau cepat-cepat nikahin anaknya, ternyata niat dia yang sebenarnya adalah menggabungkan perusahaannya supaya bisa naikin saham? Licik banget si rubah tua itu! Merger adalah satu-satunya solusi yang menguntungkan perusahaannya saat ini. Hah! Gak bisa dipercaya." Marlon tertawa sinis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Karena perusahaannya sebentar lagi akan diakuisisi oleh Golden leaf, dan dia gak akan bisa berkutik kalau Bu Gustia udah mengakuisisi perusahaannya." Ujar Zaki.
"Skakmat!" Senyum Marlon melebar.
"Ada lagi yang menarik, tapi belum gue telusuri lebih jauh, nanti gue kabarin kalau udah ketauan hasilnya." Zaki mengambil alih mouse, kemudian menunjukkan sebuah surat perjanjian yang ditandatangani Gilang. Dalam surat itu, Gilang hanya diperbolehkan mengambil alih perusahaan jika Gilang berjanji tidak akan menemui anak dan mantan istrinya lagi.
"Apa ini? Ada anak lain selain Ayra? Anak haram kah?" Tanya Marlon penasaran.
Zaki mengedikkan bahunya. "Untuk saat ini gue belum dapat detailnya. But we'll find out!." ujarnya sambil menyeringai.
"Gimana dengan Zanya?" tanya Marlon kemudian.
"Gak ada yang spesial dari dia selain hutangnya ada beberapa puluh juta di bank." Jawab Zaki.
"Hutang?" Marlon mengerutkan dahi.
Zaki menganggukkan kepala. "Iya. Hei, biasa aja...! Zaman sekarang, siapa sih yang gak punya hutang? Jangan samain sama elu yang tajir!" Ujar Zaki menanggapi ekspresi Marlon yang penuh tanya.
"Gue aja punya hutang ratusan juta! Kalo elu gak bantuin bayar hutang gue itu, kayaknya gue udah jual ginjal, bahkan jual diri." lanjutnya.
Marlon manggut-manggut. "Apalagi dia yang ditinggal ibunya meninggal waktu dia masih kuliah, ya?" gumamnya.
"Tuh, elu tau! Gak semua orang hidupnya berjalan lancar kayak elu, gak semua orang bernasib baik kayak elu." Ujar Zaki.
"Oke! Lanjut selidiki Zanya, gue masih penasaran sama dia. Dan cari tau siapa anak Gilang yang ada di surat perjanjian itu." Marlon berdiri sambil memakai topinya.
"Siap Boss!" jawab Zaki cengengesan.
Marlon memberikan sebuah amplop coklat kepada Zaki, namun Zaki mendorong tangan Marlon.
"Ah, Elu! Kayak sama siapa aja! Hutang gue aja udah elu lunasin. Kerjaan kayak gini mah keciiil, gak usah lu bayar." Ujarnya.
"Bro, ini harga untuk informasi yang gue dapat. Terima aja, anggap gue beli informasi dari elu." Marlon kembali mengulurkan amplop itu.
"Ah, gue jadi gak enak, Bro!" Ujar Zaki. Namun ia terpaksa menerimanya karena Marlon menjejalkan amplop itu ke tangannya.
"Jadi, apa rencana lu sekarang?" Tanya Zaki.
Sudut bibir Marlon terangkat sebelah. "Gue akan urus si rubah licik itu, Gue akan ungkap kondisi perusahaannya yang hampir kolaps itu." ujarnya.