Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alexander Cu
Begini rupanya rasanya bibir seorang gadis, pikir Dihyan. Lembut dan luar biasa halus. Jantung Dihyan berdegup terlalu kuat, tetapi ia nekat merengkuh pinggul dan punggung ramping Septiani dan menariknya lebih dekat. Kulit mereka bersinggungan, begitu pula tubuh mereka. Dihyan pun merasakan betapa panas tubuh Septiani yang pasti diakibatkan oleh gempuran hasrat.
Dihyan menekan bibirnya, menjepit bibir Septiani, dan menjelajahi setiap sudutnya. Septiani menutup matanya, tetapi tidak terlalu rapat, masih ada sedikit celah yang terbuka tepat ketika ia membalas ciuman Dihyan.
Mereka berpagutan dengan disinari latar belakang lampu-lampu Klenteng Bumi Langit.
Dihyan melepaskan ciumannya perlahan untuk melihat lebih banyak wajah Septiani. Ia ingin meyakinkan bahwa ia sungguh sedang menciumi bibir seorang gadis, yang bukan sembarang gadis, melainkan gadis muda secantik dan semolek Septiani.
Namun, gadis itu sepertinya enggan melepaskan ciuman mereka. Dengan sadar, Septiani meraih tengkuk Dihyan, kemudian berjinjit untuk kembali meraih bibir Dihyan.
Mereka kembali berciuman, bahkan lebih panas. Dihyan merasa hawa panas yang berasal dari tubuh Septiani sudah menjalar ke badannya. Sebentar lagi keduanya akan terbakar bersama-sama.
Dihyan merasa ingin gila karena kenikmatan yang ia rasakan saat ini. Secara alamiah dan naluriah, ia seperti sudah pernah berciuman saja. Maka, lidahnya menyelip diantara bibir Septiani, membongkarnya, dan menjulurkannya ke dalam.
Septiani seperti kegelagapan karena terkejut. Namun, meski dalam cara yang kaku, Septiani cepat merespon dengan balas menjulurkan lidahnya untuk disentuh lidah Dihyan yang mencari-cari. Lidah keduanya bergulat dengan cara yang ambigu, berbelit dengan lugu, dan saling mencecap bagai orang gagu.
Septiani mendesah ketika dengan nekat jari-jari Dihyan merayap dari pinggul ke sisi dadanya. Ia terkesiap. Sepasang matanya kini tertutup penuh, tetapi bibirnya terbuka lebih lebar, sedangkan lidahnya menyerah kalah, dibelit oleh lidah Dihyan.
Kini jari-jari Dihyan mulai menjalar ke bagian depan salah satu dada, menangkupkan telapak tangannya disana.
Septiani bernafas putus-putus.
Dihyan menggenggam gundukan dada Septiani.
Kenyal dan lembut, meski masih terlindungi oleh lapisan-lapisan kain pelindung.
Dada Septiani menggembung.
Dihyan melepaskan ciumannya lagi, kemudian menunduk, menonton bagaimana reaksi utuh sang gadis, termasuk kedua dada yang menggelembung karena salah satunya digenggam sehingga merapat dan terangkat.
Indah sekali.
Dihyan menyaksikan betapa tubuh Septiani telah kalah, menyerah, pasrah terhadap dirinya. Sepasang matanya memandang layu dan sayu, bibirnya terbuka, kedua tangannya yang semula melingkar di tengkuk Dihyan kini lunglai di sisi tubuhnya sedangkan tubuhnya tertarik mendekat karena Dihyan masih menggenggam satu dadanya.
Dihyan tak tahan lagi. Pokok kenjantanannya sudah bangkit sepenuhnya, serasa ingin mendobrak keluar dari celananya. Dihyan menggunakan satu tangannya untuk merogoh kerah rendah kaus ketat Septiani yang sudah menganga sedemikian rupa.
Lembut, mulus, begitu halus lapisan kulit dada Septiani yang menggelembung sempurna tersebut. Jari-jari Dihyan terus masuk ke dalam kaus, kemudian berusaha menyelip ke dalam pelindung terakhir sang gadis sebelum mendapatkan pucuk …
Dihyan tersentak bangun dan terengah-engah. Pandangannya nyalang menatap langit-langit, kemudian sekeliling.
Centhini tidur membelakanginya di satu tempat tidur. Dihyan hapal dengan bentuk kakaknya itu, sehingga dari berbagai sisi pun ia pasti tahu bahwa itu Centhini. Ia sendiri kemudian sadar bahwa ia juga sedang berbaring di sebuah tempat tidur. Ia dan Centhini berada di dalam sebuah kamar dengan dua tempat tidur tunggal.
Kamar itu berdinding papan kayu, berlantai papan kayu, berlangit-langit triplek. Gelap, meski tetap ada pencahayaan dari luar ruangan. Mungkin dari lampu di luar rumah, atau semburat cahaya alam dari langit dengan bantuan bulan dan bintang.
Dihyan mengangkat kepalanya sedikit, menggosok-gosok kedua matanya, kemudian membanting kepalanya kembali ke bantal.
“Aku mimpi?” gumamnya.
“Sialan! Dasar monyet bau, kadal bintit, kecoa bunting, muke gepeng, babi ngepet, dinosaurus, brontosaurus, kirik!” serunya tertahan.
Dihyan menjambak rambutnya yang memang selalu acak-acakan itu. Ia mengerang kesal dan penuh penderitaan. Kenapa ia kembali bermimpi? Senyata itu, seindah itu. Sialnya lagi, mengapa mimpi harus terhenti ketika sedikit lagi saja ia sudah bisa menyentuh pucuk dada Septiani. Ia ingin tahu bagaimana bentuknya, bagaimana rasanya meski di dalam mimpi saja.
Namun, jujur, semuanya terasa begitu nyata. Ia belum pernah berciuman dengan seorang perempuan. Menggandeng tangan dan bersentuhan saja belum pernah – ya, kecuali dengan Centhini yang kerap menarik, menjambak dan menggasaknya. Tapi itu tidak termasuk – apalagi sampai menggenggam buah dada, merasakan kelembutan kulitnya, bahkan sampai perlahan merogoh ke dalam.
Dihyan mau berteriak saja rasanya dengan kenyataan ini. Ia menepiskan selimut yang menutupi tubuhnya dengan kasar dan sebal, kemudian sadar dengan apa yang terjadi.
Celananya basah.
Ia meraba tepat dimana sumbernya.
“Sialan! Aku bermimpi … basah?”
Dihyan bangun berdiri secepat kilat. Ia melihat ke arah Centhini yang terlihat sekali tertidur pulas.
Dalam diam, tetapi dilakukan segegas mungkin, Dihyan mencari cawat dan celana ganti di dalam tote bag. Untung dari dalam mobil tadi sore, ia sudah membawa beberapa cadangan pakaian dan celana, sehingga malam ini ia tidak perlu kembali ke mobil yang diparkirkan di bawah sana.
Dihyan berjinjit-jinjit keluar kamar sembari mencincing celananya agar tidak lengket menempel di kulitnya. Ia merasa luar biasa terganggu dan risih dengan keadaan ini.
Pintu dibuka, tidak berderit seperti yang awam digambarkan di film-film horor. Sialnya, ketika pintu dibuka, keadaan di luar malah jauh lebih horor.
Ruangan tengah lowong, gelap, tetapi meja abu menyala merah menonjol, menjadi pusat perhatian di ruangan tersebut.
“Ra urus, bodo amat! Sudah kepalang basah,” ujar Dihyan kepada diri sendiri.
Dihyan berjalan cepat. Kali ini lantai papan yang berderit. Dihyan terkejut juga dengan hal ini.
Sebelum sampai ke area dapur, ia melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 3. Tentu 3 dini hari, pikir Dihyan.
Dihyan semakin bergegas. Ia harus sudah membersihkan bagian bawah tubuhnya dan berganti pakaian sebelum pagi. Ia ingin kembali tidur, walau hatinya kesal luar biasa. Mana tahu ia bisa melanjutkan mimpinya yang tertunda tadi.
Ah, sialan! Dihyan mengerang mengingat mimpi yang terasa begitu nyata dan masih segar di ingatannya.
“Subuh-subuh mau ke WC, Yan?”
Dihyan hampir meloncat saking terkejutnya.
Sosok itu berdiri di dapur. Tubuhnya kurus tinggi, meski tak setinggi Dihyan. Ia menatap Dihyan dengan pandangan yang luar biasa aneh. Senyum serupa seringai terlukis di wajahnya. Saking anehnya, senyum dan binar di matanya tidak terkoneksi. Seakan senyum seringai itu memiliki makna berbeda dengan apa yang ada di dalam pikiran sang sosok. Belum lagi kepalanya yang sedikit miring sembari mengunci tatapannya pada Dihyan.
Dihyan langsung menutupi bagian bawah tubuhnya dengan kaus serta celana ganti yang ia bawa.
“Eh, iya, Suk, eh, Ji, eh …”
Sosok itu terkekeh.
“Kok Suk? Juga bukan Jiji. Panggil Koko dong.”
“Eh, iya, Ko Alex,” ucap Dihyan. Jantungnya masih berdetak terlalu cepat untuk manusia normal.
Sosok itu adalah Alexander Cu, suami Martha yang mirip sekali dengan anak laki-lakinya, Steven Markus. Sama fisik, sama aneh, sama mengerikannya.
“Kalau mau ke WC, jangan lupa hidupkan saklar airnya, ya?” ujar Alexander. Suaranya datar, tetapi sangat mengganggu karena seringainya masih mengembang dan mengambang di angkasa.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh