menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
Tanpa aku sadari, aku pun tertidur di teras rumahku. Masih dalam keadaan sedikit mengantuk, aku terbangun oleh suara seseorang memukul-mukul pagar rumah. Aku mengusap-usap kedua mataku, berusaha untuk berdiri.
**Aku:** "Duh, siapa sih? Bentar, bentar..." ucapku tanpa melihat ke arah pagar.
Saat kulihat ke arah pagar, rupanya Bu Sari sedang berdiri, menatapku. Aku pun berjalan mendekatinya.
**Bu Sari:** "Nurra, kamu baru pulang?" tanyanya lembut.
**Aku:** "Iya, Bu... Nunggu ayah sama ibu. Tumben banget ke pasarnya lama, pakai digembok segala. Aku jadi nggak bisa masuk deh," jawabku polos.
Bu Sari tampak kaget mendengar jawabanku. "Loh, kok ke pasar? Ayah dan ibumu itu semalam pergi ke Sulawesi. Ada gempa besar di sana, dan mereka ditugaskan untuk membantu para korban."
Mendengar hal itu, aku terkejut setengah mati.
**Aku:** "Hah? Sulawesi? Gempa besar? Kapan?"
**Bu Sari:** "Iya, nak. Gempa kemarin subuh. Ibu lihat mereka tergesa-gesa. Mereka bawa beberapa barang dan gendong carrier besar, pergi pakai mobil temannya ke bandara."
Perasaanku campur aduk, antara khawatir dan kagum. Aku tahu betul betapa pedulinya kedua orangtuaku terhadap hal-hal kemanusiaan. Gempa itu pasti dahsyat, dan ayah serta ibuku tak mungkin turun kalau situasinya tak parah. Tapi... kenapa mereka nggak ngabarin aku?
Bu Sari pun kembali berkata, mencoba menenangkanku.
**Bu Sari:** "Sepertinya mereka nggak mau kamu khawatir dan terganggu belajarnya. Oh iya, ibumu nitipin kuncinya ke ibu, nih."
Aku mengambil kunci tersebut dan mencoba memahami keadaan.
Pagi itu, rumah terasa sepi. Dalam hati, aku khawatir akan keadaan mereka, tapi di sisi lain, aku merasa bangga. Aku berharap mereka baik-baik saja, selamat selama perjalanan, dan kembali ke rumah tanpa kekurangan apa pun.
Setelah Bu Sari melangkah pergi, aku duduk termenung di ruang tamu, mencoba mencerna kembali setiap perkataannya. Dengan tangan gemetar, aku meraih ponselku dan mencoba menghubungi ayah. Nada sambung terdengar, tapi tak ada jawaban. Kucoba menghubungi ibuku, hasilnya sama. Kutatap layar ponselku penuh kecemasan.
**Aku:** "Tuhan, mereka baik-baik saja kan? Mereka pasti pulang, kan?" ucapku penuh harap.
Beberapa kali kucoba, tapi tetap tak ada respon. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat.
**Aku:** "Ayah... maafkan Nurra. Nurra salah. Nurra nggak pulang ke rumah... Maafin Nurra. Bu Sari bilang ayah sama ibu ke Sulawesi. Nurra harap ayah sama ibu baik-baik di sana. Kalau sempat, kabari Nurra ya, Nurra khawatir..."
Pesan itu terkirim, tapi balasan tak kunjung datang. Kucoba menenangkan diri, berpikir positif. Mungkin orangtuaku sedang dalam perjalanan atau sibuk dengan tugas-tugas mereka di sana.
Tak lama kemudian, perutku mulai keroncongan. Aku berjalan ke dapur, membuka lemari, dan melihat berbagai bahan makanan. Tanpa berpikir lama, aku menyiapkan sarapan sederhana. Saat memasak, pikiranku kembali melayang memikirkan kedua orangtuaku.
**Aku:** "Ayah sama ibu selalu sigap kalau soal beginian..." gumamku sambil mengaduk nasi goreng di wajan.
Seketika, aku teringat kejadian saat ayah menolong anak kecil yang hampir mati karena kebakaran. Dapur ini juga menjadi saksi ketika ibu sering menceritakan kisahnya saat masih aktif di lapangan.
Setelah sarapan, aku duduk di ruang santai dan mencoba mencari informasi tentang gempa di Sulawesi. Kuambil laptopku dan langsung mencari berita. Beberapa artikel mengabarkan bahwa gempa itu cukup besar, dengan kerusakan parah, mirip tsunami Aceh meski tak separah itu. Banyak bangunan runtuh, korban jiwa, luka-luka, dan ada yang masih hilang tertimpa reruntuhan.
Aku semakin cemas, terutama saat membaca soal korban hilang. Orangtuaku yang nekad dan ceroboh membuat pikiranku tak bisa tenang. Di saat aku terus membaca, tiba-tiba ponselku berbunyi.
Pesan dari ayah: "Sayang, maafkan ayah. Ayah nggak sempat pamit. Ayah dan ibu sudah sampai di Sulawesi, sekarang lagi dalam perjalanan menuju pengungsian. Kamu jangan khawatir, kami baik-baik saja. Nanti ayah kabarin lagi ya. Jaga dirimu baik-baik, jangan sampai telat makan."
Pesan itu membuat hatiku sedikit lega. Setidaknya, mereka bukan bagian dari korban yang hilang. Aku pun membalasnya.
**Aku:** "Syukurlah, Nurra lega dengernya. Jaga diri kalian di sana ya. Jangan biarin ibu sendirian ya, Yah. Ayah nggak usah khawatir, Nurra di sini baik-baik saja. Kabarin Nurra kalau sudah bisa."
Dengan perasaan lebih lega, aku memutuskan untuk bersiap-siap. Aku sadar aku nggak bisa hanya duduk cemas di rumah. Mengingat program penggalangan dana kemanusiaan di kampus, aku pun memutuskan untuk pergi.
Di halte, aku duduk dengan perasaan lebih tenang. Ayah dan ibu sedang berjuang di sana, semangat mereka seakan mengalir dalam diriku. Meskipun aku tak bisa terlibat langsung, aku merasa bisa melakukan sesuatu dari sini.
Sesampainya di kampus, aku langsung menuju aula. Ternyata, teman-teman sudah lebih dulu mempersiapkan aksi penggalangan dana. Aku terharu melihat antusiasme mereka.
**Maya:** "Nurra! Kamu kok ke sini? Kata Mira kamu sakit?"
Aku tersenyum. "Iya, cuma demam sedikit. Dengar kabar gempa besar di Sulawesi, jadinya aku ke sini. Orangtuaku semalam berangkat ke sana. Aku nggak enak kalau cuma diam di rumah."
Maya menatapku kagum. "Wah, keren... Orangtuamu gercep banget, ya!"
Aku tertawa kecil. "Iya, gitu lah. Ayahku bahkan bisa langsung cabut selang infusan kalau ada bencana kaya gini."
Maya memelukku singkat dan menepuk pundakku. "Keluarga aneh, tapi hebat. Yuk, gabung. Anak-anak lagi nyiapin kotak donasi dan flyer buat dibagiin."
Aku pun bergabung, membantu melipat kertas dan menyiapkan donasi. Di tengah kesibukan itu, rasa khawatirku perlahan mereda. Meski tidak seperti orangtuaku yang terjun langsung, aku merasa bisa berkontribusi dengan caraku.