Setelah terbangun dari mimpi buruk di mana ia dibunuh oleh pria yang diam-diam ia kagumi, Ellison, Queen merasa dunianya berubah selamanya.
Sejak hari itu, Queen memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam kehidupan Ellison. Dia berhenti mengejar cintanya, bahkan saat Ellison dikelilingi oleh gadis-gadis lain. Setiap kali bertemu Queen akan menghindar- rasa takutnya pada Ellison yang dingin dan kejam masih segar dalam ingatan.
Namun, segalanya berubah saat ketika keluarganya memaksa mereka. Kini, Queen harus menghadapi ketakutannya, hidup dalam bayang-bayang pria yang pernah menghancurkannya dalam mimpinya.
Bisakah Queen menemukan keberanian untuk melawan takdirnya? Mampukah dia membatalkan pertunangan ini atau takdir memiliki rencana lain untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Suasana kelas yang biasanya dipenuhi suara gaduh kini terasa sepi dan hanya terdengar suara langkah kaki Lio yang pelan mendekati meja Queen.
Gadis itu terbaring lemah, kepalanya bersandar pada tumpukan tangan yang dilipat rapi di atas meja. Saat siswa lain menikmati istirahat mereka di kantin, Queen memilih kesendirian, terlelap tanpa menyadari keributan di sekitarnya.
Kulitnya pucat, nafasnya hampir tak terdengar, menandakan bahwa penyakit yang dideritanya telah menguras kekuatannya.
Lio, dengan wajah masam karena kesal, menghampiri dan berusaha membangunkan Queen dengan suara ketus yang memecah kesunyian.
"Oy, bangun, cewek sialan!" serunya tanpa empati. Namun, tak ada respon dari Queen, tubuhnya tetap tak bergerak, nyaris seperti patung.
Kekesalan Lio memuncak, dia menggoyang tubuh Queen dengan kasar, tapi gadis itu masih tidak memberikan reaksi apapun.
Frustrasi, Lio menggebrak meja dengan keras, suara dentuman itu menggema di seluruh ruangan yang sepi.
Queen masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal seakan ingin lepas dari dada yang terasa sesak.
Keringat dingin membasahi dahinya, memberikan sensasi dingin yang kontras dengan hawa panas yang ia rasakan dalam tubuhnya.
Wajahnya yang semula pucat perlahan kembali mendapatkan warna saat ia berusaha meredam kepanikan yang baru saja menghantamnya.
Tiba-tiba, sosok Lio muncul di hadapannya, menambah ketegangan yang masih berusaha ia kendalikan. Lio, dengan tatapan yang terlihat menyesal, seakan ingin mengucapkan permohonan maaf namun segera digantikan dengan ekspresi ketus.
"Kita disuruh ngumpul di aula," ucap Lio, suaranya terdengar dingin dan jauh dari biasanya.
Queen, yang masih linglung, mencoba memproses informasi tersebut. "Hah!? Ada masalah apa?" tanya Queen dengan nada yang masih terbata-bata, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Lio hanya menggeleng pelan, matanya sejenak menatap Queen sebelum dia berbalik meninggalkan Queen yang masih terpaku.
"Mikir aja sendiri," jawabnya singkat, meninggalkan Queen dalam kebingungan.
Kaki Lio melangkah cepat meninggalkan kelas, meninggalkan Queen yang tampak mendengus kesal dengan sang ketua kelas yang selalu mencari gara-gara dengannya.
Langkah Queen terasa semakin berat seiring dengan tatapan yang menghujam kepadanya. Ruangan aula yang biasanya menjadi tempat berkumpul yang menyenangkan, kini berubah menjadi medan perang bagi perasaannya.
Di samping panggung, Ellison dan beberapa sahabatnya hanya menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca, seolah mereka telah memutuskan nasibnya sebelum ia berbicara.
Seruan dari Miss Rose memecah kesunyian yang menyesakkan, "Valerie!" Nama itu disebut dengan nada yang tegas, memaksa Queen untuk melangkah ke depan, menghadapi seluruh mata yang menilai.
Sambil berjalan, desisan dan bisikan memenuhi telinganya, membuatnya semakin tidak yakin dengan apa yang harus dilakukan.
Setibanya di depan, Miss Rose dengan tatapan tajam bertanya, "Kamu bully adik kelas, Vale?"
Queen terkejut, matanya membulat tidak percaya. "Hah!? Enggak, Miss, saya tidak bully adik kelas," jawabnya cepat, suaranya hampir tidak keluar karena gemetar.
Queen mengunci pandangannya pada Alexi, yang hanya menampilkan senyum sinis. Dengan langkah yang mantap, dia naik ke podium, menghadapi tiga gadis yang kini menunduk ketakutan.
"Kalian pikir bisa main-main dengan gue?" desisnya, suara rendah namun mengandung kekuatan.
Alexi, yang berdiri di tengah mereka, memberi tanda jari tengah ke arah Queen.
"Aku enggak tahu kenapa aku dituduh membully Deby," kata Queen dengan nada defensif, matanya berkelip cepat, mencoba memancing empati dari yang hadir. Dia menunjuk ke arah Deby yang berdiri di sudut, menundukkan kepala penuh ketakutan.
"Emang CCTV nunjukin bahwa aku keluar dari toilet setelah mereka," lanjutnya, berusaha keras meyakinkan semua orang dengan alibinya yang tampak tergesa-gesa.
Queen tersenyum miring, menatap tiga gadis itu dengan mata yang tajam. "Tapi kalian lupa, CCTV juga merekam segalanya sebelum dan sesudah itu," ucapnya sambil menunjuk ke arah kamera pengawas yang terpasang di sudut ruangan.
Suasana menjadi tegang, semua mata tertuju pada mereka, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di atas podium, Queen mendominasi suasana dengan tatapan tajamnya yang tertuju pada Deby, gadis kecil yang tubuhnya menggigil ketakutan.
"Gue tanya lo, Deby. Apa bener gue yang bully lo di toilet?" ujar Queen dengan nada yang tenang namun mengandung ancaman.
Deby menunduk, wajahnya pucat, lalu dengan suara terbata-bata dia menjawab, "Bukan, kak Vale yang bully aku. Malah dia yang nolongin aku," Dia kemudian dengan ragu menunjuk ke arah tiga gadis di kerumunan yang memberinya teror.
"mereka yang bully aku kak Lison, " adunya kepada pemilik sekolah.
Suasana menjadi tegang, semua mata tertuju pada tiga gadis yang terkejut seolah tanah di bawah mereka runtuh. Queen, dengan senyum miring yang penuh arti, berbalik menatap Alexi yang berdiri di kerumunan.
"Gue enggak tahu siapa yang ngarang cerita gue ikut andil bully Deby. Yang pasti, dia enggak punya kerjaan," sindir Queen dengan tatapan yang menghunjam.
Kemudian, dia kembali memfokuskan perhatiannya pada tiga gadis itu, suaranya membelai tetapi sarat dengan ejekan, "Kalau kalian nggak bisa main jahat, jangan dek ya. Masih kelas satu, tapi tangan udah gatel ingin bully orang? Silahkan, lakukan dengan bersih tanpa meninggalkan jejak. Mau belajar? Mungkin kalian bisa minta tips dari kak Alexi, dia mahir dalam manipulasi orang."
"apa-apaan lo bawa gue?!" teriak Alexi tidak terima.
"emang kenyatannya begitu bukan?" ejek Queen.
"Teman-teman, ada hal yang ingin gue sampaikan. Gue minta maaf jika ada di antara kalian yang merasa terluka karena tindakan bully dari gue," ucapnya dengan suara yang bergetar.
Ada kejutan yang terlukis jelas di wajah teman-temannya, tampaknya kata-katanya tak terduga, seorang ratu bullying minta maaf.
"bagaimana pendapat lo, kak Rhea?" tanya Queen.
"maksud lo apa?" sela Rhea dengan tangan terkepal, wajahnya memerah menahan amarah.
Queen menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Kak Rhea, pernahkah gue melewati batas terhadap kakak? Gue yakin tidak, tapi jika kak Rhea merasa gue telah melewati batas, itu bukan maksud gue," jawabnya, mencoba menjelaskan posisinya.
"Kita berada di sekolah elite, dimana CCTV tersebar di setiap sudut. Jadi, jika ada yang ingin bermain kata-kata atau manipulasi, sebaiknya berhati-hati karena bukti tak terbantahkan ada di rekaman CCTV," tutup Queen, meninggalkan keheningan yang membeku di antara kerumunan.
"gue diam bukan karena salah, tapi enek ke kalian tiap hari kalian nuduh gue yang bully kak Rhea." Queen menarik nafas dalam-dalam.
"terus apa maksud lo saat itu dorong gue dari tangga?" tanya Rhea tegas.
"karena kakak pernah hina kedua orang tua gue, kan? "
Rhea gelagapan benar adanya,dia saat itu tidak sengaja menghina kedua orang tua Queen. Tapi saat itu dia sudah minta maaf, namun emosi telah merenggut kesadaran Queen hingga pada akhirnya Queen dorong Rhea dari tangga.
"ok, kakak ingin gue buat apa, biar kakak maafin gue?" tanya Queen setelah menghela nafas panjang.
"berlutut di depan gue!" teriak Rhea dengan lantang.
Semua siswa-siswi terkejut dengan permintaan Rhea yang mengarah untuk menghina Queen, termasuk Ellison dan kawan-kawannya.
Queen tertawa renyah hingga detik selanjutnya raut wajahnya dia ubah menjadi datar seketika membuat sebagian dari mereka takut.
"ok!" jawab Queen lantang.
Queen melangkah mantap ke tempat Rhea berdiri bersama teman-teman kelasnya. Lalu dia berlutut di depan Rhea membuat semua orang terkejut bukan main. Rhea menutup mulutnya tidak percaya, padahal dia hanya bercanda menyuruh Queen berlutut, tapi gadis ini tetap berlutut di depannya.
"gue minta maaf, kak Rhea!" lirihnya.
Namun tiba-tiba tangannya di tarik paksa untuk berdiri.
seru cerita nya🙏
GK jd mewek UIN🤭
ko ada aja yg GK suka